Hujan Pagi di Musim Semi

Mémoire

23: 46
Karena malam telah tertelan, oleh yang bernama: harapan.

Pagi: Mata yang terpejam. Badannya yang menggigil terselimuti kain tipis. Ia seperti merasa, tiap inchi angin yang menyentuhnya, seakan bergetar. Terasa dingin.

Setengah kopi hitam bekas semalam masih tersisa di gelas berwarna coklat bertuliskan “latte…latte”.

Ia masih terbaring di ranjang, seperti seekor hewan yang tertikam panah pemburu. Walau malam telah berlalu, gelapnya masih terasa. Tak ada cinta di musim semi, yang ada hanya rasa getir di hati. Meski begitu, mawar merah perlahan mekar di halaman.

Tak ada sepatah kata jika bertemu pagi. Karena pagi masih saja sama seperti pagi-pagi tempo hari. Menjenuhkan. Kadang ia datang bersama mentari yang tampak dari ufuk timur. Kadang ia datang sendiri tanpa mentari yang masih terlelap. Walau begitu, ia tetap mensyukuri pagi.

Pagi adalah pengantar terang dari gelap, sebab pandangannya terhadap kehidupan semakin terlihat, mungkin juga harapan.

Bersama pagi, burung-burung senantiasa bernyanyi tanpa henti. Meski mereka tak tahu, bahwa kicauannya ialah kesunyian. Dan juga tumbuhan bersemi bersama mentari. Pohon-pohon tampak menjulang tinggi ke angkasa.

Dan kadang pagi pun selalu dibenci. Tapi tak pernah sedikitpun ia merasa kecewa.

Ketika pagi datang. Ayam jantan berkokok dengan suara yang lantang. Perlahan surya menampakan dari persembunyian. Cahaya-nya memasuki dinding kegelapan, dengan lamat, dengan lambat.

Terang yang lain menerobos lewat fragmen kaca yang tertutupi tirai jendela. Pangeran matahari sudah semakin tinggi. Tetapi ia masih terlelap di pagi hari. Sungguh memalukan. Tidak lama kemudian matahari kembali memasuki ke dalam bayang-bayang awan. Seketika awan menjadi hitam. Pagi hari yang menyeramkan. Suara ayam tak lagi terdengar. Dan burung pun berterbangan.

Hujan pagi di bulan Maret awal. Suara petir bergemuruh walau hanya sebentar, tapi suara itulah yang membuat kelopak matanya terbuka. Bulir hujan yang jatuh ke bumi mengilhami hati dari requiem sunyi. Sekaligus membuyarkan mimpinya yang sedang ia alami.

Ia masih terjaga ketika suara hujan mulai terdengar. Rintihannya begitu halus walau beberapa kali suara petir menyambar mengalahkan alunan Jim Morrison di laptopnya. Ia tergerak untuk membuat secangkir hot coklat. Dan beberapa linting rokok akan dihisapnya jika ia mau.

Harum hujan di pagi hari laksana melati yang sedang mekar. Air hujan yang jatuh adalah anugerah dari sang Tuhan, sebab hujan pagi adalah ungkapan rasa syukur yang amat dalam.

Ketika udara segar adalah kenikmatan yang tak tergantikan. Dan flora-fauna di hutan akan jauh dari kematian karena kekeringan.

Air yang menggericik memiliki sejuta makna yang terhampar. Semilir angin yang berhembus memberikan napas kehidupan. Kadangkala, selalu ada salah pengertian, bahwa sesungguhnya pagi adalah yang menentukan masa depan. Ia lahir di saat fajar dan apakah ia “tenggelam” ketika matahari terbit?

Sorot cahaya membawanya serta ke dunia yang angkuh ini. Menjadi manusia: seperti setitik noktah yang cepat hilang dan tergantikan.

Dan ia kikuk ketika sekuntum bunga edelweiss yang baru mekar dari kuncup kehidupan berada dalam bayang-bayang kematian. Pertanda apakah ini?

Kabut tipis tak lagi terlihat. Suara hujan masih saja terdengar. Dinginnya serasa menusuk dan mengiris tulang-tulang. Kepulan asap rokok di kamar sudah semakin pekat. Sedangkan di gelas, masih tersisa beberapa tegukan lagi hot coklat. Embun pagi menempel pada kaca-kaca bening di jendela. Sedangkan ia masih saja menikmati pagi yang tak seperti biasanya: pagi yang ditemani hujan di musim semi, pagi yang sunyi, pagi yang akan mengundang pelangi, pagi yang dapat menyemangati hati yang sedang patah.

Waktu cepat berlalu, hingga hujan sedikit mulai reda. Ia begitu larut dalam lamunan. Karna ia terlena oleh pagi yang tak kunjung pergi. Kemudian ia memohon, untuk kali ini, hujan pagi di musim semi, janganlah kau cepat pergi sebab Chopin masih mengiringi.

So leben wir und nehmen immer Abschied, sebuah elegi dari Rilke: “Begitulah kita hidup dan senantiasa memininta diri”. Agar hujan pagi di musim semi ini, masih tetap menemani.

Ia tak bisa mengelak. Surga di depan mata. Ketika hujan sudah mulai reda. Pelangi hadir di langit-langit cakrawala. Angkasa begitu memesona ketika segumpal awan terlihat seperti kapas: putih dan bersih. Pangeran kembali datang dari kaki langit. Walau sedikit terlambat, karena hari sudah agak siang. Burung berlalu-lalang, terbang hinggap di atas atap. Wangi hujan masih terasa. Kebun dan sawah yang basah seumpama taman di surgaloka. Pohon tua tetap kuat menahan segala mara bahaya. Sedangkan daun tak lagi berguguran.

