Siapa saja yang pernah membaca Menunggu Godot, tentu mafhum betul bahwa karya sastra ini sedikit menggambarkan tentang sebuah harapan yang tak kunjung berakhir.
Menunggu Godot adalah sebuah lakon yang ditulis oleh sastrawan Irlandia Samuel Beckett pada 1952. Lakon ini bercerita tentang empat karakter, termasuk Vladimir dan Estragon, menunggu kedatangan seseorang bernama Godot yang sebenarnya belum tentu datang, bahkan tidak pernah datang sama sekali.
Sambil menunggu, mereka terlibat dalam pelbagai diskusi panjang. Dengan harapan, Godot segera datang. Namun, penantian panjang Vladmir, Estragon, dan dua tokoh lain Pozzo dan Lucky terhadap Godot hanyalah sia-sia.
Lalu, apa pembelajaran yang didapat dari cerita yang sudah dipentaskan berkali-kali di hampir seluruh dunia ini? Kisah ini hanyalah refleksi dari simbol penantian, seperti penantian Pemerintah Indonesia terhadap perubahan sektor transportasi dan logistik Tanah Air.
Beberapa waktu lalu, para pelaku usaha transportasi dan logistik di Indonesia mengunjungi Thailand guna mengikuti serangkaian acara salah satunya Thailand International Logistics (TILOG) 2018.
Para pelaku usaha menyadari, bahwa Indonesia sedikit tertinggal dari Negeri Gajah baik terkait dengan transportasi dan logistik. Oleh karena itu, Indonesia perlu belajar.
Apalagi, pemerintah berharap menjadi hub logistik Asia Tenggara pada 2019. Perlu diingat, Thailand pun tengah berjuang untuk pencapaian yang sama dengan Indonesia.
Bisnis mencatat Thailand menargetkan menjadi hub di Asia Tenggara. Negara itu juga menargetkan penurunan biaya logistik yang saat ini masih 14% dari produk domestik bruto menjadi 12%.
Selain itu, menargetkan pertumbuhan ekspor meningkat 5% per tahun, dengan minimal 30 produk yang diekspor adalah lima produk terbaik di dunia.
Harapan itu pun didukung dengan kenaikan posisi Logistics Performance Index (LPI) 2018 se-Asean menjadi peringkat dua Asean atau naik satu peringkat dari 2016. Negara itu pun sudah menjadi hub logistik seperti produk halal dan suku cadang.
Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan salah satu faktor yang membuat Thailand memperbaiki posisinya dan menggeser Malaysia adalah banyaknya investasi yang masuk dan pembangunan infrastruktur yang telah diselesaikan.
Selain itu, komitmen Pemerintah Thailand dalam hal melaksanakan cetak biru yang telah lama mereka sepakati begitu konsisten, kendati telah berganti pemerintahan dalam 10 tahun terakhir.
Menurutnya, menjadikan Indonesia sebagai hub Asia Tenggara setara Singapura, Malaysia dan Thailand bukan perkara mudah. Namun, bisa saja terlaksana apabila pemerintah Indonesia dapat terus bekerja keras.
“Perlu kerja keras dan kita bisa menjadi hub logistik dalam beberapa komoditas dalam 3 tahun ke depan saja sudah bagus,” katanya, belum lama ini.
Kementerian Perhubungan memang merencanakan menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai hub internasional.
Yukki menilai kebijakan pemerintah seperti adanya Pusat Logistik Berikat (PLB) guna mewujudkan hub logistik Asia Tenggara juga dinilai belum cukup.
Menurutnya, pemerintah harus menjadikan Indonesia lebih berdaya saing terutama mendukung ekspor. Bukan saja hanya industri besar, tapi juga UMKM mengingat mempunyai potensi besar.
Pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Yukki menilai kinerja sektor logistik terlihat membaik seiring naiknya posisi Indonesia pada LPI 2018 yang dirilis Bank Dunia ke peringkat 46 dari urutan sebelumnya pada 2016 yaitu 63.
