Terasing

Siapa yang benar-benar tahu bahwa keterasingan ialah seseorang yang tak pernah benar-benar sendiri? Seorang yang terasing barangkali bukanlah seorang yang sungguh mendapati sepi. Sunyi. Melainkan seperti sendiri dalam sebuah keramaian.

Penjaga gawang dalam permainan sepakbola bagaikan hidup dalam sebuah kotak yang tak leluasa: 18,32 m x 5,5 m. Ia hidup dalam “keterasingan” yang terkekang garis gawang. Meski begitu, mustahil untuk tak bergerak jauh, leluasa, bahkan bebas. Garis gawang hanyalah tapal batas yang, di setiap kesempatan dapat terlewat.

Tapi, sang penjaga gawang tetaplah penjaga gawang yang terasing, yang pada momen tertentu bahkan krusial, ia menjadi titik ukuran timnya akan menang atau dikalahkan. Walaupun, ada sejumlah pemain belakang yang siap mengadang baik sejajar ataupun berdampingan. Justru, pada peran inilah menjadi penjaga gawang merupakan tanggungan yang besar.

Seorang penjaga gawang ialah seorang yang “asing”. Identitas mereka berbeda: pada umumnya berseragam cerah atau gelap, kadang bercelana panjang dan bersarung tangan.

Satu hal yang paling disorot penonton ketika terjadi tendangan pinalti, tak lain dan tak bukan adalah eksekutor dan sang penjaga gawang. Penjaga gawang menjadi ajang perjudian. Kemenangan atau kekalahan ada di tangan.

Ketika gol terjadi, penonton bersorak dan penjaga gawang harus kembali menjadi seorang yang asing. Menjadi seperti tikus dalam cengkraman kucing: tak berdaya, dicemooh, mungkin pasrah atau gundah. Tak banyak juga yang tahu bahwa ia bisa diterima, tak dicemooh, tak pasrah dan gundah.

Seorang penjaga gawang rela berjibaku dengan pemain lawan, kesakitan menangkis dan menangkap bola dari ketinggian meski kadang terlepas dengan sia-sia, susah payah melindungi gawangnya meski ia mungkin tahu timnya akan kalah.

Bagaimanapun, dengan kerelaan yang mengandung risiko sedemikian, Dewi Fortuna bisa saja melindunginya dengan segala macam cara, dan meyakinkan bahwa menjadi penjaga gawang bukanlah pekerjaan yang sia-sia dan bukanlah hal yang mustahil dapat mencetak gol.

Rogério Ceni, mantan penjaga gawang São Paulo FC, berusia uzur, lihai mencetak gol dengan tendangan bebas. Mungkin seorang ayah berkata kepada anaknya di tribun penonton: “Lihat, seorang penjaga gawang bisa mencetak gol!”

Tahun 1999, seorang José Luis Chilavert, bahkan mencetak trigol pertama dalam sejarah bagi seorang penjaga gawang. Di sini lah letak ketidakmungkinan itu bisa terjadi bagi siapa pun.

Ketidakmungkinan menjadi sebuah kemungkinan, apa itu terjadi karena kehebatan atau kemalangan, layaknya penjaga gawang atau juga seorang imigran.

Perang berkecamuk di Timur Tengah. Itulah sebabnya, seorang penjaga gawang tak beda jauh dengan seorang imigran. Di negeri nun jauh di sana, para imigran menjadi asing.

Di lapangan hijau—ini sering terjadi, penjaga gawang nekat maju ke depan gawang lawan saat tendangan sudut untuk membantu mencetak gol di momen krusial. Sementara di Timur Tengah, para imigran berjalan kaki ribuan kilometer ke Eropa untuk mencari suaka.

Penjaga gawang dan imigran: mereka berani bertaruh untuk ‘keselamatan’. Dan saya tak tahu, apakah mereka bahagia?

“Kaki saya sakit, tapi saya baik-baik saja,” ujar Uzbeki yang berbalut selendang hijau dan selimut cokelat di Opatovac, kamp utama imigran di Kroasia seperti dilansir CNN.

