Ibarat Menunggu Godot

Siapa saja yang pernah membaca Menunggu Godot, tentu mafhum betul bahwa karya sastra ini sedikit menggambarkan tentang sebuah harapan yang tak kunjung berakhir.

Menunggu Godot adalah sebuah lakon yang ditulis oleh sastrawan Irlandia Samuel Beckett pada 1952. Lakon ini bercerita tentang empat karakter, termasuk Vladimir dan Estragon, menunggu kedatangan seseorang bernama Godot yang sebenarnya belum tentu datang, bahkan tidak pernah datang sama sekali.

Sambil menunggu, mereka terlibat dalam pelbagai diskusi panjang. Dengan harapan, Godot segera datang. Namun, penantian panjang Vladmir, Estragon, dan dua tokoh lain Pozzo dan Lucky terhadap Godot hanyalah sia-sia.

Lalu, apa pembelajaran yang didapat dari cerita yang sudah dipentaskan berkali-kali di hampir seluruh dunia ini? Kisah ini hanyalah refleksi dari simbol penantian, seperti penantian Pemerintah Indonesia terhadap perubahan sektor transportasi dan logistik Tanah Air.

Beberapa waktu lalu, para pelaku usaha transportasi dan logistik di Indonesia mengunjungi Thailand guna mengikuti serangkaian acara salah satunya Thailand International Logistics (TILOG) 2018.

Para pelaku usaha menyadari, bahwa Indonesia sedikit tertinggal dari Negeri Gajah baik terkait dengan transportasi dan logistik. Oleh karena itu, Indonesia perlu belajar.

Apalagi, pemerintah berharap menjadi hub logistik Asia Tenggara pada 2019. Perlu diingat, Thailand pun tengah berjuang untuk pencapaian yang sama dengan Indonesia.

Bisnis mencatat Thailand menargetkan menjadi hub di Asia Tenggara. Negara itu juga menargetkan penurunan biaya logistik yang saat ini masih 14% dari produk domestik bruto menjadi 12%.

Selain itu, menargetkan pertumbuhan ekspor meningkat 5% per tahun, dengan minimal 30 produk yang diekspor adalah lima produk terbaik di dunia.

Harapan itu pun didukung dengan kenaikan posisi Logistics Performance Index (LPI) 2018 se-Asean menjadi peringkat dua Asean atau naik satu peringkat dari 2016. Negara itu pun sudah menjadi hub logistik seperti produk halal dan suku cadang.

Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan salah satu faktor yang membuat Thailand memperbaiki posisinya dan menggeser Malaysia adalah banyaknya investasi yang masuk dan pembangunan infrastruktur yang telah diselesaikan.

Selain itu, komitmen Pemerintah Thailand dalam hal melaksanakan cetak biru yang telah lama mereka sepakati begitu konsisten, kendati telah berganti pemerintahan dalam 10 tahun terakhir.

Menurutnya, menjadikan Indonesia sebagai hub Asia Tenggara setara Singapura, Malaysia dan Thailand bukan perkara mudah. Namun, bisa saja terlaksana apabila pemerintah Indonesia dapat terus bekerja keras.

“Perlu kerja keras dan kita bisa menjadi hub logistik dalam beberapa komoditas dalam 3 tahun ke depan saja sudah bagus,” katanya, belum lama ini.

Kementerian Perhubungan memang merencanakan menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai hub internasional.

Yukki menilai kebijakan pemerintah seperti adanya Pusat Logistik Berikat (PLB) guna mewujudkan hub logistik Asia Tenggara juga dinilai belum cukup.

Menurutnya, pemerintah harus menjadikan Indonesia lebih berdaya saing terutama mendukung ekspor. Bukan saja hanya industri besar, tapi juga UMKM mengingat mempunyai potensi besar.

Pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Yukki menilai kinerja sektor logistik terlihat membaik seiring naiknya posisi Indonesia pada LPI 2018 yang dirilis Bank Dunia ke peringkat 46 dari urutan sebelumnya pada 2016 yaitu 63.

Namun, catatan negatifnya adalah peringkat Indonesia di antara negara Asean malah turun satu peringkat ke posisi lima. Yukki mengindisikan bahwa negara lain memperbaiki kinerja sektor logistiknya, satu di antaranya adalah Vietnam.

TRUK ODOL

Pada sektor transportasi, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) meminta pemerintah Indonesia meniru konsep manajemen angkutan barang dari negeri Thailand.

Apalagi, Indonesia kini tengah gencar-gencarnya untuk membasmi angkutan overdimensi dan overload (ODOL) yang merugikan negara Rp43 triliun setiap tahunnya.

Wakil Ketua Umum DPP Aptrindo Kyatmaja Lookman menyatakan mendapatkan penjelasan terkait dengan sistem penimbangan kendaraan di jalan tol yang diatur oleh Departement of Highways Thailand.

Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok terkait penyelenggaran uji kendaraan berkala atau KIR di Indonesia dan Thailand.

Kyatmaja mengatakan penindakan pelanggaran uji KIR di Thailand terbilang sangat kejam lantaran diatur begitu sangat ketat. Apabila kedapatan tidak sesuai aturan, imbuhnya, negara Thailand mengenakan sanksi yang diberikan terhitung sangat berat.

“Karena bila kelebihan satu kilo saja bisa disidang. Denda maksimalnya saja Rp4 juta, kalau di Indonesia kan hanya Rp500.000. Atau bisa dikenakan kurungan 6 bulan, sementara di Indonesia tidak ada kurungan,” katanya.

Kyatmaja mengatakan ada persamaan antara Indonesia dan Thailand yaitu sama-sama memiliki kelas jalan atau pengelompokan jalan.

Sayangnya, di Thailand tidak menganut Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) seperti halnya Indonesia.

Jadi, paparnya, Thailand menyeragamkan daya angkut kendaraan yang sama. Namun, kendaraan akan ditilang jika melanggar kelas jalan. “Kalau di kita kan rambu kelas jalannya enggak ada, tapi daya angkutnya acak-acakan tergantung kelas jalan daerah. Itu bedanya,” ujar dia.

Maka tak heran, dengan aturan yang ada Thailand terbebas dari kendaraan overload.

Thailand sudah menerapkan sistem Surat Izin Mengemudi (SIM) dan GPS terintegrasi terhadap angkutan muatan barang. Sistem itu akan terintegrasi langsung kepada pemerintah, sehingga dapat terkontrol langsung.

“Sudah ada 200.000 sekian truk yang terdaftar. Pembuatan SIM juga dibuat oleh Kementerian yaitu Department of Land Transport, bukan kepolisian,” ujarnya.

Canggihnya, ketika truk itu dinyalakan maka dapat diketahui siapa pengendara yang menjalankannya sebab dengan sistem yang canggih itu akan terkoneksi langsung kepada pemerintah.

“”Jadi ketika truk itu jalan lalu terjadi pelanggaran seperti over speeding dan pelanggaran lalu lintas, akan terdeteksi dan diberlakukan e-tilang,” kata dia.

Oleh karena itu, dia juga meminta pemerintah memberikan kepastian hukum. Apabila angkutan barang yang tidak sesuai dengan peruntukannya di jalan yang lain maka bisa diberi sanksi tilang serupa di Thailand.

“Itu yang kita mau, sama seperti di Thailand,” katanya.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Cucu Mulyana yang ikut serta dalam kunjungan ke Thailand mengatakan baru memfinalkan laporan studi atas kunjungan tersebut.

Dia berjanji akan memberikan informasi lebih lanjut apabila laporan itu sudah disampaikan kepada Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi.

Pada akhirnya, penantian dan keinginan Indonesia terhadap perbaikan sektor logistik dan transportasi termasuk menjadikannya sebagai hub logistik diharapkan tidak seperti yang dialami Vladimir dan Estragon dalam kisah Menunggu Godot.

Kendati di sisi lain, sebenarnya dalam lakon itu terkandung harapan yang luar biasa untuk menantikan sesuatu yang saat ini belum dapat terwujud.

Ilham Budhiman
September 2018
Harian Bisnis Indonesia

Tiada Kata Akhir

Ada dua macam pejuang yang paling kuat: kesabaran dan waktu. Begitulah kata sastrawan Rusia Leo Tolstoy. Dan, kalimat itu pantas disematkan pada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Jilid IV.

Hari ini, Jumat (20/12/2019), Agus Rahardjo bersama Alexander Marwata, Basaria Pandjaitan, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang akan melepaskan jabatannya sebagai pimpinan KPK Jilid IV.

Mereka ibarat pejuang yang paling kuat. Selama 4 tahun terakhir memimpin KPK, mereka tak luput dari berbagai serangan kritik, teror, cibiran, maupun tekanan. Namun, kesabaran dan perjuangan terus mereka gaungkan.

Pun, ketika revisi undang-undang KPK disahkan dan diberlakukan 17 Oktober lalu, tiga pimpinan KPK yang saya sebut Three Musketeers: Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang habis-habisan memperjuangkan apa yang mereka yakini.

Namun, perjuangan mereka tak semanis seperti tokoh dalam novel Three Musketeers karya sastrawan Prancis Alexandre Dumas.

Biarlah cerita perjuangan itu terpatri dalam hati nurani. Sebab, cinta mereka kepada KPK adalah alat perjuangan yang tak akan habis, tak ada akhir.

Lembaga antirasuah era Agus Rahardjo dkk. selama empat tahun terakhir mencatatkan kinerja yang cukup baik. Sebanyak 87 operasi tangkap tangan dilakukan dengan total tersangka 327 orang. Operasi senyap itu berhasil menangkap kepala daerah, anggota DPR, hakim, jaksa, swasta, direksi BUMN hingga menteri. Sebanyak 608 koruptor dari berbagai unsur dan enam korporasi juga telah dijerat.

Selama 4 tahun terakhir, komisi antikorupsi telah melakukan 498 penyelidikan; 539 penyidikan; 433 penuntutan; 286 berkekuatan hukum tetap; dan 383 eksekusi. KPK juga menyelamatkan potensi kerugian negara dengan total Rp63,8 triliun serta menyetor ke kas negara sebesar Rp65,72 triliun.