Namun, catatan negatifnya adalah peringkat Indonesia di antara negara Asean malah turun satu peringkat ke posisi lima. Yukki mengindisikan bahwa negara lain memperbaiki kinerja sektor logistiknya, satu di antaranya adalah Vietnam.
TRUK ODOL
Pada sektor transportasi, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) meminta pemerintah Indonesia meniru konsep manajemen angkutan barang dari negeri Thailand.
Apalagi, Indonesia kini tengah gencar-gencarnya untuk membasmi angkutan overdimensi dan overload (ODOL) yang merugikan negara Rp43 triliun setiap tahunnya.
Wakil Ketua Umum DPP Aptrindo Kyatmaja Lookman menyatakan mendapatkan penjelasan terkait dengan sistem penimbangan kendaraan di jalan tol yang diatur oleh Departement of Highways Thailand.
Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok terkait penyelenggaran uji kendaraan berkala atau KIR di Indonesia dan Thailand.
Kyatmaja mengatakan penindakan pelanggaran uji KIR di Thailand terbilang sangat kejam lantaran diatur begitu sangat ketat. Apabila kedapatan tidak sesuai aturan, imbuhnya, negara Thailand mengenakan sanksi yang diberikan terhitung sangat berat.
“Karena bila kelebihan satu kilo saja bisa disidang. Denda maksimalnya saja Rp4 juta, kalau di Indonesia kan hanya Rp500.000. Atau bisa dikenakan kurungan 6 bulan, sementara di Indonesia tidak ada kurungan,” katanya.
Kyatmaja mengatakan ada persamaan antara Indonesia dan Thailand yaitu sama-sama memiliki kelas jalan atau pengelompokan jalan.
Sayangnya, di Thailand tidak menganut Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) seperti halnya Indonesia.
Jadi, paparnya, Thailand menyeragamkan daya angkut kendaraan yang sama. Namun, kendaraan akan ditilang jika melanggar kelas jalan. “Kalau di kita kan rambu kelas jalannya enggak ada, tapi daya angkutnya acak-acakan tergantung kelas jalan daerah. Itu bedanya,” ujar dia.
Maka tak heran, dengan aturan yang ada Thailand terbebas dari kendaraan overload.
Thailand sudah menerapkan sistem Surat Izin Mengemudi (SIM) dan GPS terintegrasi terhadap angkutan muatan barang. Sistem itu akan terintegrasi langsung kepada pemerintah, sehingga dapat terkontrol langsung.
“Sudah ada 200.000 sekian truk yang terdaftar. Pembuatan SIM juga dibuat oleh Kementerian yaitu Department of Land Transport, bukan kepolisian,” ujarnya.
Canggihnya, ketika truk itu dinyalakan maka dapat diketahui siapa pengendara yang menjalankannya sebab dengan sistem yang canggih itu akan terkoneksi langsung kepada pemerintah.
“”Jadi ketika truk itu jalan lalu terjadi pelanggaran seperti over speeding dan pelanggaran lalu lintas, akan terdeteksi dan diberlakukan e-tilang,” kata dia.
Oleh karena itu, dia juga meminta pemerintah memberikan kepastian hukum. Apabila angkutan barang yang tidak sesuai dengan peruntukannya di jalan yang lain maka bisa diberi sanksi tilang serupa di Thailand.
“Itu yang kita mau, sama seperti di Thailand,” katanya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Cucu Mulyana yang ikut serta dalam kunjungan ke Thailand mengatakan baru memfinalkan laporan studi atas kunjungan tersebut.
Dia berjanji akan memberikan informasi lebih lanjut apabila laporan itu sudah disampaikan kepada Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi.
Pada akhirnya, penantian dan keinginan Indonesia terhadap perbaikan sektor logistik dan transportasi termasuk menjadikannya sebagai hub logistik diharapkan tidak seperti yang dialami Vladimir dan Estragon dalam kisah Menunggu Godot.
Kendati di sisi lain, sebenarnya dalam lakon itu terkandung harapan yang luar biasa untuk menantikan sesuatu yang saat ini belum dapat terwujud.
Ilham Budhiman
September 2018
Harian Bisnis Indonesia