Pesona Dylan dan Ketiadaan

Saya tak ingat kapan dan bagaimana saya mendengarkan Bob Dylan. Tapi, beberapa penggalan liriknya masih terngiang dipikiran seperti monster kecil yang bermain-main tanpa henti hingga kini.

Siapa pun yang mendengarkan Bob Dylan pasti tak pernah melewati daftar putar Blowin’ In The Wind atau pun “The Times They Are A-Changin” (meskipun memang tak harus sepakat daftar putar mana yang harus di dengar). Mula-mula, saya kira kedua lagu ini lagu picisan, lagu yang lahir dari seorang bersuara parau yang bernama asli Robert Allen Zimmerman.

Pada Dylan, sebuah makna ada dalam tiap kalimatnya: sebuah kata-kata yang, bukan hanya diinterpretasi sebagai lagu antiperang—tapi juga sebagai unsur sastrawi:

How many times must a man look up,
before he can sees the sky?
And how many ears must one man have,
before he can hear people cry?
And how many deaths will it take till we knows,
that too many people have died?

The answer my friend is blowin’ in the wind,
the answer is blowin’ in the wind.

(Blowin’ In the Wind)

Kita tak bisa menampik, di zaman kini, kita hidup dalam sebuah kategori, dalam sebuah label, dalam sebuah perdebatan yang panjang, misalnya, “apakah lirik ini sebuah karya sastra puitis? Apakah ini karya sastra atau bukan? Apakah itu termasuk ini itunya ‘dengan segala halnya yang cingcong’?”

Inilah sebabnya beberapa kritikus menganggap kalau Bob Dylan bukanlah seorang sastrawan. Mereka tak memahami, menjadi seorang sastrawan bukanlah harus mencipta sebuah penciptaan puisi yang maha dahsyat atau alih-alih membuat novel yang ‘edan’—ia yang menjadi seorang sastrawan ialah yang mencipta ‘perubahan’.

Saya tidaklah berada dikubu Dylan, saya tak mengenalnya, tidak pula mengaguminya secara berlebihan. Dan ketika Dylan menerima Nobel Kesusastraan, hal itu menjelaskan jika ia punya pesona.

Dikutip dari New York Times, Sara Danius, peneliti sastra dan sekretaris tetap dari 18 anggota Academy menyebut Dylan sebagai ‘penyair hebat dalam tradisi lisan bahasa Inggris’. Juri menilai, “Dylan adalah ikon. Pengaruhnya terhadap musik kontemporer sangat besar, dan ia juga merupakan objek akan percepatan dari bentuk sastra kedua.”

Pesona itulah yang kiranya menjadikan ia seorang ikonik.

Jauh sebelum Jim Morrison menuliskan buku puisinya berjudul: The Lords and the New Creatures. Tarantula—buku kumpulan puisi Dylan tercipta pada 1966 (umur 25 tahun). Saya membacanya dalam bentuk digital. Inilah yang bisa saya katakan: isinya tak begitu menggema, tak begitu kuat, namun saya yakin mempunyai pesan isyarat yang besar dan tak main-main.

Pada mulanya, saya mengira Dylan bukanlah seorang penulis dan pencipta lagu. Bisa saja orang mengira jika lagu “Like a Rolling Stone” benar-benar milik Rolling Stone? “Knockin’ on Heaven’s Door” secara mutlak milik Guns N’ Roses atau “Blowin’ In The Wind” lebih populer dinyanyikan oleh trio folks: Peter, Paul dan Mary. Seperti sebuah pertanyaan dalam setiap lirik yang Dylan buat: How does it feel, ah how does it feel?

***

Pertanyaan. Pertanyaan itu sering kali membuat saya luput dari ketiadaan: ketiadaan yang membuat saya benar-benar lupa akan kejadian-kejadian yang ada, yang nyata, di depan mata. Mengapa orang-orang lebih hebat ketika di layar kaca? Namun ia tak berarti sama sekali di kehidupan nyata? Mengapa orang-orang sangat asyik berbelanja tapi ia lupa cara-cara hidup bersahaja?

Pertanyaan ini bukanlah khutbah, seperti pertanyaan yang sering terlontar dalam lirik-lirik Dylan. Sekali lagi: How does it feel, ah how does it feel?