Di pengujung masa tugas, Ketua KPK Agus Rahardjo mengaku telah membereskan isi ruangan kerjanya. Sebanyak tiga dus berisi buku diangkut dengan kendaraan pribadi.

Pekerjaan kecil selanjutnya mengosongkan semua data di ponsel dan komputer terkait dengan pekerjaannya di KPK. Sementara itu, cerita haru datang dari Laode ketika menerima pelukan hangat yang erat dari koleganya Saut Situmorang sebagai salam perpisahan.

Laode menyumbangkan hadiah kecil untuk komisioner baru KPK berupa kerang besar yang berisi pesan. Kerang itu ditempatkan di ruang kerjanya.

Kado terakhir berupa lukisan kolase lima pimpinan KPK Jilid IV juga diberikan pegawai KPK di pertemuan terakhirnya.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko berterima kasih pada Agus Rahardjo dkk. atas dedikasi waktu, pikiran, dan keberaniannya untuk pemberantasan korupsi.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menaruh harapan besar agar Agus Rahardjo Cs. terus berkomitmen pada pemberantasan korupsi di mana pun mereka berada.

Kini, tongkat kepemimpinan itu akan berlanjut ke pimpinan baru. Perjuangan itu akan berlanjut, dan terus berlanjut…

Ilham Budhiman
2019
Dimuat di Harian Bisnis Indonesia

Pesona Dylan dan Ketiadaan

Saya tak ingat kapan dan bagaimana saya mendengarkan Bob Dylan. Tapi, beberapa penggalan liriknya masih terngiang dipikiran seperti monster kecil yang bermain-main tanpa henti hingga kini.

Siapa pun yang mendengarkan Bob Dylan pasti tak pernah melewati daftar putar Blowin’ In The Wind atau pun “The Times They Are A-Changin” (meskipun memang tak harus sepakat daftar putar mana yang harus di dengar). Mula-mula, saya kira kedua lagu ini lagu picisan, lagu yang lahir dari seorang bersuara parau yang bernama asli Robert Allen Zimmerman.

Pada Dylan, sebuah makna ada dalam tiap kalimatnya: sebuah kata-kata yang, bukan hanya diinterpretasi sebagai lagu antiperang—tapi juga sebagai unsur sastrawi:

How many times must a man look up,
before he can sees the sky?
And how many ears must one man have,
before he can hear people cry?
And how many deaths will it take till we knows,
that too many people have died?

The answer my friend is blowin’ in the wind,
the answer is blowin’ in the wind.

(Blowin’ In the Wind)

Kita tak bisa menampik, di zaman kini, kita hidup dalam sebuah kategori, dalam sebuah label, dalam sebuah perdebatan yang panjang, misalnya, “apakah lirik ini sebuah karya sastra puitis? Apakah ini karya sastra atau bukan? Apakah itu termasuk ini itunya ‘dengan segala halnya yang cingcong’?”

Inilah sebabnya beberapa kritikus menganggap kalau Bob Dylan bukanlah seorang sastrawan. Mereka tak memahami, menjadi seorang sastrawan bukanlah harus mencipta sebuah penciptaan puisi yang maha dahsyat atau alih-alih membuat novel yang ‘edan’—ia yang menjadi seorang sastrawan ialah yang mencipta ‘perubahan’.

Saya tidaklah berada dikubu Dylan, saya tak mengenalnya, tidak pula mengaguminya secara berlebihan. Dan ketika Dylan menerima Nobel Kesusastraan, hal itu menjelaskan jika ia punya pesona.

Dikutip dari New York Times, Sara Danius, peneliti sastra dan sekretaris tetap dari 18 anggota Academy menyebut Dylan sebagai ‘penyair hebat dalam tradisi lisan bahasa Inggris’. Juri menilai, “Dylan adalah ikon. Pengaruhnya terhadap musik kontemporer sangat besar, dan ia juga merupakan objek akan percepatan dari bentuk sastra kedua.”

Pesona itulah yang kiranya menjadikan ia seorang ikonik.

Jauh sebelum Jim Morrison menuliskan buku puisinya berjudul: The Lords and the New Creatures. Tarantula—buku kumpulan puisi Dylan tercipta pada 1966 (umur 25 tahun). Saya membacanya dalam bentuk digital. Inilah yang bisa saya katakan: isinya tak begitu menggema, tak begitu kuat, namun saya yakin mempunyai pesan isyarat yang besar dan tak main-main.

Pada mulanya, saya mengira Dylan bukanlah seorang penulis dan pencipta lagu. Bisa saja orang mengira jika lagu “Like a Rolling Stone” benar-benar milik Rolling Stone? “Knockin’ on Heaven’s Door” secara mutlak milik Guns N’ Roses atau “Blowin’ In The Wind” lebih populer dinyanyikan oleh trio folks: Peter, Paul dan Mary. Seperti sebuah pertanyaan dalam setiap lirik yang Dylan buat: How does it feel, ah how does it feel?

***

Pertanyaan. Pertanyaan itu sering kali membuat saya luput dari ketiadaan: ketiadaan yang membuat saya benar-benar lupa akan kejadian-kejadian yang ada, yang nyata, di depan mata. Mengapa orang-orang lebih hebat ketika di layar kaca? Namun ia tak berarti sama sekali di kehidupan nyata? Mengapa orang-orang sangat asyik berbelanja tapi ia lupa cara-cara hidup bersahaja?

Pertanyaan ini bukanlah khutbah, seperti pertanyaan yang sering terlontar dalam lirik-lirik Dylan. Sekali lagi: How does it feel, ah how does it feel?

“Blowin’ In The Wind” mewakili semua pertanyaan-pertanyaan itu. Lagu ini katakanlah sebuah lagu protes—yang memberi pertanyaan tentang ketiadaan yang tak terjawab. Dylan menyanyikannya dengan suara lurus menyentuh, gitar yang nyaring, harmonika yang ‘lirih’ dan—jika siapa pun yang melihatnya dalam bentuk video sebelum aransemen baru—ia benar-benar bergetar.

Pertanyaan itu menjadi sebuah repetisi:

How many years can some people exist,
before they’re allowed to be free?
And how many times can a man turn his head,
and pretend that he just doesn’t see?      

Lagu ini menjadi sebuah refleksi ketika pertanyaan tentang ketiadaan itu tak terjawab. Hak hidup yang mestinya digenggam kini telah direnggut akibat perang, ketidakadilan, keserakahan dan degradasi moral yang tak berakhir: benarkah? Dan apa jawabnya? …is blowin’ the wind, the answer is blowin’ in the wind..

Peperangan ini bukanlah peperangan antar suatu negara saja: namun saya kira terjadi akibat suatu politik ideologi tertentu dan hasrat untuk menaklukkan.

Pesona Dylan tak lepas dari kehidupan sosialnya. Ia hidup dari pelbagai latar belakang masalah dunia. Ia seorang yang tumbuh dalam keluarga Yahudi. Saya jadi teringat kisah dalam film Pulp Fiction ketika Samuel L Jackson mengutip Ezekiel 25:17 sesaat sebelum membunuh. Mungkin saja kutipan ayat tersebut menggelora di dalam kepalanya—tapi saya tak begitu yakin.

Pesan Dylan tak akan pernah luntur dalam nyanyiannya. “The Times They Are A-Changinmencoba mengisyaratkan hal itu: Come writers and critics…Who prophesize with your pen…And keep your eyes wide…The chance won’t come again...

Frasa kedua melukiskan sebuah isyarat moral yang tak habis dari zaman ke zaman, dari tiap saat dan dari taraf waktu tertentu.

Dylan sepertinya mafhum betul jika hanya penulis dan kritikuslah yang dapat menembus dan mengubah keadaan seperti paras rabi, pengkhotbah atau seorang bijak bestari yang mengajarkan kebaikan dengan versi dan kaidah masing-masing.

Dylan, seorang musisi yang bagi sebagian orang berkedok sastrawan, nabi, atau pun juru khotbah bukanlah personifikasi semacam itu. Ia tidak patut menjadi alegori demikian. Ia bagaikan anak lugu yang mencecari pertanyaan-pertanyaan sinis terhadap orang tuanya. Dan ketika orang tua tersebut menjawabnya dengan gamblang, si anak tak begitu yakin dan mengulangi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kukuh, bahkan sarkas.

Dan Dylan sering menampik. Ia tak pernah terus terang laiknya Roger Waters. Lagu “Blowin’ In The Winddikatakannya bukanlah lagu protes—tapi kritikus tak mempercayai itu. Dylan hanya ingin dirinya tak terlalu dipuja—cukuplah orang menjadi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam liriknya saya yakin karena ada sesuatu yang tak beres dalam kehidupan kini. Kepekaan terhadap kehidupan begitu besar.

Ketiadaan yang begitu diharapkan sering kali dicap sebagai utopis. Ketiadaan akan perang, kemeralatan, keserakahan, kesenjangan dan ketidakadilan acap kali muncul dengan tiba-tiba dan sulit untuk dilenyapkan. Dan ketika Dylan memenangkan Nobel, seperti dikatakan Stephen King: “Suatu hal yang besar dan baik dalam musim [yang penuh] dengan kebatilan dan kesedihan.”

Pesona Dylan akan tetap terang di usianya yang kini 75 tahun. Dan ketiadaan-ketiadaan di atas? Seperti dalam frasa terakhir dalam liriknya: The answer, my friend, is blowin’ in the wind…The answer is blowin’ in the wind.

Ilhmbdhmn
November 2016

Monroe dan Sepak Bola

Di antara ribuan penonton kala itu, Marilyn Monroe melambaikan tangan sambil berdiri di jok belakang mobil convertible menuju sebuah lapangan. Ia tampak bersemangat. 12 Mei 1957, di stadion Ebbets Field, Brooklyn, New York, mula-mula Monroe hanya melambaikan tangan, tersenyum, hingga pada akhirnya ia menendang bola dengan sebuah kepercayaan.