Bibihal Uzbeki, 105 tahun, seorang Afghanistan, menempuh jarak bertelanjang kaki selama 20 hari ke Kroasia. “Kaki saya sakit”, mengisyaratkan tanda “keluh kesah”, “tapi saya baik-baik saja” adalah sebuah “kesanggupan”. Barangkali bagi mereka seorang penjaga gawang dan imigran, kesakitan adalah tanda kesanggupan yang lain.

Para imigran perang adalah sebuah keprihatinan yang mendalam. Anak-anak, orang tua renta, ibu hamil, mereka menjadi sebuah ‘metafora’ bahwa perang ialah tindakan paling bodoh umat manusia. Keterbelakangan moralitas.

Saya berpikir, bahwa penjaga gawang dan imigran ialah orang yang paling tersisihkan di dunia, mereka bisa dianggap asing oleh kawanan yang lain, acap kali terlihat aneh sebab identitas yang berbeda. Namun, mereka tetaplah manusia: mempunyai hak hidup yang semestinya dan berhak menyerapahi, mengumpat, atas pergolakan nafsu perang yang tak ada habisnya.

Demikianlah bahwa kita telah melihat kisah manusia yang hidup di antara “keterasingan” dan “keterbuangan”. Di sepakbola, waktu normal berakhir dalam 2×45 menit. Penjaga gawang akan pulang, melepas perannya sementara. Pada situasi perang, waktu akan berakhir jika mereka mau, jika mereka sanggup, jika mereka sadar, sebab hidup bukanlah soal kekuasaan. Perang bukanlah pertunjukkan teater.

Itulah sebabnya para imigran bukan sedang menjalankan peran dalam pentas teater. Mereka berjalan, berjalan, terus berjalan. Dan penjaga gawang? Mereka akan melepaskan jerseynya yang berkeringat, saling bertukar dengan yang lain, dan bersalaman. Akankah ini bisa terjadi bagi negara yang terlibat perang? Menghentikan serangan, mematikan rudal dan mortir, dan saling bersalaman di pentas nyata?

Maka bisa kita bayangkan semua bersorak-sorai. “War is over, if you want it, war is over, now!” seperti kata John Lennon. Meski itu bukanlah hal yang utopis untuk sekarang ini, sebab serupa pertandingan bola: ada bunyi pluit, pertikaian, saling serang, dua negara yang sedang bertanding, lantas setelah semua berakhir, pertandingan pun usai. Bubar.

Tak salah memang jika Albert Camus berkata: “Apa pun yang saya ketahui soal moralitas, saya berutang pada sepak bola.” Lalu, andai saja umur bisa terus dilawan, kita bisa menyaksikan kembali Rogério Ceni yang telah pensiun. Kemudian Uzbeki, seorang nenek yang bila perang telah berakhir ia bisa kembali menuju “garis gawangnya sendiri” bersama puaknya.

Ilhmbdhmn
2016

Refleksi

Berulang kali timbul kejahatan dan kita tak bisa menafikannya. Kejahatan itu pun muncul, menyusup pada ruang, pada waktu, pada batas-batas tak tertentu. Kejahatan ada dua, ujar Albert Camus: “Kejahatan hasrat dan kejahatan logika”. Memang, di antara kejahatan itu, saya kira, menyisip nasib dan takdir yang harus diterima.

Camus, atau semua orang yang menganggap bahwa kejahatan adalah waktu yang membuka jalan pada ruang yang tak ada batasan tertentu, ia tak sepenuhnya keliru. Sebab pelbagai kejahatan yang timbul: hasrat; moral; akal budi; juga kejahatan logika, ia seakan telah menjadi bagian dari nasib dan takdir itu sendiri.

Banyak hal yang menjadi refleksi: yang menggairahkan; yang menakutkan; yang normal atau pun tak normal, tapi pada yang sama, mereka berjalan secara beriringan; inilah sebuah keadaan, kata Goenawan Mohamad, di mana manusia hidup dalam sebuah momen luar biasa.

