Tjaraka

Dalam perjalanan yang sulit itu, ia menempuh jalur di kegelapan hari. Hermes, sang lakon yang konon bertugas menyampaikan pesan dewa-dewi Yunani Kuno kepada manusia, ia bagaikan Santo: Sang penyelamat dari negeri nun jauh di sana. Hermes, ialah sang Caraka, ia cerdik terutama dalam pelbagai hal mengenai kata-kata, cerita dan perlindungan.

Di tanah Sunda, nama Caraka tidak terlepas dari pengarang zaman kolonial: Tjaraka [1]. Ialah Sang Santo dari tanah Sunda. Berbeda dengan Hermes, Tjaraka adalah seorang manusia Sunda yang kadang bimbang hatinya.

Pada mulanya ia dipinta menulis oleh direksi Sinar Pasoendan di Bandung agar menulis sebuah karangan. Syahdan, dengan segala kebimbangannya ia pun menyanggupi–walau dirundung kebimbangan dan kerisauan itu.

Keresahan bergejolak dihatinya, ketika karangan itu belum selesai ia rampungkan. Romannya: “Isukan Kuring Digantung” (Besok Aku Digantung) yang akan ia garap ternyata bermasalah. Sebelum produksi, Sinar Pasoendan selaku penerbit telah mencetak judul “Isukan Kuring Digantung” pada halaman awal. Selain itu terpampang pula poster-poster atau pamflet-pamflet “Isukan Kuring Digantung” di sepanjang jalan.

Tak pelak, segera ia dipanggil oleh PID (Polilitieke Inlichtingan Dienst) [2]. Komisaris PID ketika itu menanyakan perihal “Isukan Kuring Digantung. Tjaraka dituduh melakukan agitasi melalui karangan tersebut mengenai kejadian tiga pemberontak di Ciamis pada tahun 1926. Tapi, Tjaraka layaknya Hermes yang cerdik itu, dengan mudah meyakinkan bahwa karangan itu bukan mengenai kejadian tersebut. Meskipun tak pernah saya ketahui benar atau tidaknya. Betul kata Iwan Simatupang: yang menolong kita hanyalah nasib baik saja. Ketika itu berlaku baginya.

Ada sebuah cerita mengenai asal-usul “Ha-na-tja-ra-ka…”  begitupun pengakuan Tjaraka bahwa asal-usul namanya diambil dari huruf Jawa tersebut [3]. Hana artinya ada. Tjaraka adalah utusan.

Hanacaraka, data sawala, pada jayanya, maga batanga. Artinya, ada utusan yang setia, keduanya terlibat perselisihan hingga berkelahi, mereka sama-sama kuat dan tangguh, kemudian mereka berdua pun tewas.

Adalah tentang dua orang utusan Raja Ajisaka, seorang tokoh yang konon sebagai pionir yang menciptakan aksara Jawa-Sunda. Kedua utusan itu sama-sama setia tapi pada akhirnya bersengketa. Konflik dimulai ketika Raja Ajisaka berpesan kepada seorang abdinya untuk menjaga keris pusakanya. Sang Raja pun merantau, dan berlalu. Setelah sekian lama ia teringat mengenai keris pusakanya.

Ia lalu memutuskan seorang abdinya yang lain untuk keris tersebut. Namun, karena salah sangka, konflik pun terjadi dan diakhiri perselihan antara dua orang abdi Raja. Mereka saling tikam menikam. Hingga tewas. Sang Raja berkeyakinan bahwa pesan tersebut punya pesan dan makna yang sama: perintah yang harus ditaati.

Pada mulanya, sang manusia Sunda Tjaraka ini tak berkeyakinan dan gelisah terhadap dunia penulisan, meski ia pernah menjabat redaktur di pelbagai majalah: Langensari dan Soerapati. Ketidakyakinan dan kegelisahan itu tak pernah tuntas ia pecahkan. Isukan Kuring Digantung dan Sri Panggung, novel yang ia kerjakan tetap saja menjawab ketidakyakinan dan kegelisahan itu.

Mungkin saja ia mengetahui ucapan Pramoedya Ananta Toer: menulis adalah sebuah keberanian. Dan barangkali hanya keberanian itulah yang terpatri dalam hatinya. Dan menjadi bekal satu-satunya yang tertanam dalam pikirannya.

Keberanian itu seperti menjadi sebuah pesan moral yang pernah ia tuliskan: “Maca, sakali deui maca. Mun kuring disebut bisa ngarang téa mah lantaran kuring resep maca…” (baca, sekali lagi baca. Jika saya disebut bisa mengarang, karena saya suka membaca) [4].

Ini merupakan pesan dan pilihan terbaik semasa hidupnya: membaca. Pilihan itu mengantarkannya ke sebuah pintu gerbang angan-angan. Pesan yang tak pernah menyengsarakan. Membaca adalah satu-satunya senjata–agar terlepas dari kesukaran dan ketertindasan. Meski ia tak banyak berharap agar disebut sebagai penulis moyan [5]istilah yang sering ia sebut untuk penulis yang terkenal. Mungkin ia terdengar seperti Sartre yang telah menemukan agamanya: “Tak ada yang tampak lebih penting bagiku dari sebuah buku. Kulihat perpustakaan sebagai kuil” [6] atau Tjaraka sering menyebutnya Biblioteek.