Monroe mengenakan dress ketat, sepatu hak tinggi, dan—ini yang membuat pria terpana—di dress antara belahan dadanya, tertempel sekuntum bunga. Wanita yang menjadi simbol bomb-sex itu barangkali mafhum betul bahwa ia menjadi titik pusat dari ribuan pasang mata.

Di lapangan, dengan diapit dua orang lelaki, Monroe mengambil ancang-ancang sebelum bola itu tergelincir deras terkena runcing hak sepatunya. Setelah itu, ia tertawa sambil menyibakan rambut pirangnya: ini seperti mendefinisikan bahwa sepak bola ialah permainan yang menghibur bagi Monroe atau pun penonton. Pertandingan itu, terjadi antara Amerika Serikat melawan klub Israel, Hapoel Tel-Aviv.

Monroe mungkin tak akan tahu bahwa sepak bola, setelah ia sendiri mengalaminya meski tak lari-lari mengejar bola, suatu saat kelak akan menjadi olahraga nomor satu dunia, bagi wanita, pria, dewasa, bahkan anak-anak.

Namun, pernahkah ia tahu bagaimana ketika keadaan yang tak memungkinkan terjadi. Wanita dilarang bermain bola karena tak etis, laki-laki tak bisa menikmati pertandingan sepak bola di layar kaca, dan anak-anak yang tak leluasa bebas menampilkan skillnya?

Di negara Timur, sepak bola sempat dilarang dengan sebab musabab atas nama agama. Anak-anak tak leluasa bermain bola di negara yang terlibat perang, namun mereka masih nekat bermain walau ancaman datang.

Ini menjadi persoalan yang pelik yang harus ada jalan keluar—bukankah dari sepak bola, kita belajar tentang keadilan?

Tentang keadilan dan keadaan pelik terkait sepak bola, ada sebuah cerita dari sebuah film: Phörpa (1999). Film Phörpa atau The Cup, berasal dari negara yang kuat tradisinya: Bhutan. Dalam Phörpa, bagaimana kita dapat belajar menerima sesuatu yang menjadi pantangan. Diawali dengan pertanyaan: “apakah seorang yang sedang belajar menjadi seorang biksu yang taat dan dengan tradisi yang kuat dapat menonton final Piala Dunia?”

Mula-mula, Orgyen Tobgyal, seorang tokoh dari film Phörpa membujuk seorang penjaga asrama agar dimintakan izin kepada Kepala Biksu supaya para calon biksu dapat menonton sepak bola dalam biara. Padahal, sebelumnya, ia diam-diam dengan para calon biksu lain sempat menonton Piala Dunia di permukiman penduduk, kemudian kepergok lalu dijatuhi hukuman.

Singkat kata, izin pun didapatkan. Setelah itu, demi kecintaannya terhadap sepak bola, mereka melakukan segala cara demi menyewa saluran televisi parabola Piala Dunia termasuk dari uang saku masing-masing.

Film ini termasuk film komedi, juga mengandung kebijaksanaan. Mereka yang hidup dalam tradisi yang kuat, jauh sebelum Youdan Cup atau FA Cup digelar, tak menampik euforia sepak bola dunia yang berasal dari negeri nun jauh di sana.

Meski hanya sebuah film, namun kita tak bisa mengelak, bahwa sang sutradara Khyentse Norbu ialah seorang keturunan rahib yang tersohor dalam Buddisme Tibet. Saya paling suka tagline dari film ini: Buddhism is their philosophy. Soccer is their religion. Tentunya dengan sedikit gurauan.

Lalu, lambat laun, cerita asyik itu mulai tergerus. Dalam realitas, kita hanya dapat menyaksikan atau mendengar seseorang yang terkekang atau bahkan tertembak mati saat bermain sepak bola. Tak ada kenikmatan lagi dalam olahraga nomor satu dunia tersebut.

Akhir-akhir ini, kita diingatkan dengan tragedi penembakan seorang anak saat bermain sepak bola; dilarangnya jersey kebanggaan di kelompok tertentu; dieksekusinya pemain sepak bola Suriah oleh kelompok ekstremis; dan hal miris lainnya.

Maka, jika kita bayangkan seorang lelaki, kelompok tertentu, atau pun siapa saja yang melarang sepak bola demi ideologinya, pantaskah ia kita sebut seorang yang lembek?

Oscar Wilde, sastrawan yang termasyur itu pernah berkata: “Football is all very well as a game for rough girls, but is hardly suitable for delicate boys.” (Sepak bola adalah permainan yang bagus untuk anak-anak perempuan yang tangguh, tapi bukan untuk anak-anak laki yang lembut). Mungkin itulah barangkali sepak bola bukanlah “kejahatan perang”, meski dalam permainan memperebutkan sebutir bola; berusaha saling adu; sikut-menyikut; dan tentunya menunjukkan kelihaian dalam mengolah bola. Setelah berakhir, mereka bersalaman.

Tapi, tak semua orang di dunia ini sependirian. Yang mengasyikkan belum tentu baik, yang baik belum tentu benar. Lalu, masih perlukah kita untuk terus melawan “tameng” berlabel tradisi itu? Kita mungkin bisa menjawab “ya”, bisa juga menjawab “tidak”, sebab dengan masih adanya pemikiran yang diapit oleh cita-cita yang “katanya” mulia itu, kemerdekaan dalam bermain sepak bola agaknya masih terasa ganjil.

***

Seorang anak asal Israel dalam cerita Sepatu karya Etgar Keret mendapatkan sepatu bola dari ibunya. Tentu hal ini sangat menyenangkan bagi anak-anak, namun celakanya sepatu itu merek Adidas.

Ada kebencian yang mendalam pada dirinya untuk sepatu itu dan semacam ambivalensi: Yahudi dibunuh Jerman, Adidas buatan Jerman. Dan sang kakek mati karena Holokaus. Lalu, ia menyukai sepak bola dan memakai sepatu made in Jerman.

Tapi, apalah arti semua itu, jika bagi sang tokoh anak-anak sepak bola sudah melekat dalam hatinya. Kebencian yang mendalam itu pun sirna dan terlupakan. Seperti katanya: “pada awal permainan aku tidak akan menendang dengan ujung sepatuku agar tak menyakiti kakek.”

Tapi, ia lupa kata-kata seorang lelaki di museum Volhynian bahwa orang cenderung melupakan. Dan itulah yang terjadi meski ia memenangkan pertandingan serta mencetak beberapa gol dengan sepatu itu.

Sepatu adalah cerita yang sederhana, ada satire yang muncul dan terasa menggelitik.

Kini saya rasa, kita harus belajar dari anak-anak. Tentang mencintai sesuatu tanpa berlebihan. Cukup melakukan apa yang mereka suka, dengan tenang, dengan nyaman tanpa ada perdebatan “siapalah yang paling benar”.

Lantas, bisakah kita mengambil secuil kisah Monroe atau pun film Phörpa? Di mana ketika sepak bola telah menjadi harapan yang mutlak menyatukan kecintaan satu sama lain terhadap sepak bola, atau pun menonton bersama dengan orang yang berbeda dalam hal kesukuan, agama, ras dan antar-golongan, tanpa adanya kutukan yang menyerang, juga dibebani dosa yang mengancam.

Ilhmbdhmn

2016

Terasing

Siapa yang benar-benar tahu bahwa keterasingan ialah seseorang yang tak pernah benar-benar sendiri? Seorang yang terasing barangkali bukanlah seorang yang sungguh mendapati sepi. Sunyi. Melainkan seperti sendiri dalam sebuah keramaian.

Penjaga gawang dalam permainan sepakbola bagaikan hidup dalam sebuah kotak yang tak leluasa: 18,32 m x 5,5 m. Ia hidup dalam “keterasingan” yang terkekang garis gawang. Meski begitu, mustahil untuk tak bergerak jauh, leluasa, bahkan bebas. Garis gawang hanyalah tapal batas yang, di setiap kesempatan dapat terlewat.

Tapi, sang penjaga gawang tetaplah penjaga gawang yang terasing, yang pada momen tertentu bahkan krusial, ia menjadi titik ukuran timnya akan menang atau dikalahkan. Walaupun, ada sejumlah pemain belakang yang siap mengadang baik sejajar ataupun berdampingan. Justru, pada peran inilah menjadi penjaga gawang merupakan tanggungan yang besar.

Seorang penjaga gawang ialah seorang yang “asing”. Identitas mereka berbeda: pada umumnya berseragam cerah atau gelap, kadang bercelana panjang dan bersarung tangan.

Satu hal yang paling disorot penonton ketika terjadi tendangan pinalti, tak lain dan tak bukan adalah eksekutor dan sang penjaga gawang. Penjaga gawang menjadi ajang perjudian. Kemenangan atau kekalahan ada di tangan.

Ketika gol terjadi, penonton bersorak dan penjaga gawang harus kembali menjadi seorang yang asing. Menjadi seperti tikus dalam cengkraman kucing: tak berdaya, dicemooh, mungkin pasrah atau gundah. Tak banyak juga yang tahu bahwa ia bisa diterima, tak dicemooh, tak pasrah dan gundah.

Seorang penjaga gawang rela berjibaku dengan pemain lawan, kesakitan menangkis dan menangkap bola dari ketinggian meski kadang terlepas dengan sia-sia, susah payah melindungi gawangnya meski ia mungkin tahu timnya akan kalah.

Bagaimanapun, dengan kerelaan yang mengandung risiko sedemikian, Dewi Fortuna bisa saja melindunginya dengan segala macam cara, dan meyakinkan bahwa menjadi penjaga gawang bukanlah pekerjaan yang sia-sia dan bukanlah hal yang mustahil dapat mencetak gol.

Rogério Ceni, mantan penjaga gawang São Paulo FC, berusia uzur, lihai mencetak gol dengan tendangan bebas. Mungkin seorang ayah berkata kepada anaknya di tribun penonton: “Lihat, seorang penjaga gawang bisa mencetak gol!”