Barangkali kita mafhum dengan adagium: Amor Fati! Atau C’est La Vie!, namun tanpa mengurangi ke-takzim-an adagium itu, wajar-kah kita menyangsikan hidup? Yang mengguggah di dalam dunia yang tak teruraikan dan terbatas ini, dan nasib manusia memperoleh makna dan hakikat untuk seterusnya? Maka, sekali lagi, wajar atau pantas kah kita andai melawan takdir? Melawan Amor Fati, tanpa mengindahkan C’est La Vie itu?

Sebenarnya tak ada yang pantas membicarakan tentang hakikat hidup, bila di zaman ini kemanusiaan yang universal tak sekali tampak. Ia lamat-lamat terbelenggu, tenggelam di alam bawah sadar, serta secara pasti menendang nilai-nilai yang hakiki. Dengan begitu, janganlah pernah mendakwa Camus secara ramai-ramai, bahwa sesungguhnya dunia ini terlampau absurd, sebagaimana yang ia katakan perihal dunia: “Akal budi juga mengatakan kepada saya dengan caranya sendiri bahwa dunia ini absurd.”

Tapi bagaimanapun, kita kembali dengan rasa dilema, rasa gamang berkepanjangan, sepanjang jawaban yang mutlak belum diketahui bahwa pantas atau tidaknya hidup dijalani, sedang kita dibayang-bayangi tentang adagium yang menyatakan: C’est La vie!, selain itu pantaskah kita menyerahkan pada nasib, sebab nasib, menurut Chairil Anwar, adalah kesunyian masing-masing.

Lantas siapa yang berani menyalahkan takdir dan nasib manusia?

Determinisme, atau takdir—kemudian juga nasib, mempunyai pemahamannya sendiri. Mereka tak bersatu dalam satu kotak. Mereka menjadi sebuah paradoks. Hidup di antara dua sisi: takdir dan nasib, menjadikan teringat kembali tentang kisah Don Quixote—pahlawan yang dibuat-buat oleh Cervantes itu.

Dalam dongeng Cervantes, Don Quixote menjelma menjadi kesatria utuh. Di lain waktu, ia pergi berperang dan bertualang à la impiannya. Namun, satu hal yang tak diketahui Don Quixote, bahwa hidup bukanlah yang tergambar pada realitas yang ada, ia memang menegakkan nilai-nilai yang luhur, melawan kincir angin secara dramatik, tapi nasib berkata lain: ia bukanlah kesatria sungguhan. Ia hanyalah alegori dari kepahlawanan. Ia bisa saja menyalahkan nasib, atau melawan takdir, tapi ia tak bisa menaruh harap pada kedua itu.

Maka Don Quixote pun dapat berseru: C’est La Vie! atau Amor Fati!; dalam hidup yang menimpalinya, sebab Don Quixote merupakan penjelmaan manusia bebas, untuk menentukan pilihan hidup yang dianggap terbaik bagi dirinya, namun jika kita sepakat dengan kata Sartre, bahwa ia harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

Pergumulan relasi yang panjang antara nasib dan takdir yang menimpa pada kita, juga Don Quixote, menjadi sebuah refleksi. Saya berpikir bahwa banyak orang kini yang mempertaruhkan hidupnya pada takdir dan nasib, tapi melalui Derrida, yang berlebihan ketika mengatakan bahwa dalam soal pemberian arti (takdir dan nasib).

“Yang ada hanya konteks dan konteks, tanpa pusat ataupun keterjangkaran mutlak,” kata Derrida.

Berlebihan, sebab juga konteks tak bisa dihadirkan secara utuh dan kukuh. Katakanlah konteks takdir dan nasib ini. Kita sebenarnya tak bisa mengartikan secara final makna tersebut.

