Stasiun Kota J

Jika mata seorang lelaki menatap tajam kepada seorang wanita, ketahuilah bahwa ada dua kemungkinan. Pertama, ia memang benar-benar tengah jatuh cinta. Kedua, ia sedang membangun nafsu birahinya. Dua kemungkinan besar itu memang bisa saja terjadi.

Di sebuah stasiun kota J, ada seorang lelaki yang tidak bisa disebutkan namanya tengah menatap seorang wanita dengan nikmat. Tatapan itu lurus tanpa putus dengan mata hitam bulat.

Wanita yang diseberang peron itu lamat-lamat membalas tatapan tajam seorang lelaki dengan matanya yang sayu, kekuningan dan kering. Mereka paham betul bahwa adu tatap ini bukanlah sebuah kompetisi, bukan juga ajang pencarian bakat.

Beberapa orang di sekitar peron mulai menikmati dan menyaksikan saling tatap kedua insan manusia itu. Menurut pengakuan seseorang, mata lelaki itu menyala-nyala bagai api. Sedangkan kata seorang penjaga stasiun, justru mata wanita itu yang menyala-nyala tanpa henti.

Tiga jam berjalan keempat tatapan mata itu tak juga berhenti. Bahkan, cara pandang mereka kini berubah: tanpa berkedip. Satu hal yang diyakini orang-orang disekitar peron adalah kedua insan itu sedang dimabuk cinta. Namun, pertanyaannya, siapa yang sedang jatuh cinta, dan siapa yang tengah membangun nafsu?

Orang-orang yang mulai terasa terganggu berencana melemparkan mereka ke rel kereta api yang sedang melaju, sedangkan bagi yang tidak setuju lebih baik dibiarkan saja hingga waktu ajal datang sebab kedua orang itu juga tidak menganggu.

Kemudian kesepakatan muncul apabila kedua orang itu masih seperti itu hingga waktu menujukkan pukul tiga dini hari, maka melemparkannya ke sebuah rel adalah jalan yang tepat.

Salah satu penjaga stasiun dengan tangannya yang kekar diberi kepercayaan untuk menjaga mereka, sekaligus bertugas sebagai algojo apabila mereka benar-benar akan dilempar.

Di pengujung waktu, sebelum pukul tiga dini hari, salah satu di antara mereka akhirnya mengalah diri. Alasannnya, cinta dan nafsu nyatanya sama. Kalau dibiarkan, tentu menjadi dosa, apabila berdosa maka sengsara, apabila sengsara, maka tersiksa, apabila tersiksa bisa terjerumus ke neraka.

Ilhmbdhmn
0.57 WIB

Copin-Copin

Untuk Alm Okke Made Jaya Santika

I

Jangan pernah sekalipun mendakwa seseorang dari wajahnya apalagi nasibnya, terkecuali seseorang itu bernama Copin-copin. Lihatlah, wajahnya lentur seperti terbuat dari karet, kulitnya kisut serta licin, namanya asing tapi bukan Rusia, entah dari Zimbabwe atau Mongolia.

Kendati demikian, meskipun sedang masygul atau gembira, ia selalu memancarkan sinar yang sejuk. Sebab itu, meski ia selalu menggigit jari karena kebiasaannya atau suka menyendiri, Copin-copin sering dicari.

Ia memang sering dicari, terutama oleh para supir bus. Sebab, ia adalah seorang kenek. Namun ingat, nasib seseorang bukanlah seperti yang terlihat sepintas dalam pandangan mata. Jika diperhatikan dari silsilah keluarga, hampir semua anggota keluarganya hidup dari “tagih menagih”.

Ada leluhurnya yang menjadi kondektur, tukang kredit, lalu debt collector, kemudian nasib ini turun juga kepadanya, ia sendiri menjadi kenek bus—percaya atau tidak itulah yang terjadi.

Karena menurut pendapat orang pekerjaan tagih menagih mengandung unsur yang “waswas”, maka Copin-copin adalah orang yang dapat dipercaya oleh semua supir bus di terminal Citangkal. Ia pandai berhitung, cekatan, kenes, terlampau absurd, dan suka membanyol adalah nilai plus bagi seorang kenek.