Tahun 1999, seorang José Luis Chilavert, bahkan mencetak trigol pertama dalam sejarah bagi seorang penjaga gawang. Di sini lah letak ketidakmungkinan itu bisa terjadi bagi siapa pun.

Ketidakmungkinan menjadi sebuah kemungkinan, apa itu terjadi karena kehebatan atau kemalangan, layaknya penjaga gawang atau juga seorang imigran.

Perang berkecamuk di Timur Tengah. Itulah sebabnya, seorang penjaga gawang tak beda jauh dengan seorang imigran. Di negeri nun jauh di sana, para imigran menjadi asing.

Di lapangan hijau—ini sering terjadi, penjaga gawang nekat maju ke depan gawang lawan saat tendangan sudut untuk membantu mencetak gol di momen krusial. Sementara di Timur Tengah, para imigran berjalan kaki ribuan kilometer ke Eropa untuk mencari suaka.

Penjaga gawang dan imigran: mereka berani bertaruh untuk ‘keselamatan’. Dan saya tak tahu, apakah mereka bahagia?

“Kaki saya sakit, tapi saya baik-baik saja,” ujar Uzbeki yang berbalut selendang hijau dan selimut cokelat di Opatovac, kamp utama imigran di Kroasia seperti dilansir CNN.

Bibihal Uzbeki, 105 tahun, seorang Afghanistan, menempuh jarak bertelanjang kaki selama 20 hari ke Kroasia. “Kaki saya sakit”, mengisyaratkan tanda “keluh kesah”, “tapi saya baik-baik saja” adalah sebuah “kesanggupan”. Barangkali bagi mereka seorang penjaga gawang dan imigran, kesakitan adalah tanda kesanggupan yang lain.

Para imigran perang adalah sebuah keprihatinan yang mendalam. Anak-anak, orang tua renta, ibu hamil, mereka menjadi sebuah ‘metafora’ bahwa perang ialah tindakan paling bodoh umat manusia. Keterbelakangan moralitas.

Saya berpikir, bahwa penjaga gawang dan imigran ialah orang yang paling tersisihkan di dunia, mereka bisa dianggap asing oleh kawanan yang lain, acap kali terlihat aneh sebab identitas yang berbeda. Namun, mereka tetaplah manusia: mempunyai hak hidup yang semestinya dan berhak menyerapahi, mengumpat, atas pergolakan nafsu perang yang tak ada habisnya.

Demikianlah bahwa kita telah melihat kisah manusia yang hidup di antara “keterasingan” dan “keterbuangan”. Di sepakbola, waktu normal berakhir dalam 2×45 menit. Penjaga gawang akan pulang, melepas perannya sementara. Pada situasi perang, waktu akan berakhir jika mereka mau, jika mereka sanggup, jika mereka sadar, sebab hidup bukanlah soal kekuasaan. Perang bukanlah pertunjukkan teater.

Itulah sebabnya para imigran bukan sedang menjalankan peran dalam pentas teater. Mereka berjalan, berjalan, terus berjalan. Dan penjaga gawang? Mereka akan melepaskan jerseynya yang berkeringat, saling bertukar dengan yang lain, dan bersalaman. Akankah ini bisa terjadi bagi negara yang terlibat perang? Menghentikan serangan, mematikan rudal dan mortir, dan saling bersalaman di pentas nyata?

Maka bisa kita bayangkan semua bersorak-sorai. “War is over, if you want it, war is over, now!” seperti kata John Lennon. Meski itu bukanlah hal yang utopis untuk sekarang ini, sebab serupa pertandingan bola: ada bunyi pluit, pertikaian, saling serang, dua negara yang sedang bertanding, lantas setelah semua berakhir, pertandingan pun usai. Bubar.

Tak salah memang jika Albert Camus berkata: “Apa pun yang saya ketahui soal moralitas, saya berutang pada sepak bola.” Lalu, andai saja umur bisa terus dilawan, kita bisa menyaksikan kembali Rogério Ceni yang telah pensiun. Kemudian Uzbeki, seorang nenek yang bila perang telah berakhir ia bisa kembali menuju “garis gawangnya sendiri” bersama puaknya.

Ilhmbdhmn
2016

Puisi untuk…

Mungkin pada mulanya puisi lahir dari ruang kontemplatif, juga barangkali dari spontanitas murni atau mungkin dari mana saja. Namun yang pasti, menghendaki puisi ialah perjumpaan dari hati ke hati. Penyair–katakanlah, bukan hanya soal syair dan tafsir tapi juga soal memaknai dan memahami kehidupan.

Puisi seakan memosisikan diri sebagai juru bicara penyair.  Menjalar ke pelbagai interpretasi yang luas ke segala arah. Yang mengesankan bagi saya ialah “kehadiran” puisi itu sendiri. Puisi memberikan imajinasi yang kompleks maupun paradoks, mungkin juga barangkali menghasilkan sebuah sentilan bagi diri kita sendiri.

Satu hal yang juga mengesankan dari puisi ialah tak mengenal batas. Bahkan bagi Heidegger, wacana berpikir yang asli adalah puisi.

Perlu rasanya saya menjelaskan arti sentilan di sini, dengan diiringi sebuah puisi dari Gus Mus atau KH A. Mustofa Bisri:

            Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana?

Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

 Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana

Puisi ini ditulis pada 1987 silam. Tapi, puisi ini seperti lahir pada masa kini serta seolah memberi sentilan bagi kita–yang merenunginya. Gus Mus menghadirkannya dengan gamblang, dengan galib, tanpa harus berimajinatif dengan kuat. Imaji seperti ini tak harus dikekang oleh tafsir.

Puisi tentu adalah suara hati, juga puisi Gus Mus. Goenawan Mohamad menilai Gus Mus sangat dekat dengan etika kedaifan. Ini tercermin dari perkataan Gus Mus dalam sebuah wawancara: “Saya khawatir terhadap orang yang merasa sudah sempurna, lalu menganggap yang lain jahanam semua,” katanya. Puisi ini bagi saya adalah puisi kesadaran.

Seperti puisi Gus Mus lainnya—yang membuka ruang kontemplatif dengan tidak melulu bernuansa religius, kadang jenaka, dashyat, juga ganjil. Puisi Gus Mus adalah puisi pencerahan, juga tak menggurui. Bahkan sang penyair sendiri tak akan terlampau jauh percaya bahwa puisinya sebagai medium untuk menyampaikan kebenaran, apalagi sang kebenaran. Sebab, ia selalu mengingatkan bahwa Kebenaran hanya datang dalam wahyu, sesuatu yang dahsyat, sesuatu yang menyebabkan pingsan, dan ketika bangun, si pingsan berubah, bersetia kepada apa yang ditinggalkan kebenaran itu.

Tapi jejak adalah jejak: sesuatu yang dikonstruksikan oleh yang datang kemudian. Orang sering lupa bahwa ada jarak antara jejak kebenaran dan kebenaran itu sendiri dan bagi sebagian penyair, barangkali kebenaran puisi bersifat personal.

Syahdan, hal seperti itu saya jadi teringat tentang Kahlil Gibran, seorang penyair romantik pengagum William Blake. Sebagai manusia yang mempunyai kebudayaan ganda: Timur dan Barat. Kahlil Gibran adalah sebuah fenomena bagi Timur Tengah dan dunia Barat. Wajar jika sebagian puisinya mempunyai ciri romantik, esoteris, alegoris, mistis, atau memberontak juga kasar. Saya sering berpikir dan menyamakan dirinya dengan Rabindranath Tagore, meski Tagore seniman berfigur anggun, saya anggap Kahlil Gibran cenderung liar—itu disebabkan pergaulannya dengan para seniman bohemian Boston.

Sebagaimana yang diceritakan oleh Suheil Bushrui dan Joe Jenkins dalam bukunya, Kahlil Gibran: Man and Poet, puisi Gibran banyak terpengaruh dari penyair bangsa Barat, katakanlah William Blake. Baginya, ia lebih berutang budi kepada orang Inggris tersebut daripada kepada siapapun: filsuf, seniman, atau penyair lainnya. Meskipun ia tak memungkiri, bahwa ia pun banyak terpengaruh dari Nietzsche.  Tak ayal, puisi itu pun mengalir kelam, ironi dan apa adanya. Melankolis dan ragu. Gibran pun memberi hormat kepada Muhammad Iqbal, Imam Al-Ghazali, juga Jalaluddin Rumi yang membawa pengaruh dalam hal kepenyairannya.

Puisi memang bukan filsafat, tapi ia hadir dalam ruang perenungan. Gus Mus dan Kahlil Gibran membuktikannya. Bagaimana dari sebilah kata, bisa menjadi sebuah senjata. Menjadi sebuah sentilan—bagi sebagian orang yang menyadarinya atau tidak sama sekali. Dan yang indah bukan hanya dari sekedar kata-kata, namun membubuhkan kesadaran dalam hati yang, menggugah hati serta pikiran.

Puisi acap kali disandingkan dengan slogan: Puisi lahir dari rahim sang penyair; slogan terkadang lahir dari lidah politisi. Muhammad Iqbal pernah menyentilnya: “Negeri-negeri lahir dari jantung penyair, lalu hancur di tangan politisi”. Dan bagi saya satu puisi lebih menggairahkan daripada seribu slogan. Puisi bukanlah sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban— dan penyair bukanlah pemberi fatwa.

Pamungkas, saya menukil sebuah syair panjang yang fantastis dari Kahlil Gibran. Sebuah syair yang, barangkali membuat takzim bagi siapapun yang membacanya.

Pikiranmu, Pikiranku

Pikiranmu adalah sebatang pohon yang mengakar di tanah tradisi dan cabangnya tumbuh dalam kekuatan tanpa henti.
Pikiranku adalah awan yang berarak di angkasa. Ia mengubah diri menjadi butir-butir yang ketika jatuh, membentuk sungai yang melantunkan jalan ke samudra. Kemudian ia naik lagi ke langit menjadi uap.