Satu ungkapan Nietzsche yang tak pernah putus dan terus menerus menjadi refleksi: Amor Fati, Ego Fatum (mencintai takdir, karena aku adalah takdir), kita bisa mengatakan “ya” pada takdir; pada kesedihan; pada kepedihan; pada kekecewaan; atau pada kematian.

Tapi bagaimana bila takdir itu menimpa Sisifus, saya tak yakin ia mengatakan “ya” pada takdir, membawa nasibnya pada hari-hari yang mengjengkelkan. Merelakan nasibnya pada sesuatu yang absurd, kekonyolan yang belaka, sekaligus pedih.

Sisifus, menurut cerita Homerus, merupakan makhluk bijaksana dan waspada. Namun, mengapa takdir mengurung ia pada jalan lain? Dalam keadaan hukuman yang pelik dari para Dewa, ia akan terus mendorong takdir ini: sebuah batu besar yang menjadi kesia-siaan; mendorong ke puncak gunung, kemudian akan jatuh kembali, dan terus terulang hingga takdir berkata lain. Sampai kapan?

Satu hal yang mungkin tak diketahui Sisifus ialah bahwa nasib itu adalah miliknya. Dan kita harus membayangkan, kata Camus, bahwa Sisifus berbahagia.

Sisifus, juga Don Quixote, atau pun kita, hidup di antara nasib dan takdir yang serupa tapi tak sama. Bagaimanapun jua, dengan kesedihan, kepedihan, kekecewaan, takdir dan nasib selalu berjalan seiringan.

***

Syahdan, siapa sangka, bahwa nasib dapat berubah elastis, bahwa takdir dapat memihak. Sisifus dan Don Quixote katakanlah harus belajar pada Jean Valjean—tokoh pada Novel Les Misérables yang pelik itu. Saya kira, Vicor Hugo tampak menaruhkan nasib pada Jean Valjean dengan takdir yang bimbang. Akibat mencuri sebongkah roti agar dapat menghidupi saudarinya yang kelaparan, Jean Valjean mendapat hukuman 19 tahun. Kemudian belasan tahun pun berlalu, ia keluar dari penjara budak, dengan individu yang sama sekali belum merdeka, dengan dendamnya kepada ketidakadilan.

Ini hanyalah sebuah novel. Tapi, bagaimana kita bisa memetik pelajaran kisah tersebut. Ia bisa mengubah nasibnya sendiri ketika pada masa Revolusi Prancis akan di deklarasikan, ia masih berada dalam tawanan seorang inspektur bernama Javert.

Ketika Jean Valjean terus diburu oleh Javert, di sini nasib dan takdir hanya berbeda segaris. Jean Valjean pada akhirnya dapat terlepas dari kehidupan sebelumnya dan menjelma menjadi seorang yang arif serta bijak; berbelas kasih dan berbudi luhur, serta tak peduli lagi dengan dendam. Dendam pada ketidakadilan. Dendam pada kekuasaan. Dendam pada keserakahan.

Saya kira–dengan menduga-duga, ia sepenuhnya yakin bahwa dendam tak harus di balas dengan dendam. Ia memilih instropeksi. Mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, demi kesejahteraan nasib-nasib orang lain yang bagaimanapun takdir tak lagi memihaknya.

Maka, akankah nasib dan takdir dapat berubah jika kita tak mengubahnya sama sekali?

Barangkali “ya” bagi Don Quixote, atau “tidak” bagi Sisifus, juga “tentu” untuk Jean Valjean. Nasib malang yang menimpa Don Quixote, sang kesatria yang dibuat-buat itu, akan berubah jika takdir bersamanya. Bagi Sisifus, nasib dan takdir bukanlah berada di tangannya, hidup ini absurd, maka bila ia terjerembab dan mati, biarlah. Dan kita akan terus berharap agar ia berbahagia. Dengan demikian, Jean Valjean—pada akhirnya, meskipun ia bukan Dewa, dengan nasib yang tak sesunyi seperti ungkapan Chairil Anwar, ia tak dapat menolak dengan nasib yang kini menimpanya.