“Blowin’ In The Wind” mewakili semua pertanyaan-pertanyaan itu. Lagu ini katakanlah sebuah lagu protes—yang memberi pertanyaan tentang ketiadaan yang tak terjawab. Dylan menyanyikannya dengan suara lurus menyentuh, gitar yang nyaring, harmonika yang ‘lirih’ dan—jika siapa pun yang melihatnya dalam bentuk video sebelum aransemen baru—ia benar-benar bergetar.

Pertanyaan itu menjadi sebuah repetisi:

How many years can some people exist,
before they’re allowed to be free?
And how many times can a man turn his head,
and pretend that he just doesn’t see?      

Lagu ini menjadi sebuah refleksi ketika pertanyaan tentang ketiadaan itu tak terjawab. Hak hidup yang mestinya digenggam kini telah direnggut akibat perang, ketidakadilan, keserakahan dan degradasi moral yang tak berakhir: benarkah? Dan apa jawabnya? …is blowin’ the wind, the answer is blowin’ in the wind..

Peperangan ini bukanlah peperangan antar suatu negara saja: namun saya kira terjadi akibat suatu politik ideologi tertentu dan hasrat untuk menaklukkan.

Pesona Dylan tak lepas dari kehidupan sosialnya. Ia hidup dari pelbagai latar belakang masalah dunia. Ia seorang yang tumbuh dalam keluarga Yahudi. Saya jadi teringat kisah dalam film Pulp Fiction ketika Samuel L Jackson mengutip Ezekiel 25:17 sesaat sebelum membunuh. Mungkin saja kutipan ayat tersebut menggelora di dalam kepalanya—tapi saya tak begitu yakin.

Pesan Dylan tak akan pernah luntur dalam nyanyiannya. “The Times They Are A-Changinmencoba mengisyaratkan hal itu: Come writers and critics…Who prophesize with your pen…And keep your eyes wide…The chance won’t come again...

Frasa kedua melukiskan sebuah isyarat moral yang tak habis dari zaman ke zaman, dari tiap saat dan dari taraf waktu tertentu.

Dylan sepertinya mafhum betul jika hanya penulis dan kritikuslah yang dapat menembus dan mengubah keadaan seperti paras rabi, pengkhotbah atau seorang bijak bestari yang mengajarkan kebaikan dengan versi dan kaidah masing-masing.

Dylan, seorang musisi yang bagi sebagian orang berkedok sastrawan, nabi, atau pun juru khotbah bukanlah personifikasi semacam itu. Ia tidak patut menjadi alegori demikian. Ia bagaikan anak lugu yang mencecari pertanyaan-pertanyaan sinis terhadap orang tuanya. Dan ketika orang tua tersebut menjawabnya dengan gamblang, si anak tak begitu yakin dan mengulangi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kukuh, bahkan sarkas.

Dan Dylan sering menampik. Ia tak pernah terus terang laiknya Roger Waters. Lagu “Blowin’ In The Winddikatakannya bukanlah lagu protes—tapi kritikus tak mempercayai itu. Dylan hanya ingin dirinya tak terlalu dipuja—cukuplah orang menjadi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam liriknya saya yakin karena ada sesuatu yang tak beres dalam kehidupan kini. Kepekaan terhadap kehidupan begitu besar.

Ketiadaan yang begitu diharapkan sering kali dicap sebagai utopis. Ketiadaan akan perang, kemeralatan, keserakahan, kesenjangan dan ketidakadilan acap kali muncul dengan tiba-tiba dan sulit untuk dilenyapkan. Dan ketika Dylan memenangkan Nobel, seperti dikatakan Stephen King: “Suatu hal yang besar dan baik dalam musim [yang penuh] dengan kebatilan dan kesedihan.”

Pesona Dylan akan tetap terang di usianya yang kini 75 tahun. Dan ketiadaan-ketiadaan di atas? Seperti dalam frasa terakhir dalam liriknya: The answer, my friend, is blowin’ in the wind…The answer is blowin’ in the wind.