Sebetulnya, riwayat Copin-copin menjadi seorang kenek bisa terbilang aneh. Maka dari itu, ada baiknya memperhatikan cerita berikut.

Setelah lulus SMA hampir setahun penuh ia menganggur. Di zaman seperti ini mencari pekerjaan susah, layaknya zaman moneter. Lulusan SMA hanyalah dianggap sebagai runtah. Bila dibandingkan dengan anggota keluarga yang lain, Copin-copin memang seorang yang mandiri.

Kakaknya menjadi anggota polisi karena ada kenalan dari pamannya. Walaupun ia sempat pula ditawari menjadi tentara oleh pamannya. “Copin, jadilah tentara. Semua saya yang atur. Pokoknya beres!” begitu katanya. Namun, ia menolak dengan alasan ingin mandiri dengan keringatnya.

Paman ini, bernama Paman Onod, telah berjasa dalam keluarga besar Copin-copin. Selain kakaknya yang dijadikan polisi, saudara lainnya ada yang menjadi satpam, tentara, pramugari, dan supir. Semua berkat Paman Onod. Relasinya di mana-mana, tapi ia sendiri menjadi seorang pedagang ulung yang sukses.

Sebelum menceritakan lebih jauh riwayat Copin-copin yang telah resmi menjadi seorang kenek di Barak Suka Jaya, yaitu perusahaan otobus yang reputasinya sedang-sedang saja, maka ada baiknya menceritakan sedikit terkait perusahaan ini.

Selama dua puluh tahun berdiri, nama Barak Suka Jaya tidak begitu meroket di kalangan masyarakat. Bahkan, harga sahamnya sering melorot. Namun, gigihnya perusahaan ini patut diapresiasi. Sebelum adanya transportasi daring, Barak Suka Jaya tetap berjalan mulus disepanjang aspal jalanan.

Di perusahaan Barak Suka Jaya hanya beberapa bus yang laik jalan. Sisanya hanya seperti bangkai, rangka bus seperti kaleng, jika disentuh sedikit akan penyok, catnya selalu terkelupas jika terkena panas. Satu bus pernah mundur hampir puluhan meter di tanjakan Nagreg, tidak lain dan tidak bukan ialah rem tangan dan kakinya susah untuk ditarik dan ditekan.

Namun, satu kelebihan selama perusahaan ini berdiri antara lain hanya satu kali mengalami kecelakaan. Moto dari perusahaan sendiri adalah “Alon-alon waton kelakon”–yang diambil dari bahasa Jawa dengan arti pelan-pelan saja asal berhasil. Menurut sebagian orang, kalimat tersebut adalah doa.

II

Kembali pada riwayat Copin-copin. Cerita bermula ketika ia hendak melamar pekerjaan di sebuah penerbitan koran harian. Kebetulan, seperti biasa, di terminal Citangkal, ia selalu naik bus Barak Suka Jaya. Sebab, selain ongkosnya miring (hal ini pun membuat bus ini suka miring ke kiri karena kepenuhan), bus ini jarang sekali datang terlambat, ya, meskipun kadang-kadang.

Setelah bus melaju dan ia berada di dalam bus dengan peluh yang menetes di dahinya, Copin-copin berdiri dengan tangan berpegang pada tiang gantungan. Ketika itu datanglah kenek bus Barak Suka Jaya menghampiri Copin-copin dan menagih ongkosnya.

Tanpa malu dan ragu, tidak seperti ketika ia menghadap seorang perempuan, Copin-copin pun membayar ongkosnya dengan uang kembalian beberapa lembar kertas dan recehan. Kemudian berlanjut dengan bercakap-cakap sebentar.

Belum hampir setengah perjalanan, bus ini mendadak mogok. Hal seperti inilah yang membuat beberapa penumpang jengkel. Seorang supir bernama Pak Harmoko dari bus Barak Suka Jaya pun memeriksa dan membetulkannya hampir belasan menit. Nyala mesin tak kunjung juga terdengar.