Ya, siapa yang tak sangka, bahwa nasib dan takdir seperti sebuah drama manusia dan Tuhannya, yang lazim ataupun tak lazim.

Demikianlah, bahwa C’est La vie dan Amor Fati kini hanya berbeda sejengkal. Lalu nasib dan takdir seolah-olah berkata: “kau hidup, maka aku ada…”

      Ilhmbdhmn
2015

Lahirnya Tragedi

Pada suatu malam, di musim kering yang tandus, saya menulis dengan penuh rasa cemas: sebuah gejala terhadap problema yang tak ada habisnya di negeri ini.

Lahirnya tragedi, meski judul tersebut sama dengan apa yang ditulis Nietzsche (The Birth of Tragedy), tentu bukanlah problema yang sama, saya hanya menukilnya dengan lirih.

Jika Nietzsche mempersembahkan tulisannya tersebut kepada kawannya, Richard Wagner—komponis besar Jerman, saya mempersembahkannya kepada siapapun: kepada penguasa, penderita, penindas, atau yang tertindas.

Tragedi yang tak pernah luput dari persoalan ialah tragedi pembantaian 1965-1966. Orang-orang yang dituduh terlibat G-30S atau pro-komunis, mereka dibabat habis.

Tragedi kemanusiaan ini, menjauhkan manusia dari sisi filantropis—seperti sebuah perayaan, ia yang vigilante membantai dengan cara mereka sendiri. Soal bagaimana konflik ini terjadi, saya tak akan menjelaskan secara detail. Dan saya tak memastikan, apa yang sebenarnya terjadi. Satu hal yang ada dalam pikiran saya ialah: penguasa/kekuasaan berperan di sini.

Tentang kuasa, saya jadi teringat drama Caligula yang ditulis Albert Camus, sastrawan Prancis yang tersohor itu.

Caligula, kaisar Romawi yang kejam itu. Mempunyai kuasa yang besar. Ia semacam orang yang tak terbantahkan. Kalau saya tak salah ingat—ahli sejarah sepakat mendiagnosis bahwa ia “sakit jiwa”.

Sifatnya intoleran dan membenci manusia-manusia yang tak disukainya, bahkan ia, menurut perhatian saya, mempunyai sifat tersembunyi: otoriter; utilitarian bahkan humanis. Di sini saya agak masygul, apakah sifat penguasa beberapa di antaranya seperti itu?

Seorang bangsawan dalam sebuah cerita menceritakan bagaimana Caligula memerintahkan algojonya agar membunuh korbannya secara perlahan-lahan: “agar ia tahu bagaimana rasanya mati”. Sepertinya ia hendak menggambarkan kekejaman dewa-dewa kepada siapapun, dengan memerankan sendiri peran dewa yang sewenang-sewenang, sebab ia memiliki legitimasi kekuasaan yang tak terbatas.

Tragedi, bisa menimpa siapa saja, di mana saja, atau kapan saja. Barangkali ia datang dengan sendirinya, atau tindakan dari apa saja. Tragedi alam atau bisa disebut bencana, berasal dari alam, juga dengan tragedi kemanusiaan, ia datang entah dari manusia itu sendiri atau yang tak dikehendakinya.

Betapa pilunya ketika gelombang ganas tinggi seperti menyemburkan tulah mengguncang tanah Aceh pada 26 Desember 2004. Akibat tsunami itu, beribu nyawa hilang dan mayat berserakan. Kita tak perlu menyalahkan siapapun. Tampaknya eksistensi Tuhanlah yang kuasa. Kekuasaan Tuhan yang absolut, meluluhlantakan keangkuhan manusia sebagai noktah.

Namun kita tak tahu, mengapa tsunami itu datang di kota serambi Aceh? Mengapa Tuhan lebih memilih menghancurkan kota itu ketimbang mencegah dosa-dosa yang lebih besar hingga hukuman tak dijatuhkan? Dengan segala rahasia illahi, Tuhanlah yang punya kuasa. Dari pertanyaan yang tersirat di sini, apakah kekuasaan Tuhan memberi keadilan?

