Chopin Kontemporer

Fryderyk Franciszek Chopin (1810-1849), setelah melewati dua ratus tahun kematiannya, hingga kini suara klasik itu masih terasa dan tak pernah kabur. Nuansa musik yang harmoni, liris, humanis, dan juga puitis—nyatanya gaungnya tak pernah hilang.

Setelah masa kepindahannya dari Warsawa ke Paris pada 1830—yang pada saat itu citra romantik mulai benderang—Chopin menyelesaikan karya pertamanya: Nocturnes dari Opp. 9 dan 15 (1830-1832).

Chopin ialah seorang pianis yang lazimnya berbeda dengan yang lain. Prelude yang pada mulanya sebagai intro pengenalan karyanya yang lebih substansial, menjadi karya yang berdiri sendiri; étude yang dulunya hanya melatih teknik jari tangan, menjadi karya yang lebih luas, mencakup teknik ekspresi musik. Dan para musikolog menilai etude-etude ini dapat disejajarkan dengan lagu.

frederic-chopin-18381-jpgportrait
Potret Chopin, 1838, oleh Eugene Delacroix

Prelude seringkali digubah oleh beberapa komposer. Jack Nitzcshe (1937-2000), seorang komposer Amerika, juga menggubah beberapa prelude yang dimainkan Chopin. Album ini dinamai Chopin ’66.

Salah satu gubahannya yang menarik untuk dibandingkan adalah ‘Fantasie-Impromptu in C sharp minor, Op. 66’ serta menunjukkan hampir beberapa persen berbeda dari orisinalitas Chopin. Namun, setidaknya nuansanya masih terasa: lembut dan riang (atau kelam?).

Di nomor itu, Chopin memberikan sentuhan hangat pada awal tuts piano. Ia lihai memainkan jari-jemarinya. Liris dengan emosi yang masih dapat digabungkan antara paduan fantasi dan gairah. Namun, pada pertengahan musiknya, emosinya seperti tak dapat ditahan: menggebu, meletup-letup, jari jemarinya semakin liar seperti menyelami dalaman lautan. Hingga pada akhirnya melody penutup pun muncul, dengan lembut, dengan tenang sebelum perlahan lenyap.

Berbeda dengan prelude yang dimainkan Chopin, Jack Nitzsche mengolah orkestranya lebih genderang dengan corak yang lebih harmoni dan musikal. Perbandingan antara ‘Funeral March in C minor Op. 72/2’ atau ‘Etude in C minor (“Revolutionary”), Op. 10/12’ menunjukkan bahwa karya Chopin dapat dinikmati dengan nuansa apapun.

Bahkan, unsur nasionalisme pada musikalitas Chopin tergambar pada ‘Fantasie-Impromptu in C sharp minor, Op. 66’ dan ‘Etude in C minor (“Revolutionary”), Op. 10/12’ (namun saya kira jiwa Polandia-nya tidak hanya di situ melainkan terdapat di seluruh karya yang menjadi bagian hidupnya meski ia lama tinggal di Prancis).

Saya kira Jack Nitzsche memberi perhatian lebih pada gubahan ‘Prelude in E minor, Op. 28/4’, meski hanya sebentar (kedua paling singkat di antara yang lainnya), gubahan ini lebih imajinatif. Saya jadi teringat film The Pianist di mana Wladyslaw Szpilman seorang Yahudi piawai memainkan nomor-nomor Chopin.

Album Chopin ’66 ini digubah dengan nuansa modern, dibalut orkestra, sama halnya dengan The Chopin Project: kolaborasi pianis blasteran Jerman-Jepang, Alice Sara Ott dan musisi asal Islandia, Ólafur Arnalds.

Sang nenek, kata Arnalds, sering mengunjunginya dan menyetel musik klasik di rumahnya. “Dia akan selalu membuat saya mendengarkan Chopin,” tulis Arnalds dalam catatannya.

Dalam The Chopin Project, ‘Verses’ adalah ruang pengantar sebelum masuk lebih dalam ke ‘Piano Sonata No.3 (largo)’.

oa_chopinproject_cover
The Chopin Project

The Chopin Project memberi pertautan antara orkestra yang lebih kalem dibanding Chopin ’66. ‘Eyes Shut /Nocturne in C Minor’, misalnya, dimulai dengan sentuhan biola pada permulaannya. Meski memang sedikit menghilangkan benang merah dengan apa yang kita dengar pada versi aslinya—atau seperti halnya Chopin’66, tapi esensi ketenangan masih bisa dirasakan.

Namun, gubahan-gubahan seperti ini nyatanya yang (mungkin) ingin kita dengar di abad modern. Lagi pula, seiring waktu masa lampau akan terganti masa kini. Dengan kata lain, zaman terus berubah.

Saya pernah melihat aksi mereka di Youtube saat konsernya di Yellow Lounge Berlin. Alice Sara Ott sesekali menengadahkan kepalanya ke atas sambil menghela napas. Apakah ketenangan dirasakan ketika itu?

Si cantik jelita Alice Sara Ott sebenarnya bukanlah satu-satunya wanita yang pernah memainkan nomor-nomor penting Chopin. Di luar sana, masih ada Ingrid Fliter. Namun, Alice Sara Ott lebih ekspresif saat memainkan etude, dan menghayati lebih dalam saat memainkan prelude.

Pada akhirnya, Chopin ’66 memberi tempat pada ‘Prelude in G major Op. 28/3’ di akhir penutupannya dan The Chopin Project memberi ruang pada ‘Prélude in D Flat Major (“Raindrop“)’ untuk mengakhiri lantunan itu—lantunan yang membebaskan dari aturan-aturan yang berlaku seperti layaknya Chopin lakukan pada proses kreatifnya.

 

September 2016
Ilhmbdhmn

Leave a comment