Di Antara, Budi Darma

Budi Darma, di usia senja, masih mempunyai gelora untuk menulis. Kini saya tahu benar, menulis tidak ada kaitannya dengan umur. Budi Darma—dalam usia yang melewati masa tua itu, berkata kepada saya: “Ya, saya masih semangat menulis. Kebetulan saat ini saya masih menulis di salah satu media.”

Saya percaya betul, dengan matanya yang sayu, kulitnya yang lentur, dan cara jalannya yang agak membungkuk itu, ia bisa dikatakan sebagai sosok yang ikonik bagi saya. Dengan jarinya yang telah menyusut demikian, lahirlah sebuah dampak yang dashyat bagi kesusastraan Indonesia: cerpen dan novel yang, kata Eka Kurniawan dengan caranya sendiri memberi jalan baru kesusastraan Indonesia.

***

Waktu itu, pada suatu sore di acara Asean Literary Festival 2016, mula-mula saya duduk terdiam tak fokus mengikuti jalannya acara. Sambil menyandar tembok. Lalu, di seberang agak jauh beberapa meter, saya melihat satu sosok yang tak asing bagi mata saya. Ia duduk, dengan tenang. Dan saya berpikir, itulah Budi Darma! Memang, ia bukan seorang presiden, ia penulis sejati, maka tak heran jika pemuda di sekitarnya tak tahu bahwa ia adalah penulis senior dan sastrawan Indonesia.

Dalam waktu beberapa singkat saya mulai mendekat dan berinteraksi dengannya. Di antara Budi Darma tangan saya bergetar, di antara Budi Darma jantung saya berdetak lebih kencang, di antara Budi Darma hati saya gugup. Hal yang klise bila seseorang bertemu idolanya. Dengan waktu yang relatif singkat (atau lama?) itu, kami berbincang panjang.

budi-darma
Budi Darma

Omongan Budi Darma begitu penting bagi saya. Bagaimana ia menceritakan tentang penulisan novel Rafilus yang terpikir olehnya saat menyetir mobil. Kalimat: Rafilus telah mati dua kaliyang terlampau absurd itu terlahir dari daya ciptanya yang absurd pula. Saya membayangkan Rafilus saat itu hadir dan menyaksikan kami berdua membicarakan dirinya.

Budi Darma, seorang penulis yang rendah hati, adalah sebuah inspirasi bagi siapapun yang ingin mulai menulis. Ketika saya mengatakan bahwa salah satu cerpennya telah saya sadur, ia tersenyum dan berkata: “oo ha ha cerpen yang mana?”, saya jawab: “Kisah Pilot Bejo, Pak”. Ketika Budi Darma tahu bahwa saya tidak berniat menerbitkan tulisan tersebut, ia berkata: “Mengapa tidak diterbitkan?”

Saya ingat betul ketika pertama kali saya membaca karya-karya Budi Darma, waktu itu saya masih mahasiswa dan masih ‘belajar membaca.’ Sedikit juga membaca Chairil Anwar dan Iwan Simatupang. Ada yang ganjil dalam karakteristik tokoh cerita-cerita Budi Darma: suasana batin antar tokoh terasa dalam; kedengkian; syak swasangka, degradasi moral juga humoristis. Sesuatu yang hebat ada pada tokoh Rafilus, Orez, Yorrick atau nama-nama yang sengaja di sembunyikan identitasnya oleh sang penulis, entah mengapa saya suka!

Saya menduga atau sesungguhnya sedikit saya tahu Budi Darma sengaja melakukan itu pada karakter tokoh-tokohnya, sebab ia pernah mengatakan di balik penderitaan manusia terdapat gelak tawa.

Di akhir percakapan, dengan segala pujian yang saya panjatkan, sekali lagi Budi Darma memang seorang yang rendah diri bahkan barangkali teramat rendah diri. Bahkan ia tak sungkan menyapa saya “Halo” via Whatsapp.

Demikianlah kekaguman saya pada sosok ini, kekaguman saya kepada sastrawan ini tak cuma menjadi pembenar kelemahan saya. Sebagai saran, bacalah karya dari sastrawan senja ini sebagai ruang kontemplatif yang imajinatif agar kata yang saya tulis ini tak sekedar omong kosong belaka.

Jakarta, Mei 2016

Ilhmbdhmn