Pikiranmu adalah batang pohon yang kokoh, tiada badai dan topan mampu menggoyahkan.
Pikiranku adalah dedaunan gemulai, yang mengayun ke segala arah dan menemukan kegembiraan dalam setiap ayunan.

Pikiranmu adalah dogma kuno yang tak mampu mengubahmu dan engkau pun tak mampu mengubahnya.
Pikiranku baru, ia merasakanku dan aku merasakannya tiap pagi dan petang.

Engkau bersama pikiranmu dan aku dengan pikiranku

Pikiranmu telah membuatmu mempercayai perbedaan tingkatan antara yang kuat dan yang lemah, dan penguasaan terhadap yang sederhana oleh yang rumit.
Pikiranku menciptakan dalam diriku hasrat untuk menggali tanah dengan ujung kakiku, memetik hasil panen dengan sabitku, membangun rumahku dengan batu dan mortar dan mengibarkan pakaianku dengan benang-benang wool dan kapas.

Pikiranmu mendorongmu untuk mengawini kekayaan dan kehormatan
Pikiranku memerintahkan kemandirian

Pikiranmu memperjuangkan popularitas dan penampilan
Pikiranku menasehatiku dan mewanti-wanti untuk mengesampingkan kepopuleran
dan memperlakukannya seperti sebutir pasir yang terlempar di tepian pantai ketakterhinggaan

Pikiranmu menanamkan dalam hatimu kesombongan dan keunggulan.
Pikiranku menanamkan rasa cinta damai dan keteguhan

Pikiranmu melahirkan impian-impian tentang istana yang penuh berhiaskan perabot bertahtakan intan berlian, dan peraduan-peraduan bersulam benang-benang sutera.
Pikiranku berbisik lembut di telingaku, “Bersihkan raga dan ruhanimu meskipun engkau tak punya apa-apa untuk menyandarkan kepalamu”.

Pikiranmu dibayangi oleh pangkat dan kedudukan
Pikiranku menahanku dengan kesederhanaan pengabdian

Engkau bersama pikiranmu, dan aku dengan pikiranku.

Pikiranmu adalah ilmu sosial, sebuah kamus agama dan politik
Pikiranku hanyalah aksioma sederhana

Pikiranmu berbicara tentang perempuan yang cantik, yang jelek, yang alim, yang pelacur, yang cerdas, dan yang bodoh
Pikiranku melihat semua perempuan sebagai ibu, saudara atau anak dari setiap laki-laki.

Bahasan pikiranmu adalah para pencuri, penjahat, dan para pembunuh.
Pikiranku menyatakan bahwa para pencuri adalah hasil ciptaan monopoli, penjahat adalah anak turun para tiran, dan para pembunuh adalah saudara penindasan.

Pikiranmu selalu menjelaskan tentang hukum, pengadilan, hakim, dan hukuman
Pikiranku menjelaskan bahwa jika manusia menciptakan hukum, maka iahanya bisa mentaati atau melanggarnya. Jika ada hukum dasar, maka kita sama di hadapannya.

Barangsiapa yang merendahkan alat, ia sendiri ialah alat. Dan siapa yang menghina orang yang bersalah, ia telah menghina seluruh manusia.

Pikiranmu hanya memperhatikan para ahli, para seniman, para filosof dan para pendeta.
Pikiranku berbicara tentang mereka yang tercinta dan yang tersayang,yang tulus, yang budiman, yang jujur, yang bijak dan para martir.

Pikiranmu membela Yudaisme, Brahmanisme, Budhisme, Kristiani dan Islam
Dalam pikiranku hanya ada satu agama universal, dengan keragaman jalan yang menjadi uluran tangan penuh kasih dari Yang Mahatinggi

Dalam pikiranmu ada orang yang kaya, orang yang miskin dan para gelandangan
Pikiranku meyakini bahwa tidak ada yang kaya selain kehidupan itu sendiri; bahwa kita semua sama-sama gelandangan, dan tidak ada yang lebih dermawan selain kehidupan itu sendiri.

Engkau bersama pikiranmu, dan aku dengan pikiranku

Menurut pikiranmu, kebesaran sebuah bangsa terletak pada politik, partai-partai, konperensi-konperensi, persekutuan dan kekayaan mereka
Tapi pikiranku menyatakan bahwa nilai sebuah bangsa ada pada kerja-kerja di ladang, di kebun anggur, kerja di pertenunan, kerja di penyamakan kulit, kerja di pertambangan, kerja di ladang timah, kerja di kantor dan penerbitan.

Pikiranmu meyakini bahwa kemuliaan bangsa-bangsa ada pada diri pahlawan mereka. Ia memuji-muji Ramses, Alexander, Caesar, Hannibal dan Napolean.
Sementara pikiranku meyakini bahwa pahlawan sejati adalah Konfusius, Laos Tse, Socrates, Plato, (Ali bin) Abi Talib, Al Ghazali, Jalaluddin Rumi, Copernicus dan Pasteur

Pikiranmu melihat kekuatan pada tentara, meriam-meriam, kapal-kapal perang, kapal-kapal selam, pesawat-pesawat tempur, dan gas beracun
Tapi pikiranku menegaskan bahwa kekuatan terletak pada rasio, resolusi dan kebenaran. Tak peduli seberapa lama seorang tiran mampu bertahan, pada akhir cerita dia tetap akan jadi pecundang

Pikiranmu memilah-milahkan antara pragmatis dan idealis, antara bagian dan keseluruhan, antara mistis dan materialis
Pikiranku membuktikan bahwa kehidupan adalah satu; dan ukuran, bobot serta tabelnya sama sekali tidak cocok dengan apa yang engkau pikirkan. Orang yang engkau pikir seorang idealis bisa jadi sepenuhnya seorang pragmatis

Engkau bersama pikiranmu, dan aku dengan pikiranku

Pikiranmu tertarik kepada reruntuhan, musium, mumi dan benda-benda yang sudah memfosil
Pikiranku berenang dalam kabut dan awan yang selalu baru

Pikiranmu bersinggasana di atas tengkorak. Karena engkau membanggakan dan memuliakannya
Pikiranku memngembara di padang yang luas dan tak bertepi

Pikiranmu adalah para peniup terompet sementara engkau menari
Pikiranku lebih suka kepada duka kematian ketimbang musikmu dan tarian

Pikiranmu adalah pikiran gosip dan kesenangan yang salah
Pikiranku adalah pikiran orang-orang yang hilang di negerinya sendiri, pikiran orang asing akan bangsanya sendiri, dan pikiran para tahanan di antara kawan-kawannya.

Engkau bersama pikiranmu, dan aku dengan pikiranku.

Ilhmbdhmn
2016

Refleksi

Berulang kali timbul kejahatan dan kita tak bisa menafikannya. Kejahatan itu pun muncul, menyusup pada ruang, pada waktu, pada batas-batas tak tertentu. Kejahatan ada dua, ujar Albert Camus: “Kejahatan hasrat dan kejahatan logika”. Memang, di antara kejahatan itu, saya kira, menyisip nasib dan takdir yang harus diterima.

Camus, atau semua orang yang menganggap bahwa kejahatan adalah waktu yang membuka jalan pada ruang yang tak ada batasan tertentu, ia tak sepenuhnya keliru. Sebab pelbagai kejahatan yang timbul: hasrat; moral; akal budi; juga kejahatan logika, ia seakan telah menjadi bagian dari nasib dan takdir itu sendiri.

Banyak hal yang menjadi refleksi: yang menggairahkan; yang menakutkan; yang normal atau pun tak normal, tapi pada yang sama, mereka berjalan secara beriringan; inilah sebuah keadaan, kata Goenawan Mohamad, di mana manusia hidup dalam sebuah momen luar biasa.

Barangkali kita mafhum dengan adagium: Amor Fati! Atau C’est La Vie!, namun tanpa mengurangi ke-takzim-an adagium itu, wajar-kah kita menyangsikan hidup? Yang mengguggah di dalam dunia yang tak teruraikan dan terbatas ini, dan nasib manusia memperoleh makna dan hakikat untuk seterusnya? Maka, sekali lagi, wajar atau pantas kah kita andai melawan takdir? Melawan Amor Fati, tanpa mengindahkan C’est La Vie itu?

Sebenarnya tak ada yang pantas membicarakan tentang hakikat hidup, bila di zaman ini kemanusiaan yang universal tak sekali tampak. Ia lamat-lamat terbelenggu, tenggelam di alam bawah sadar, serta secara pasti menendang nilai-nilai yang hakiki. Dengan begitu, janganlah pernah mendakwa Camus secara ramai-ramai, bahwa sesungguhnya dunia ini terlampau absurd, sebagaimana yang ia katakan perihal dunia: “Akal budi juga mengatakan kepada saya dengan caranya sendiri bahwa dunia ini absurd.”

Tapi bagaimanapun, kita kembali dengan rasa dilema, rasa gamang berkepanjangan, sepanjang jawaban yang mutlak belum diketahui bahwa pantas atau tidaknya hidup dijalani, sedang kita dibayang-bayangi tentang adagium yang menyatakan: C’est La vie!, selain itu pantaskah kita menyerahkan pada nasib, sebab nasib, menurut Chairil Anwar, adalah kesunyian masing-masing.

Lantas siapa yang berani menyalahkan takdir dan nasib manusia?

Determinisme, atau takdir—kemudian juga nasib, mempunyai pemahamannya sendiri. Mereka tak bersatu dalam satu kotak. Mereka menjadi sebuah paradoks. Hidup di antara dua sisi: takdir dan nasib, menjadikan teringat kembali tentang kisah Don Quixote—pahlawan yang dibuat-buat oleh Cervantes itu.

Dalam dongeng Cervantes, Don Quixote menjelma menjadi kesatria utuh. Di lain waktu, ia pergi berperang dan bertualang à la impiannya. Namun, satu hal yang tak diketahui Don Quixote, bahwa hidup bukanlah yang tergambar pada realitas yang ada, ia memang menegakkan nilai-nilai yang luhur, melawan kincir angin secara dramatik, tapi nasib berkata lain: ia bukanlah kesatria sungguhan. Ia hanyalah alegori dari kepahlawanan. Ia bisa saja menyalahkan nasib, atau melawan takdir, tapi ia tak bisa menaruh harap pada kedua itu.