Ilhmbdhmn
November 2016

Puisi untuk…

Mungkin pada mulanya puisi lahir dari ruang kontemplatif, juga barangkali dari spontanitas murni atau mungkin dari mana saja. Namun yang pasti, menghendaki puisi ialah perjumpaan dari hati ke hati. Penyair–katakanlah, bukan hanya soal syair dan tafsir tapi juga soal memaknai dan memahami kehidupan.

Puisi seakan memosisikan diri sebagai juru bicara penyair.  Menjalar ke pelbagai interpretasi yang luas ke segala arah. Yang mengesankan bagi saya ialah “kehadiran” puisi itu sendiri. Puisi memberikan imajinasi yang kompleks maupun paradoks, mungkin juga barangkali menghasilkan sebuah sentilan bagi diri kita sendiri.

Satu hal yang juga mengesankan dari puisi ialah tak mengenal batas. Bahkan bagi Heidegger, wacana berpikir yang asli adalah puisi.

Perlu rasanya saya menjelaskan arti sentilan di sini, dengan diiringi sebuah puisi dari Gus Mus atau KH A. Mustofa Bisri:

            Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana?

Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

 Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana

Puisi ini ditulis pada 1987 silam. Tapi, puisi ini seperti lahir pada masa kini serta seolah memberi sentilan bagi kita–yang merenunginya. Gus Mus menghadirkannya dengan gamblang, dengan galib, tanpa harus berimajinatif dengan kuat. Imaji seperti ini tak harus dikekang oleh tafsir.

Puisi tentu adalah suara hati, juga puisi Gus Mus. Goenawan Mohamad menilai Gus Mus sangat dekat dengan etika kedaifan. Ini tercermin dari perkataan Gus Mus dalam sebuah wawancara: “Saya khawatir terhadap orang yang merasa sudah sempurna, lalu menganggap yang lain jahanam semua,” katanya. Puisi ini bagi saya adalah puisi kesadaran.

Seperti puisi Gus Mus lainnya—yang membuka ruang kontemplatif dengan tidak melulu bernuansa religius, kadang jenaka, dashyat, juga ganjil. Puisi Gus Mus adalah puisi pencerahan, juga tak menggurui. Bahkan sang penyair sendiri tak akan terlampau jauh percaya bahwa puisinya sebagai medium untuk menyampaikan kebenaran, apalagi sang kebenaran. Sebab, ia selalu mengingatkan bahwa Kebenaran hanya datang dalam wahyu, sesuatu yang dahsyat, sesuatu yang menyebabkan pingsan, dan ketika bangun, si pingsan berubah, bersetia kepada apa yang ditinggalkan kebenaran itu.

Tapi jejak adalah jejak: sesuatu yang dikonstruksikan oleh yang datang kemudian. Orang sering lupa bahwa ada jarak antara jejak kebenaran dan kebenaran itu sendiri dan bagi sebagian penyair, barangkali kebenaran puisi bersifat personal.

Syahdan, hal seperti itu saya jadi teringat tentang Kahlil Gibran, seorang penyair romantik pengagum William Blake. Sebagai manusia yang mempunyai kebudayaan ganda: Timur dan Barat. Kahlil Gibran adalah sebuah fenomena bagi Timur Tengah dan dunia Barat. Wajar jika sebagian puisinya mempunyai ciri romantik, esoteris, alegoris, mistis, atau memberontak juga kasar. Saya sering berpikir dan menyamakan dirinya dengan Rabindranath Tagore, meski Tagore seniman berfigur anggun, saya anggap Kahlil Gibran cenderung liar—itu disebabkan pergaulannya dengan para seniman bohemian Boston.

Sebagaimana yang diceritakan oleh Suheil Bushrui dan Joe Jenkins dalam bukunya, Kahlil Gibran: Man and Poet, puisi Gibran banyak terpengaruh dari penyair bangsa Barat, katakanlah William Blake. Baginya, ia lebih berutang budi kepada orang Inggris tersebut daripada kepada siapapun: filsuf, seniman, atau penyair lainnya. Meskipun ia tak memungkiri, bahwa ia pun banyak terpengaruh dari Nietzsche.  Tak ayal, puisi itu pun mengalir kelam, ironi dan apa adanya. Melankolis dan ragu. Gibran pun memberi hormat kepada Muhammad Iqbal, Imam Al-Ghazali, juga Jalaluddin Rumi yang membawa pengaruh dalam hal kepenyairannya.

