Orang-orang yang Malang

“Hidup hanya menunda kekalahan”. Itulah kata-kata yang Chairil Anwar tulis dalam sajak dera-derai cemara pada 1949. Namun, hidup juga bisa menuntaskan kemenangan, bagai wakil rakyat di parlemen yang mendapat jatah kursi perwakilan. Kemenangan itu, sekonyong-konyong telah menjamin hidup tak akan kalah, tak akan tertunda; kemenangan itu sampai mati-matian akan dipertahankan.

Kemenangan dan kekalahan bagai dua sisi mata uang. Para anggota DPR bisa saja nyerocos ke sana kemari beretorika, mengantuk dan tertidur saat rapat. Sedangkan nun jauh di sana, para tukang becak mengayuh ke sana kemari mengantar penumpang, bermandikan peluh setiap saat.

Waktu itu, Sabtu 23 Januari 2016, saat matahari belum sepenuhnya naik, seorang tukang becak tertegun di dalam becaknya yang usang di Jalan Cisangkuy Bandung. Ia seorang tua, rambutnya kusut tak terurus dengan dua mata sayunya: saya lihat itu.

Waktu berselang, seorang tua itu keluar dari tempat pencarian nafkahnya. Berjalan lurus dari hadapan becaknya, ia terus berjalan, terus, terus dan terus. Saat terhenti, ada sesuatu yang menakjubkan siang itu, seorang tukang becak yang kurus kering membantu gelandangan tua yang sedang kesusahan memotong sebatang kayu dengan sebilah pisaunya.

Tak lama, ia pun kembali pada becaknya, mengambil alat perkakas kecil dan mencoba memotongnya: tak berhasil. Lantas ia berjalan ke tempat seseorang yang sedang mengamatinya, ke sebuah warung kecil yang dikelilingi beberapa ekor kuda. Ia meminjam sebilah golok pada pemilik warung itu: ia berhasil.

Lalu apalagi yang dapat ia kerjakan selain membantu?

Siang menuju sore, namun panas tak pernah enggan untuk pulang. Hanya beberapa saat setelah berselangnya waktu. Ia tak khawatir untuk kehilangan rezeki hari itu. Ia memang tua, namun kemampuan dan tenaganya seperti anak muda. Ia buktikan ketika memotong sebatang kayu untuk gelandangan tua itu–yang tidak lain dan tidak bukan sepotong kayu itu guna keperluannya berjalan.

Akhirnya, panas pun reda dan memang sudah sepatutnya begitu: hari menunjukkan pukul tiga sore. Di sore yang penuh lalu-lalang kuda pemakan rumput dan kuda besi peminum bensin, ia menunggu pelanggan tanpa takut tersaingi teknologi. Ia tidak takut riwayatnya seperti Sukardal, seorang tukang becak asal Bandung yang sumber pencarian nafkahnya disita petugas pada 2 Juli1986. Sukardal mungkin telah kalah oleh kehidupannya sendiri, ia tak dapat menunda kekalahan itu: ia memilih gantung diri.

Menunda kekalahan? Bisakah?

Barangkali, Sukardal ingin melawan kekalahan itu, sebelum pada akhirnya ia menyerah. Ia mungkin sadar tak akan menang, sebab orang kecil seperti ia adalah orang-orang yang malang.

Menjadi tukang becak rasa-rasanya memiliki kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Ia bisa hidup, membeli beras, membekali uang untuk anak istri atau mencicil perabotan rumah dari hasil keringatnya sendiri—semata-mata untuk mencari nafkah.

Seorang pengayuh becak tua, seperti yang telah diceritakan di atas, akhirnya memiliki penumpang yang diam-diam telah mengamatinya. Segera ia menarik becaknya yang usang dan mengayuhnya dengan semangat.

Seorang pengayuh becak tua itu barangkali telah mampu melawan zaman. Ia pertahankan becak itu yang telah menemaninya mencari sesuap nasi dari tahun 1975: tanpa rasa hina juga beban penderitaan. Membantu orang lain bukanlah pekerjaan sampingan, “ah eta mah kawajiban we..” katanya dengan napas naik turun.

Mencari mata pencaharian adalah soal bagaimana seseorang mampu menghadapi hidup tanpa merasa kalah. Tak ada yang disesalinya sebagai tukang becak walau zaman telah berubah. Hanya beberapa orang yang mau memakai jasanya. Di antara bisingnya suara-suara kendaraan mewah di jalanan kota Bandung, becaknya yang usang terus meluncur di atas aspal. Dan di usianya yang telah 75 tahun, ia belum tahu sampai kapan akan mengayuh becak: becak yang menjadi sumber kehidupannya walau telah usang; walau zaman lambat laun akan menyingkirkannya, seiring di makan usia.

Mungkin para anggota parlemen tak perlu capek-capek mengayuh becak, panas-panasan dan mencari penumpang ke sana kemari. Pekerjaan duduk, menonton video, dan tidur ketika rapat di ruang ber-AC adalah suatu “kemenangan” yang luar biasa.

Para tukang becak seperti Sukardal atau seorang tukang becak tua di atas adalah potret manusia biasa yang memiliki rasa takut jika becaknya disita petugas. Tapi toh rasa takut itu kadang kala tak dapat diatasi, yang lantas membuat Sukardal mati gantung diri. Namun, bila ia percaya hidup bukanlah menunda kekalahan, ia tidak termasuk orang-orang yang malang. Sebab hidup, kata Soe Hoek Gie, adalah soal keberanian.

*untuk bapak tukang becak di dekat taman lansia bandung

Ilhmbdhmn
2017

Leave a comment