Maka Don Quixote pun dapat berseru: C’est La Vie! atau Amor Fati!; dalam hidup yang menimpalinya, sebab Don Quixote merupakan penjelmaan manusia bebas, untuk menentukan pilihan hidup yang dianggap terbaik bagi dirinya, namun jika kita sepakat dengan kata Sartre, bahwa ia harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

Pergumulan relasi yang panjang antara nasib dan takdir yang menimpa pada kita, juga Don Quixote, menjadi sebuah refleksi. Saya berpikir bahwa banyak orang kini yang mempertaruhkan hidupnya pada takdir dan nasib, tapi melalui Derrida, yang berlebihan ketika mengatakan bahwa dalam soal pemberian arti (takdir dan nasib).

“Yang ada hanya konteks dan konteks, tanpa pusat ataupun keterjangkaran mutlak,” kata Derrida.

Berlebihan, sebab juga konteks tak bisa dihadirkan secara utuh dan kukuh. Katakanlah konteks takdir dan nasib ini. Kita sebenarnya tak bisa mengartikan secara final makna tersebut.

Satu ungkapan Nietzsche yang tak pernah putus dan terus menerus menjadi refleksi: Amor Fati, Ego Fatum (mencintai takdir, karena aku adalah takdir), kita bisa mengatakan “ya” pada takdir; pada kesedihan; pada kepedihan; pada kekecewaan; atau pada kematian.

Tapi bagaimana bila takdir itu menimpa Sisifus, saya tak yakin ia mengatakan “ya” pada takdir, membawa nasibnya pada hari-hari yang mengjengkelkan. Merelakan nasibnya pada sesuatu yang absurd, kekonyolan yang belaka, sekaligus pedih.

Sisifus, menurut cerita Homerus, merupakan makhluk bijaksana dan waspada. Namun, mengapa takdir mengurung ia pada jalan lain? Dalam keadaan hukuman yang pelik dari para Dewa, ia akan terus mendorong takdir ini: sebuah batu besar yang menjadi kesia-siaan; mendorong ke puncak gunung, kemudian akan jatuh kembali, dan terus terulang hingga takdir berkata lain. Sampai kapan?

Satu hal yang mungkin tak diketahui Sisifus ialah bahwa nasib itu adalah miliknya. Dan kita harus membayangkan, kata Camus, bahwa Sisifus berbahagia.

Sisifus, juga Don Quixote, atau pun kita, hidup di antara nasib dan takdir yang serupa tapi tak sama. Bagaimanapun jua, dengan kesedihan, kepedihan, kekecewaan, takdir dan nasib selalu berjalan seiringan.

***

Syahdan, siapa sangka, bahwa nasib dapat berubah elastis, bahwa takdir dapat memihak. Sisifus dan Don Quixote katakanlah harus belajar pada Jean Valjean—tokoh pada Novel Les Misérables yang pelik itu. Saya kira, Vicor Hugo tampak menaruhkan nasib pada Jean Valjean dengan takdir yang bimbang. Akibat mencuri sebongkah roti agar dapat menghidupi saudarinya yang kelaparan, Jean Valjean mendapat hukuman 19 tahun. Kemudian belasan tahun pun berlalu, ia keluar dari penjara budak, dengan individu yang sama sekali belum merdeka, dengan dendamnya kepada ketidakadilan.

Ini hanyalah sebuah novel. Tapi, bagaimana kita bisa memetik pelajaran kisah tersebut. Ia bisa mengubah nasibnya sendiri ketika pada masa Revolusi Prancis akan di deklarasikan, ia masih berada dalam tawanan seorang inspektur bernama Javert.

Ketika Jean Valjean terus diburu oleh Javert, di sini nasib dan takdir hanya berbeda segaris. Jean Valjean pada akhirnya dapat terlepas dari kehidupan sebelumnya dan menjelma menjadi seorang yang arif serta bijak; berbelas kasih dan berbudi luhur, serta tak peduli lagi dengan dendam. Dendam pada ketidakadilan. Dendam pada kekuasaan. Dendam pada keserakahan.

Saya kira–dengan menduga-duga, ia sepenuhnya yakin bahwa dendam tak harus di balas dengan dendam. Ia memilih instropeksi. Mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, demi kesejahteraan nasib-nasib orang lain yang bagaimanapun takdir tak lagi memihaknya.

Maka, akankah nasib dan takdir dapat berubah jika kita tak mengubahnya sama sekali?

Barangkali “ya” bagi Don Quixote, atau “tidak” bagi Sisifus, juga “tentu” untuk Jean Valjean. Nasib malang yang menimpa Don Quixote, sang kesatria yang dibuat-buat itu, akan berubah jika takdir bersamanya. Bagi Sisifus, nasib dan takdir bukanlah berada di tangannya, hidup ini absurd, maka bila ia terjerembab dan mati, biarlah. Dan kita akan terus berharap agar ia berbahagia. Dengan demikian, Jean Valjean—pada akhirnya, meskipun ia bukan Dewa, dengan nasib yang tak sesunyi seperti ungkapan Chairil Anwar, ia tak dapat menolak dengan nasib yang kini menimpanya.

Ya, siapa yang tak sangka, bahwa nasib dan takdir seperti sebuah drama manusia dan Tuhannya, yang lazim ataupun tak lazim.

Demikianlah, bahwa C’est La vie dan Amor Fati kini hanya berbeda sejengkal. Lalu nasib dan takdir seolah-olah berkata: “kau hidup, maka aku ada…”

      Ilhmbdhmn
2015

Adakah yang Lebih Mulia daripada “Pembenaran”?

Kepala yang terpenggal itu tersenyum setelah shalat magrib tiba. Konon, akibat dari iman dan pendirian tasawufnya, ia dianggap bid’ah. Di hadapan para Syekh, kalimat “Cinta-Nya adalah pengasingan-Nya”, adalah kalimat yang terakhir diucapkan. Dari kerumunan orang-orang yang menyaksikan, tangisan pun membahana. Kisah dari Baghdad pada abad ke-10 ini, darah yang tumpah dikatakan membentuk 84 tetes yang berlafadz “Allah”. Setelah itu jasadnya dibakar, dan seolah menjadi suatu pembenaran, dari abunya terdengar seruan “Akulah Kebenaran”.

Al-Hallaj, atau Manshur Al-Hallaj menyerukan “Ana Al-Haqq” (Akulah Kebenaran) atas cinta kasihnya kepada Tuhan. Ia mengalami puncak ektase. Menurut Al-Hallaj, dalam buku yang ditulis Louis Massignon, Le Diwan D’Al-Hallaj (1931), Tuhan mempunyai dua sifat dasar: ‘al lahut’ (sifat ketuhanan) dan ‘an nasut’ (sifat kemanusiaan). Manusia pun memiliki dua sifat ini. Syahdan, Al-Hallaj dituduh melakukan peleburan atau pengejawantahan sifat ketuhanan dalam jiwa manusia.

Kebenaran memang menjadi teka-teki dalam sebuah labirin. Ia menjadi multitafsir yang tak ada habis dan ujungnya. Siapa yang berhak menghakimi “pembenaran” itu sungguh-sungguh atau tidak sama sekali?

Secara perspektif, benar ialah satu, kesatuan tunggal, mutlak. Dari dasar inilah, siapapun yang menganggap dirinya benar, menjadi sebuah tafsiran yang panjang. Kata kebenaran, tentu saja, ialah kata yang bagi sebagian orang sebagai premis yang nisbi, namun di mata Socrates, bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, melainkan ada “kebenaran sejati” secara umum atau objektif. Dengan pelbagai tafsir, kita hendak dijebak dengan permainan konteks dan makna. Juga, tentang relativisme kebenaran ini, apakah Jalaluddin Rumi dengan tarian Darwisnya, melakukan “pembenaran” atas kesatuan dirinya dengan Tuhan pula?

Namun, oleh sebab sifat manusia yang demikian daif itu, ia tak bisa menjadi “pembenaran” dengan seutuhnya, bahkan secara absolut.

Maka tak heran, jika manusia seolah-olah berlomba menjadi yang paling benar. Menjadi yang paling benar, adalah sifat manusia yang paling pongah. Ia mengesampingkan sikap toleransi, sikap perbedaan suku, ras atau agama. Manusia menjadi takabur atas pembenarannya itu. Akankah masih ada nilai-nilai? Ketika manusia menumbuhkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Saya kira tentang “pembenaran” akan terlibat dalam dilema yang panjang.

Namun, siapa yang pantas memberi nilai tentang “pembenaran”?

Ada yang menarik dari ungkapan Sanusi Pane, meskipun ini jauh dari subtansi mengenai “pembenaran”, ia penganut theosofi dan mengungkapkan pandangan tentang Barat dan Timur.

Barat… mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan… yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani.

Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.

Dari Sanusi Pane, apa yang dapat dihubungkan dengan pembenaran? Tak syak lagi, saya mengambil secuil perenungan dari kalimat itu. Dikotomi ini, katakanlah, saya anggap sebagai sebuah watak. Sebuah tabiat. Mungkinkah Barat adalah lambang superior, sedang Timur ialah inferior? Apakah Barat alegori sebuah “pembenaran”? Dengan gemilang, Barat menjadi garda terdepan dalam segala aspek, misalnya, kebudayaan material. Namun, saya tak menyatakan secara sungguh, tentu. Sebab Timur, yang Sanusi Pane yakini sebagai dunia rohani itu, tetap menjadi enigma dalam sebuah kamar gelap.

***

Ketika negara Israel belum menegakan diri, diaspora kaum Yahudi berada dipenjuru dunia. Ia semacam bimbang, tak punya identitas untuk berpijak. Namun, pada Mei 1948, Israel mendapati pijakannya, di sebuah tanah yang menurut kaum Yahudi sebagai tanah yang dijanjikan, namun menurut ilmuwan Prancis—yang saya lupa akan namanya, sebagai tanah yang ditaklukkan. Lantas, apakah ini sebuah “pembenaran” kaum Yahudi?