Puisi memang bukan filsafat, tapi ia hadir dalam ruang perenungan. Gus Mus dan Kahlil Gibran membuktikannya. Bagaimana dari sebilah kata, bisa menjadi sebuah senjata. Menjadi sebuah sentilan—bagi sebagian orang yang menyadarinya atau tidak sama sekali. Dan yang indah bukan hanya dari sekedar kata-kata, namun membubuhkan kesadaran dalam hati yang, menggugah hati serta pikiran.

Puisi acap kali disandingkan dengan slogan: Puisi lahir dari rahim sang penyair; slogan terkadang lahir dari lidah politisi. Muhammad Iqbal pernah menyentilnya: “Negeri-negeri lahir dari jantung penyair, lalu hancur di tangan politisi”. Dan bagi saya satu puisi lebih menggairahkan daripada seribu slogan. Puisi bukanlah sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban— dan penyair bukanlah pemberi fatwa.

Pamungkas, saya menukil sebuah syair panjang yang fantastis dari Kahlil Gibran. Sebuah syair yang, barangkali membuat takzim bagi siapapun yang membacanya.

Pikiranmu, Pikiranku

Pikiranmu adalah sebatang pohon yang mengakar di tanah tradisi dan cabangnya tumbuh dalam kekuatan tanpa henti.
Pikiranku adalah awan yang berarak di angkasa. Ia mengubah diri menjadi butir-butir yang ketika jatuh, membentuk sungai yang melantunkan jalan ke samudra. Kemudian ia naik lagi ke langit menjadi uap.

Pikiranmu adalah batang pohon yang kokoh, tiada badai dan topan mampu menggoyahkan.
Pikiranku adalah dedaunan gemulai, yang mengayun ke segala arah dan menemukan kegembiraan dalam setiap ayunan.

Pikiranmu adalah dogma kuno yang tak mampu mengubahmu dan engkau pun tak mampu mengubahnya.
Pikiranku baru, ia merasakanku dan aku merasakannya tiap pagi dan petang.

Engkau bersama pikiranmu dan aku dengan pikiranku

Pikiranmu telah membuatmu mempercayai perbedaan tingkatan antara yang kuat dan yang lemah, dan penguasaan terhadap yang sederhana oleh yang rumit.
Pikiranku menciptakan dalam diriku hasrat untuk menggali tanah dengan ujung kakiku, memetik hasil panen dengan sabitku, membangun rumahku dengan batu dan mortar dan mengibarkan pakaianku dengan benang-benang wool dan kapas.

Pikiranmu mendorongmu untuk mengawini kekayaan dan kehormatan
Pikiranku memerintahkan kemandirian

Pikiranmu memperjuangkan popularitas dan penampilan
Pikiranku menasehatiku dan mewanti-wanti untuk mengesampingkan kepopuleran
dan memperlakukannya seperti sebutir pasir yang terlempar di tepian pantai ketakterhinggaan

Pikiranmu menanamkan dalam hatimu kesombongan dan keunggulan.
Pikiranku menanamkan rasa cinta damai dan keteguhan

Pikiranmu melahirkan impian-impian tentang istana yang penuh berhiaskan perabot bertahtakan intan berlian, dan peraduan-peraduan bersulam benang-benang sutera.
Pikiranku berbisik lembut di telingaku, “Bersihkan raga dan ruhanimu meskipun engkau tak punya apa-apa untuk menyandarkan kepalamu”.

Pikiranmu dibayangi oleh pangkat dan kedudukan
Pikiranku menahanku dengan kesederhanaan pengabdian

Engkau bersama pikiranmu, dan aku dengan pikiranku.

Pikiranmu adalah ilmu sosial, sebuah kamus agama dan politik
Pikiranku hanyalah aksioma sederhana

Pikiranmu berbicara tentang perempuan yang cantik, yang jelek, yang alim, yang pelacur, yang cerdas, dan yang bodoh
Pikiranku melihat semua perempuan sebagai ibu, saudara atau anak dari setiap laki-laki.