Ketika semuanya telah usai. Pagi berganti siang. Hujan berganti panas. Dan waktu masih saja berjalan menurut keperluannya masing-masing. Ia terdiam dan kembali memejamkan mata. Hingga berkhayal memiliki rak buku berbentuk pohon cemara. Meskipun kenestapaan kian terasa, tetapi hujan pagi di musim semi membuatnya berseri menyongsong hari demi hari.

Kemudian, ia menyobek sajak Sanusi Pane. Dan membiarkannya terhempas bersama angin.

Pagi telah tiba, sinar matahari
Memancar dari belakang gunung,
Menerangi bumi, yang tadi dirundung
Malam, yang sekarang sudahlah lari.
Alam bersuka ria, gelak tersenyum,
Berseri-seri, dipeluk si raja siang.
Duka nestapa sudah diganti riang,
Sebab Sinar Bahagia datang mencium.
Mari, O Jiwa, yang meratap selalu
Dalam rumahmu, turutlah daku.
Apa guna menangisi waktu yang silam?
Mari, bersuka ria, bercengkerema
Dengan alam, dengan sinar bersama-sama,
Di bawah langit yang seperti nilam.

 

Ilhmbdhmn

2013

 

Nalar

Mémoire

Awal yang indah di musim semi. Bunga-bunga mekar berkilau cahaya. Pohon-pohon menjulang tinggi ke angkasa, menatap langit menyambut sang surya.

Semilir angin berhembus menyentuh kalbu. Gunung yang maha agung, terlihat megah gagah perkasa. Matahari laksana dewa, menyinari hati dirundung luka.

Meski begitu, jalanan tetap ramai. Dipenuhi kendaraan bagai semak belukar. orang-orang berlalu lalang sibuk mencari kedamaian. Kini aku berjalan sendiri di musim semi yang indah ini, menyongsong hari demi hari menyendiri.

Dalam setiap napas kehidupan, manusia menjelma bagai serigala malam. Dan aku lebih baik menikmati renunganku di sebuah puncak gunung. Berusaha menyembunyikan risalah hati pada nyanyian-nyanyian malam. Berkeluh kesah pada kidung penyair murung.

Bukankah diam lebih menyakitkan daripada maut?

Bagiku, alam memberikan banyak arti dalam kedamaian, bagai rajawali yang mengelilingi bumi di cakrawala. Hidup tenang, sunyi, abadi seperti roh-roh yang melayang di angkasa. Ketika kesepian menyapa, hanya angin yang selalu tampak menemani. Memasuki raga yang telah gundah, menyingkirkan sepi yang telah kualami.

Di suatu tempat yang gelap, aku berusaha menyimpan suatu prahara yang tak terduga. Tapi taukah kamu, apapun yang dilakukan seorang secara sembunyi-sembunyi walau dalam gelapnya malam akan dengan jelas terlihat di siang hari? prahara yang tersembunyi akan berubah menjadi suatu perkara, lalu terdengar oleh orang-orang yang saling berbisik dari telinga para manusia hingga menepi di persimpangan jalan. Tetapi, aku tetap pada pendirian. Berusaha menyembunyikan sesuatu dari gelapnya malam. Aku yang mengendalikan baik dan buruknya sesuatu pada diriku, dan mencoba mengasingkan apa yang orang-orang bilang padaku.

Jagat raya ini adalah milik bersama, walau Tuhan yang menciptakan. Musim semi belum terganti. Bunga-bunga masih mengabdi kepada matahari. Wanginya mengitari bumi sampai hilang tak kembali. Langit biru cerah tanpa gumpalan awan di angkasa, terlintas terdengar nyanyian seekor burung bul-bul pembawa rindu.

Sekarang aku berada di tengah-tengah nalar ketidakpastian, terombang-ambing di tengah lautan. Ketika nalar sedang tidak bekerja, kucoba melukis rona dengan jingga. Kugambar kehidupan masa kini, kuhapus kehidupan masa lalu. Sesekali aku terbawa pada kebaikan, walau sering kali aku membawa keburukan.

Setelah kulukis kehidupanku, aku ingin memahatnya: mengukir kehidupanku dengan caraku sendiri, membentuknya seindah mungkin seperti hamparan savana.

Setiap kali aku pergi ke pegunungan, aku membawa kedamaian yang tenang sekali. Setiap kali aku menghampiri anak sungai yang segar, jiwaku menadah pada kesegaran air yang kurasakan.

Tetapi, setiap kali aku menatap pada langit-langit hitam pada malam hari, tak tampak bintang membentuk sebuah rasi. Inilah kegetiran yang kurasakan, aku merasa kehilangan sesuatu yang ingin aku dekap. Nalarku kembali bergejolak.

Kekosongan pada langit malam di musim semi, membuat sebuah penderitaan tanpa alasan. Kesunyian kembali menerpa, bagai menyendiri dalam ruang hampa. Nalar yang sedang terjadi padaku adalah seumpama teratai putih yang hanya terapung dan tak mekar. Akan mekar jika jiwa pada diri kembali berseri-seri, dan berkembang pada bayang-bayang malam mulai datang.

Wahai Tuhan Sang pemberi bahagia dan nestapa: aku tak tau harus bagaimana menyikapi nalarku, baik dan buruk berada dalam bayang-bayang semu. Secepat kilat datang dan menghilang.

Jika saja kau tak mengiming-imingkan surga untuk sebuah pencapaian hidup. Apa yang terjadi? apakah Engkau belum dewasa, ataukah aku yang belum dewasa?

Teramat sulit menjawab kebernalaranku….

Hidup untuk sebuah penalaran…

 

Ilhmbdhmn

Gunung Manglayang, 2012