Tahun 1927, ia bersama para nasionalis dibuang ke Boven Digoel. Artikelnya: “Tan Malaka Dibuang” membuatnya mendekam kurang lebih 4 tahun di Irian Jaya. Akibat hukuman persdelict itu, lahirlah sebuah novel “Antara Idup dan Mati atawa Buron dari Boven Digoel”. Saya percaya, ilmu dari sebuah pengalaman hidup takkan ada yang sia-sia.

Ia juga sempat bergabung dalam Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Samanhoedi kemudian dikembangkan oleh Tjokroaminoto. Juga merapatkan barisan pada pemuda pejuang kemerdekaan. Melalui organisasi tersebut, ethos untuk melepas penjajahan dari Belanda menjadi semakin militan. Walau ia sempat juga ditangkap pada masa pendudukan Jepang dan baru dilepaskan setelah Proklamasi. Luka dari masa kolonialisme itu menghasilkan apa yang kita sebut kemerdekaan.

Tjaraka adalah potret manusia Sunda kala itu. Praktis dalam hidupnya selalu kritis. Perihal hidup manusia yang condong bersifat konsumtif atau menurut Gandhi: kebiasaan hidup berlebihania tuangkan dalam cerpen “Neangan” (mencari).

Dunia selama-lamanya akan membutuhkan petani. Namun tetap saja rasa gengsi terus menghantui. Mungkin itu pesan yang tersirat dalam cerpen “Pacul” ketika keprihatinan kepada pemuda desa yang bertransmigrasi menuju kota, yang tidak lagi mengabdikan lagi hidupnya sebagai petani oleh sebab rasa gengsi. Yang mungkin menurut saya, juga tak menjamin apa-apa.

Barangkali Tjaraka mafhum bila hidup tak seutuhnya lurus, perubahan semakin pesat, kapitalisme dan globalisasi tak bisa dibendung. Cerita yang dibuatnya, tentu masih relevan hingga kini, nanti, atau masa depan. Tapi pesan itu, tak akan pernah sirna.

Tjaraka, selama hidupnya begitu sarat akan perjuangan, perlawanan, pengorbanan terutama untuk bangsa dan negaranya. Ialah sang Revolusioner yang mungkin saja menolak gagasan Camus perihal Absurditas: tentang kesia-siaan manusia dalam berusaha memahami dunia yang memang tak pasti [7].

Sebagai salah satu perintis kemerdekaan, ia barangkali tak akan kaget jika melihat kondisi bangsanya pada abad kini: Rakyat tetap saja ada yang melarat, padahal negara kaya raya. Bukankah ketika itu, musuh hanya datang dari penjajah, sedang kini dari negeri sendiri?

Tak heran, jika Tjaraka pernah menyinggung mengenai fanatisma; orang yang fanatik (terhadap sesuatu) dapat menimbulkan egoisma. Apakah singgungan ini ia persiapkan untuk masa di mana kita hidup sekarang? Tentu bukan. Tapi tetap saja, apa yang ia ucapkan selalu saja ada relevansinya dengan masa kini. Dan fanatisme tetap saja menjadi-jadi. Dan akibat hal tersebut, pertikaian di negeri sendiri tak kunjung usai.

Bila saja ia tak jadi pengarang. “Isukan Kuring Digantung” dan karangan lainnya mungkin tak akan pernah ada. Tak akan pernah ia ciptakan. Juga tak akan ada pesan yang hendak disampaikan. Sebab, selalu ada semangat pembebasan melalui karya. Ia bukanlah Hermesmeski sama-sama utusan untuk menyampaikan pesan. Ia adalah putra Sunda yang menyampaikan pesan itu melalui tulisan-tulisan yang dibuatnya.

Ilhmbdhmn

2015

 *tulisan ini diedit kembali pada 2016

Catatan

[1] Tjaraka (baca: Caraka) lahir di Conggeang, Sumedang tahun 1902 dan meninggal di Bandung pada tahun 1983.  Baca selengkapnya dalam Ensiklopedi Sunda terbitan Pustaka Jaya tahun 2000. Baca juga Cerita Dari Digul, KPG, 2001.

[2] Merupakan polisi rahasia yang tugasnya memata-matai kaum pergerakan nasional pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

[3] dan [4] Dimuat dalam majalah Manglé no. 793-798, 2 Juli 1981-Agustus 1981.

[5] Merunut kamus Sunda Danadibrata, moyan mengandung arti berdiam diri di tempat panas ketika dingin agar merasa hangat. Namun berbeda dengan Tjaraka, istilah tersebut dapat di artikan sebagai ‘tersohor’ atau ‘terpandang’.

[6] kutipan tersebut dikutip dari http://jam-jame.blogspot.com/2013/02/beautiful-quote-about-reading.html

[7] Baca mengenai Absurditas Albert Camus lebih jauh dalam buku “Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas”, PT Gramedia , 1999.