Atas nama tanah yang dijanjikan itu, pecahlah berbagai konflik, dengan pemilik sah tanah yang dijanjikan tersebut: Palestina.

Kemudian Israel mulai menghegemoni Palestina.

Konflik itu, tak berujung hingga kini. Pertikaian ini ibarat perang tanpa tapal batas. Perang: apa yang terjadi dan terlintas dengan kata ini? Kita ingat tentang perang Jerman-Prancis; Uni Soviet-Jerman; Amerika-Jepang, pada abad-abad lalu, ketika perang menjadi sebuah jalan untuk menuju “pembenaran”: siapa yang sesungguhnya kuat atas lawannya.

Perang menjadi sebuah kata yang menimbulkan penderitaan. Dendam. Kebencian. Kutukan. Konfrontasi Israel-Palestina, mengakibatkan luka yang terdalam, bagi anak-anak, orang-orang tua renta, wanita-wanita hamil—atau jika kita bisa lebih prihatin, juga luka terdalam bagi tentara militer yang katanya militan itu?

“Anak-anak tak bersalah,” kata Senabel, pemeran dalam film dokumenter Promises karya Justine Shapiro, B.Z. Goldberg dan Carlos Bolado di medio 1997 dan 2000. Dokumenter itu, sebuah film yang menakjubkan, sekaligus haru, bercerita tentang anak-anak Palestina dan anak-anak Israel—yang berada dalam hubungan, jauh atau pun mendekat.

Ada dua anak, akibat konfrontasi ini, menjadi saling “menjauh”. Moshe, bocah berumur 10 tahun, ia adalah anak yang saleh. Ia menganggap bahwa tanah yang di janjikan Yahweh pada keturunan Abraham itu benar. Baginya, hak kaum Yahudi benar dan jelas. Sedang Mahmud, 11 tahun, tinggal di Kota Tua Yerusalem. Ia juga saleh, bersembahyang di Masjid Al-Aqsa dan mendukung Hamas dan Hizbullah, ia mengganggap bahwa kaum Yahudi harus lebih banyak lagi yang mati.

kedua anak itu, akibat konflik ini, memberi “pembenaran” atas dirinya masing-masing.

Sulit memang untuk menahan haru dalam film tersebut, yang diakhir mempertemukan anak-anak Israel dan Palestina. Laiknya sajak Chairil Anwar, dalam saduran W.H Auden mengungkapkan: mereka yang bergumam tentang sebuah negeri yang nyaman tapi, “bukan untuk kita, sayang, bukan untuk kita”.

Lantas apakah “pembenaran” adakah nilainya? Pembenaran yang mengatasnamakan agama atau tanah “warisan”? Dalam totalitas yang pedih itu, “pembenaran” memerlukan definisi lain. Ia yang membicarakan kebenaran atas dakwaan atau asumsinya sendiri, patut dipertanyakan keyakinan terhadap dirinya.

Maka, jelas atau tidak, Sanusi Pane keliru tentang kerohanian dunia Timur. Timur kini menjelma jasmani. Israel tetap berinvasi untuk memperluas wilayahnya dengan kekuatan militer, yang katanya disebut terkuat ke-4 di dunia. Juga dengan dukungan tetap dari Barat. Dan Palestina? Ia tetap hidup dengan kepedihan di atasnya, dengan segala upaya, dengan pelbagai cara. Meskipun kini sang bendera telah berkibar untuk kali pertama di markas besar PBB. Tentu bukanlah sebuah jaminan yang pasti bahwa polemik akan selesai.

Dengan demikian, “pembenaran” tak bisa dijawab dengan gamblang. Dengan arus yang kuat. Sebab, jika meminjam kata dari Goenawan Mohamad: mencari kebenaran itu penuh risiko, menemukan kebenaran itu berbahaya. Definisi ini seolah memberi jalan alternatif manusia untuk memberi pertanyaan terhadap Tuhannya. Maka, seperti apa yang dialami Al-Hallaj tentang hakikat pembenarannya, atau Israel atas tanah yang dijanjikannya. Ia menjadi simbol, yang kelak membuka tafsir lain yang lebih jelas, yang pasti, atau tidak sama sekali.

Ada selalu sikap yang tersirat untuk membuat orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, seperti kata tokoh William dari Baskerville dalam The Name of the Rose Umberto Eco. Lalu adakah yang lebih mulia daripada “pembenaran”?

Di akhir kata, saya melewatkan suatu yang harusnya tampil di balik tembok: “pembenaran” ISIS atas ideologinya. Tapi nampaknya saya malas untuk mencuatnya.

Ihmbdhmn
2015

Bayang-Bayang Kompleksitas

Adalah Monginsidi, atau Robert Wolter Mongonsidi, yang ditembak mati oleh serdadu Belanda di Picinang, Makassar, 5 September 1949. Ketika itu, ia berumur 24 tahun. Sepucuk surat pun ia tulis, bernapaskan puitis, ia catat empat hari sebelum dihukum mati.

Apa yang ia tulis, adalah apa yang ia rasakan, “Sebagai bunga yang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras,” katanya. Tulisannya tentu bicara tentang dirinya, atau saya kira, untuk generasinya.

Ia memang bagian dari sejarah yang kelam. Ketika kolonialisme hidup di antara kehidupannya. Oleh Benedict Anderson, pemuda menjadi mitos tersendiri dan menjadi babakan sejarah Indonesia ketika mengambil peran dalam Revolusi.

Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang mengejutkan. Dan “Pemuda Revolusi” menjadi bagian yang hidup. Pahlawan lebih cepat mati terlupakan, ia dikenang ketika hanya momen-momen tertentu. Kemasygulan yang saya rasa adalah, mengapa pahlawan lebih dikenal namanya ketimbang tindakannya?

Namun, bagi Monginsidi ada pengecualian. Dia adalah tokoh yang mungkin tak bernama, ia tak dikenal banyak orang. Tetapi, kesediaan ia untuk berkorban bagi Republik yang belum cukup umur kala itu, dan untuk sebuah harapan besar, adalah kisah heroik patriotisme.

Bung Karno, pemimpin besar revolusi pernah berkata: “Beri aku 10 pemuda, kan ku guncangkan dunia”. Bung karno tak seutuhnya keliru, disitu ia meyakini, pemuda menjadi suatu simbol atau penanda yang mengagumkan.

Kisah hidup Mongonsidi bisa saja menjadi berarti, seperti dalam nukilan sajak Chairil Anwar: “Sekali berarti, sudah itu mati”. Di balik kalimat dramatik itu, menunjukkan betapa berartinya hidup dengan perbuatan, meski ia mati setelahnya dan tak ada yang disesalinya. Mungkin dengan dasar itulah Monginsidi tak meminta grasi kepada pemerintah kolonial. Kemudian memilih hukuman mati.

Tindakan-tindakan hebat, atau bisa disebut perbuatan baik demi revolusi. Tak melulu dengan cara subversif. Ia bergerilya dengan sendirinya. Mungkin saya terkenang dengan Chairil Anwar, ia tak mati ditembak atau bahkan dibuang seperti yang lainnya. Ia mati karena TBC. Ia hanya binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang.

Chairil Anwar, meninggal pada 1949 di usia 27 tahun. Masih terlalu muda untuk mati. Hidupnya semrawut. Tapi mengapa ia selalu dikenang hingga kini? Utamanya dalam hal kesusastraan? Saya kira jawabnya ia melakukan sesuatu yang berarti.

Dengan cara penulisan sajaknya yang di luar konvensional pada masa itu, ia di cemooh sastrawan dari pujangga baru Sutan Takdir Alisjahbana dengan sebutan rujak belaka: segar namun tanpa gizi. Kenapa di usianya yang muda ketika itu, ia melakukan hal sedemikian rupanya? Bagi saya, Chairil adalah suatu metafor. Ia melakukan sesuatu yang berarti: merubah paradigma puisi Indonesia. Ia adalah pionir puisi modern Indonesia, kata H.B Jassin. Di sini, letak perubahan telah terjadi.

Menjadi Mongonsidi atau Chairil Anwar, dengan kata lain, mengikuti tindakannya demi generasi sekarang, adalah hal yang gamang. Maka apa gerangan yang kita hadapi dan bisa dilakukan?

Pertanyaan ini penting, atau tak sama sekali. Kita tahu di sini yang menjadi pokoknya atau yang menjadi subjek dan objeknya ialah: pemuda dan perbuatan. Kita boleh mengambil sebersit semangat Mongonsidi untuk melawan kolonial, atau pemikiran-pemikiran Chairil Anwar dalam pola sajaknya yang berani melawan arus itu. Pemuda adalah alat, atau seperti kata Rendra dalam sajak anak muda: “Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?

Alat, merupakan sesuatu yang hidup. Bukanlah sesuatu yang mati. Bagaimana bisa sumpah pemuda, manifesto yang heroik itu ada, jika alat ialah sesuatu yang mati?

Masalahnya, era sekarang dan masa depan zaman ini serba kompleks. Itulah yang kita hadapi: kompleksitas. Ia yang mengkritik, namun tak menerima jika dikritik. Ia yang mengeluhkan teknologi, menjadi yang terdepan dalam penggunaannya. Ia yang mengeluhkan kondisi lingkungan, ia juga yang menyebabkannya. Di sini, kita sedang berada dalam bayang-bayang kompleksitas.

Setelah zaman Mongonsidi dan Chairil Anwar itu lenyap. Zaman ini, di abad-21, kemerdekaan kreatif telah lahir—tentunya setelah berakhirnya zaman Orba atau Orde Baru. Ia lahir dengan gagasan yang hebat dan asyik, serta leluasa dengan media-media yang ada. Pemuda-pemuda dengan kebebasan kreatifnya muncul, ide-ide cemerlang dan menggairahkan. Serta dengan caranya sendiri-sendiri.