Kekuasaan, dengan segala bentuknya, apakah yang berasal dari Tuhan atau manusia mempunyai pengertiannya sendiri. Tapi bagaimana kita memberi toleransi kepada kekuasaan yang berasal dari manusia? Bagaimana kita mencegah tragedi kemanusiaan akibat perang, perbudakan, atau pembantaian besar Nazi terhadap Semit di abad ke-20 yang sebenarnya semua itu bisa dicegah? Barangkali saya berlebihan, tapi tragedi itu bisa dicegah atau tak terjadi meskipun ini takdir.

Machiavelli, filsuf Italia, penulis Sang Penguasa (II Principe), berasumsi bahwa agar kekuasaan dapat dipertahankan atau didapatkan, satu-satunya jalan ialah dengan menghalalkan segala cara. Maka tak heran jika Hitler atau Mussolini berpegang teguh pada prinsip itu.

Machiavelli tak pernah tahu, apa dampak hebat dari rumusannya tersebut, di masa sekarang atau nanti. Tapi saya menjadi agak ragu, ada atau tidaknya rumusan itu, manusia tetap saja mempunyai naluri untuk memenuhi hasratnya berkuasa, seperti kata Hobbes: “Secara alamiah, manusia adalah makhluk yang secara terus menerus selalu ingin berusaha memenuhi segala hasrat dan keinginannya”.

Menurut Hobbes, kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi dan tak kunjung padam untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan, yang berhenti hanya dalam kematian.

Jadi, pantaskah manusia disalahkan atas tragedi-tragedi yang terjadi?

Syahdan, saya menganggap bahwa kekuasaan adalah jalan hampa bersifat fana yang dipilih manusia. Demi semua itu, ia rela menaruh malu, menciptakan kepalsuan, mengingkari tanggung jawabnya sebagai manusia seperti Faust.

Faust, sebagaimana dikisahkan Goethe, rela menyerahkan jiwanya kepada sang iblis Mephistopheles. Dia adalah seorang doktor yang haus akan ilmu tak terbatas sehingga rela bersekutu dengan Mephistopheles agar merengkuh semua ilmu itu dengan cara yang picik.

Lantas, apakah personifikasi Faust adalah pantas disematkan bagi sang penguasa yang mengukuhkan kekuasaannya? Di sini saya tak menghakimi Faust, bahkan tak ada hubungannya. Tapi, jika boleh saya ganti kata ilmu tak terbatas yang diinginkan Faust yang sombong itu kemudian digantikan dengan kekuasaan yang tak terbatas, apa bedanya?

Seperti yang dikatakan Hobbes, bahwa perbuatan itu ialah hasrat manusia. Naluri alamiah yang muncul dalam diri sang subjek, atau Freud mengatakannya sebagai megalomania–perasaaan mencintai diri sendiri secara berlebihan dalam diri manusia.

Kita tak seharusnya membiarkan penguasa melakukan semacam perbuatan: ia yang mempunyai kepentingan tersendiri, membiarkan laju deforestasi tak terbendung; menelantarkan hak hidup anak-anak akibat perang; mengesampingkan prioritas-prioritas yang lebih arif. Sebaliknya, kita perlu juga perbuatan—lebih tepatnya tindakan yang masif dan preventif; yang diam-diam namun nyata dan terasa laiknya garam di lautan, atau pun tampil dipermukaan laksana panen jamur di musim hujan.

Namun, semua itu perlu mengesampingkan hasrat, sebab hasrat ialah waham. Hal demikian setidaknya bisa menjadi sebuah afirmasi yang bijaksana atau katakanlah represif sekalipun–agar tidak ada lagi tirani kekuasaan, oligarki dan semacamnya di zaman kini.

Sepatutnya juga kita tidak menampik hal-hal yang sifatnya utopis. Meski hanya menjadi sebatas angan-angan. Atau seperti pada pertanyaan berikut: Tuhan, apatah adil?

Ilhmbdhmn

2015