Bahasan pikiranmu adalah para pencuri, penjahat, dan para pembunuh.
Pikiranku menyatakan bahwa para pencuri adalah hasil ciptaan monopoli, penjahat adalah anak turun para tiran, dan para pembunuh adalah saudara penindasan.

Pikiranmu selalu menjelaskan tentang hukum, pengadilan, hakim, dan hukuman
Pikiranku menjelaskan bahwa jika manusia menciptakan hukum, maka iahanya bisa mentaati atau melanggarnya. Jika ada hukum dasar, maka kita sama di hadapannya.

Barangsiapa yang merendahkan alat, ia sendiri ialah alat. Dan siapa yang menghina orang yang bersalah, ia telah menghina seluruh manusia.

Pikiranmu hanya memperhatikan para ahli, para seniman, para filosof dan para pendeta.
Pikiranku berbicara tentang mereka yang tercinta dan yang tersayang,yang tulus, yang budiman, yang jujur, yang bijak dan para martir.

Pikiranmu membela Yudaisme, Brahmanisme, Budhisme, Kristiani dan Islam
Dalam pikiranku hanya ada satu agama universal, dengan keragaman jalan yang menjadi uluran tangan penuh kasih dari Yang Mahatinggi

Dalam pikiranmu ada orang yang kaya, orang yang miskin dan para gelandangan
Pikiranku meyakini bahwa tidak ada yang kaya selain kehidupan itu sendiri; bahwa kita semua sama-sama gelandangan, dan tidak ada yang lebih dermawan selain kehidupan itu sendiri.

Engkau bersama pikiranmu, dan aku dengan pikiranku

Menurut pikiranmu, kebesaran sebuah bangsa terletak pada politik, partai-partai, konperensi-konperensi, persekutuan dan kekayaan mereka
Tapi pikiranku menyatakan bahwa nilai sebuah bangsa ada pada kerja-kerja di ladang, di kebun anggur, kerja di pertenunan, kerja di penyamakan kulit, kerja di pertambangan, kerja di ladang timah, kerja di kantor dan penerbitan.

Pikiranmu meyakini bahwa kemuliaan bangsa-bangsa ada pada diri pahlawan mereka. Ia memuji-muji Ramses, Alexander, Caesar, Hannibal dan Napolean.
Sementara pikiranku meyakini bahwa pahlawan sejati adalah Konfusius, Laos Tse, Socrates, Plato, (Ali bin) Abi Talib, Al Ghazali, Jalaluddin Rumi, Copernicus dan Pasteur

Pikiranmu melihat kekuatan pada tentara, meriam-meriam, kapal-kapal perang, kapal-kapal selam, pesawat-pesawat tempur, dan gas beracun
Tapi pikiranku menegaskan bahwa kekuatan terletak pada rasio, resolusi dan kebenaran. Tak peduli seberapa lama seorang tiran mampu bertahan, pada akhir cerita dia tetap akan jadi pecundang

Pikiranmu memilah-milahkan antara pragmatis dan idealis, antara bagian dan keseluruhan, antara mistis dan materialis
Pikiranku membuktikan bahwa kehidupan adalah satu; dan ukuran, bobot serta tabelnya sama sekali tidak cocok dengan apa yang engkau pikirkan. Orang yang engkau pikir seorang idealis bisa jadi sepenuhnya seorang pragmatis

Engkau bersama pikiranmu, dan aku dengan pikiranku

Pikiranmu tertarik kepada reruntuhan, musium, mumi dan benda-benda yang sudah memfosil
Pikiranku berenang dalam kabut dan awan yang selalu baru

Pikiranmu bersinggasana di atas tengkorak. Karena engkau membanggakan dan memuliakannya
Pikiranku memngembara di padang yang luas dan tak bertepi

Pikiranmu adalah para peniup terompet sementara engkau menari
Pikiranku lebih suka kepada duka kematian ketimbang musikmu dan tarian

Pikiranmu adalah pikiran gosip dan kesenangan yang salah
Pikiranku adalah pikiran orang-orang yang hilang di negerinya sendiri, pikiran orang asing akan bangsanya sendiri, dan pikiran para tahanan di antara kawan-kawannya.

Engkau bersama pikiranmu, dan aku dengan pikiranku.

Ilhmbdhmn
2016