Seorang penyair termasyur, Muhammad Iqbal, dalam puisinya termaktub: “Aku harapkan pemuda inilah yang akan sanggup membangunkan zaman yang baru…”

Syahdan, dengan alat dan kebebasan kreatifnya itu, bagaimana kita memperlakukan zaman baru dengan semestinya sedang kita berada dalam bayang-bayang kompleksitas?

Aktivis Munir, memperlakukan zaman dengan semestinya, dalam dokumenter bunga yang di bakar, ia memperlihatkan dengan teguh dan arif bahwa hidup adalah soal keberanian, ia mengangkat isu Hak Asasi Manusia bagi kalangan rakyat jelata. Saya tak habis pikir, orang muda semacam itu menghabiskan waktunya dengan perbuatan demikian.

Munir dan Mongonsidi berada dalam jalan yang sama, ia memimpikan negeri yang mulia. Namun, Munir tak sepenuhnya mafhum bahwa jalan tak sepenuhnya lurus, ia mati di udara dengan racun di tangan negerinya sendiri, dalam usia 38 tahun.

Demikianlah, hal tersebut meyakinkan saya, tentang kompleksitas hidup dengan perbuatan. Memang banyak hal yang selalu kita renungi, tentang negeri ini. Tentang problem-problem yang tak ada habisnya. Barangkali kita hanya dapat menyesali atau mensyukuri, dari warisan yang telah diberikan, dan diteruskan hingga sekarang. Adanya disintegrasi adalah soal polemik lainnya, ia berkembang secara lamat, di kalangan anak-anak muda.

Jika saya boleh berandai-andai, saya membayangkan tentang pemuda dalam roman tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, bernama Minke. Minke, sebagaimana dilukiskan Pram, ia adalah potret pemuda idealis, berjuang dengan caranya sendiri, tak menutup diri secara asing, sebab ia peduli terhadap Bumi Pertiwi.

Pada akhirnya, kita hanya tinggal memilih, apa dengan cara Mongonsidi; Chairil Anwar; Munir; Minke atau diri sendiri, untuk melakukan sesuatu yang berarti, sebab perubahan atau revolusi, kata Sukarno, menolak hari kemarin dan membangun hari esok. Intinya, sesuatu yang berarti tak akan pernah mengkhianati.

Dengan demikan, saya menukil kembali sajak yang dilukiskan Chairil Anwar sebagai kata akhir, yang tertulis dalam sajak Krawang-Bekasi (1948):

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa…

Ilhmbdhmn
2015

Lahirnya Tragedi

Pada suatu malam, di musim kering yang tandus, saya menulis dengan penuh rasa cemas: sebuah gejala terhadap problema yang tak ada habisnya di negeri ini.

Lahirnya tragedi, meski judul tersebut sama dengan apa yang ditulis Nietzsche (The Birth of Tragedy), tentu bukanlah problema yang sama, saya hanya menukilnya dengan lirih.

Jika Nietzsche mempersembahkan tulisannya tersebut kepada kawannya, Richard Wagner—komponis besar Jerman, saya mempersembahkannya kepada siapapun: kepada penguasa, penderita, penindas, atau yang tertindas.

Tragedi yang tak pernah luput dari persoalan ialah tragedi pembantaian 1965-1966. Orang-orang yang dituduh terlibat G-30S atau pro-komunis, mereka dibabat habis.

Tragedi kemanusiaan ini, menjauhkan manusia dari sisi filantropis—seperti sebuah perayaan, ia yang vigilante membantai dengan cara mereka sendiri. Soal bagaimana konflik ini terjadi, saya tak akan menjelaskan secara detail. Dan saya tak memastikan, apa yang sebenarnya terjadi. Satu hal yang ada dalam pikiran saya ialah: penguasa/kekuasaan berperan di sini.

Tentang kuasa, saya jadi teringat drama Caligula yang ditulis Albert Camus, sastrawan Prancis yang tersohor itu.

Caligula, kaisar Romawi yang kejam itu. Mempunyai kuasa yang besar. Ia semacam orang yang tak terbantahkan. Kalau saya tak salah ingat—ahli sejarah sepakat mendiagnosis bahwa ia “sakit jiwa”.

Sifatnya intoleran dan membenci manusia-manusia yang tak disukainya, bahkan ia, menurut perhatian saya, mempunyai sifat tersembunyi: otoriter; utilitarian bahkan humanis. Di sini saya agak masygul, apakah sifat penguasa beberapa di antaranya seperti itu?

Seorang bangsawan dalam sebuah cerita menceritakan bagaimana Caligula memerintahkan algojonya agar membunuh korbannya secara perlahan-lahan: “agar ia tahu bagaimana rasanya mati”. Sepertinya ia hendak menggambarkan kekejaman dewa-dewa kepada siapapun, dengan memerankan sendiri peran dewa yang sewenang-sewenang, sebab ia memiliki legitimasi kekuasaan yang tak terbatas.

Tragedi, bisa menimpa siapa saja, di mana saja, atau kapan saja. Barangkali ia datang dengan sendirinya, atau tindakan dari apa saja. Tragedi alam atau bisa disebut bencana, berasal dari alam, juga dengan tragedi kemanusiaan, ia datang entah dari manusia itu sendiri atau yang tak dikehendakinya.

Betapa pilunya ketika gelombang ganas tinggi seperti menyemburkan tulah mengguncang tanah Aceh pada 26 Desember 2004. Akibat tsunami itu, beribu nyawa hilang dan mayat berserakan. Kita tak perlu menyalahkan siapapun. Tampaknya eksistensi Tuhanlah yang kuasa. Kekuasaan Tuhan yang absolut, meluluhlantakan keangkuhan manusia sebagai noktah.

Namun kita tak tahu, mengapa tsunami itu datang di kota serambi Aceh? Mengapa Tuhan lebih memilih menghancurkan kota itu ketimbang mencegah dosa-dosa yang lebih besar hingga hukuman tak dijatuhkan? Dengan segala rahasia illahi, Tuhanlah yang punya kuasa. Dari pertanyaan yang tersirat di sini, apakah kekuasaan Tuhan memberi keadilan?

Kekuasaan, dengan segala bentuknya, apakah yang berasal dari Tuhan atau manusia mempunyai pengertiannya sendiri. Tapi bagaimana kita memberi toleransi kepada kekuasaan yang berasal dari manusia? Bagaimana kita mencegah tragedi kemanusiaan akibat perang, perbudakan, atau pembantaian besar Nazi terhadap Semit di abad ke-20 yang sebenarnya semua itu bisa dicegah? Barangkali saya berlebihan, tapi tragedi itu bisa dicegah atau tak terjadi meskipun ini takdir.

Machiavelli, filsuf Italia, penulis Sang Penguasa (II Principe), berasumsi bahwa agar kekuasaan dapat dipertahankan atau didapatkan, satu-satunya jalan ialah dengan menghalalkan segala cara. Maka tak heran jika Hitler atau Mussolini berpegang teguh pada prinsip itu.

Machiavelli tak pernah tahu, apa dampak hebat dari rumusannya tersebut, di masa sekarang atau nanti. Tapi saya menjadi agak ragu, ada atau tidaknya rumusan itu, manusia tetap saja mempunyai naluri untuk memenuhi hasratnya berkuasa, seperti kata Hobbes: “Secara alamiah, manusia adalah makhluk yang secara terus menerus selalu ingin berusaha memenuhi segala hasrat dan keinginannya”.

Menurut Hobbes, kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi dan tak kunjung padam untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan, yang berhenti hanya dalam kematian.

Jadi, pantaskah manusia disalahkan atas tragedi-tragedi yang terjadi?

Syahdan, saya menganggap bahwa kekuasaan adalah jalan hampa bersifat fana yang dipilih manusia. Demi semua itu, ia rela menaruh malu, menciptakan kepalsuan, mengingkari tanggung jawabnya sebagai manusia seperti Faust.

Faust, sebagaimana dikisahkan Goethe, rela menyerahkan jiwanya kepada sang iblis Mephistopheles. Dia adalah seorang doktor yang haus akan ilmu tak terbatas sehingga rela bersekutu dengan Mephistopheles agar merengkuh semua ilmu itu dengan cara yang picik.

Lantas, apakah personifikasi Faust adalah pantas disematkan bagi sang penguasa yang mengukuhkan kekuasaannya? Di sini saya tak menghakimi Faust, bahkan tak ada hubungannya. Tapi, jika boleh saya ganti kata ilmu tak terbatas yang diinginkan Faust yang sombong itu kemudian digantikan dengan kekuasaan yang tak terbatas, apa bedanya?

Seperti yang dikatakan Hobbes, bahwa perbuatan itu ialah hasrat manusia. Naluri alamiah yang muncul dalam diri sang subjek, atau Freud mengatakannya sebagai megalomania–perasaaan mencintai diri sendiri secara berlebihan dalam diri manusia.

Kita tak seharusnya membiarkan penguasa melakukan semacam perbuatan: ia yang mempunyai kepentingan tersendiri, membiarkan laju deforestasi tak terbendung; menelantarkan hak hidup anak-anak akibat perang; mengesampingkan prioritas-prioritas yang lebih arif. Sebaliknya, kita perlu juga perbuatan—lebih tepatnya tindakan yang masif dan preventif; yang diam-diam namun nyata dan terasa laiknya garam di lautan, atau pun tampil dipermukaan laksana panen jamur di musim hujan.

Namun, semua itu perlu mengesampingkan hasrat, sebab hasrat ialah waham. Hal demikian setidaknya bisa menjadi sebuah afirmasi yang bijaksana atau katakanlah represif sekalipun–agar tidak ada lagi tirani kekuasaan, oligarki dan semacamnya di zaman kini.

Sepatutnya juga kita tidak menampik hal-hal yang sifatnya utopis. Meski hanya menjadi sebatas angan-angan. Atau seperti pada pertanyaan berikut: Tuhan, apatah adil?

Ilhmbdhmn

2015