Maka turunlah Copin-copin dengan penuh rasa iba dan berniat untuk membantunya. Sekadar informasi, Copin-copin pernah membongkar mesin motornya meskipun pada akhirnya tidak terpasang kembali. Kendati demikian, jiwa mendadak mekaniknya muncul begitu saja di dalam pikirannya.

Mungkin, karena wajahnya yang meyakinkan dan dinilai Pak Harmoko sebagai wajah yang kocak maka Pak Harmoko pun mempercayainya agar mesin itu diotak-atik olehnya. Sejurus kemudian, ajaibnya mesin itu kembali bernyala. Berbeda ketika ia mengotak-atik mesin motor yang tidak pernah tuntas.

Dengan riang gembira Pak Harmoko sambil bersiul bersama Copin-copin naik ke dalam bus dan perjalanan kembali dilanjutkan. Sialnya, sang kenek Barak Suka Jaya malah tertinggal saat ia hendak membeli segelas kopi dan gorengan.

Dengan terbirit-birit dan teriak sambil membawa gorengan ia pun ketinggalan bus yang perlahan-lahan melaju kencang. Nahasnya, sang kenek tersemprot asap kenalpot sehingga menyebabkan wajahnya penuh cemong.

Di dalam bus, Pak Harmoko terheran-heran. Firasatnya seolah menegur jika ada sesuatu yang tidak beres. Sejurus kemudian ia mengerem busnya dengan keadaan mendadak. Bus pun terguncang. Penumpang kembali jengkel. Pak Harmoko tersadar bahwa keneknya ketinggalan!

Dalam keadaan yang terdesak ini, kesabaran Pak Harmoko sebagai supir kembali diuji. Pemecahan masalah pun dimulai: pertama, kembali untuk menjemput sang kenek. Kedua, melanjutkan perjalanan tanpa sang kenek. Maka, ia memilih yang kedua. Sebab, menurut Pak Harmoko, sebagai supir sejati dan bertanggung jawab, mendahului penumpang adalah tugas pokok yang utama.

Setelah berunding dengan pikirannya sendiri, dia kembali memacu busnya dengan keadaan penuh. Setelah ratusan meter ditempuh, tepat di Jalan Sersan Magol beberapa penumpang hendak turun. Seperti terbiasa Pak Harmoko mengeremnya dengan mendadak lagi. Bus berhenti dengan sedikit guncangan.

Nah, celakanya, entah karena wajahnya yang kocak itu atau karena Copin-copin berdiri tepat di sebelah pintu belakang bus sambil memegang handuk kecil, tanpa ba dan bu para penumpang pun membayar ongkos kepadanya!

Bus melaju lagi dan agak kosong. Maka dengan wajahnya yang konyol dan kocak itu Copin-copin terheran-heran. Maka ia pun berniat menghampiri Pak Harmoko sambil membawa uang hasil pemberian penumpang.

Namun, belum sampai setengah badan bus berjalan ke bangku supir, bus kembali terguncang dan ia pun terpelanting. Seorang ibu yang latah pun berteriak kencang: “Astagfirullah, Pak, Pak, ehh.. Pak! Konaknya.. eh.. Keneknya, eh.. keneknya!”. Bus pun berhenti.

Bus berhenti. Kepala Pak Harmoko menengok ke belakang, sedang Copin-copin masih tertatih-tatih. Buntutnya, akibat kejadian itu Pak Harmoko mengerocos ke sana kemari meminta maaf dan berjanji akan menebus kecerobohannya.

Maka demikianlah, sampai pada akhirnya setelah kejadian itu beberapa hari kemudian Copin-copin ditawari pekerjaan dan diangkat menjadi kenek bus di perusahaan Barak Suka Jaya tanpa harus melamar.

III

Pada hari pertama kerja menjadi kenek (hari pertama dihitung keesokan harinya setelah kejadian “terpelanting” itu) ia pede sekali dengan pekerjaannya. Ia tahu bahwa menjadi kenek di perusahaan Barak Suka Jaya adalah sebuah hikmah.

Pada hari pertama saja ia masih bisa bekerja dengan santai. Jika bus sedang penuh, mau tidak mau ia harus nangkel dan berpegang pada tiang di pintu bus. Jika sedang kosong, dengan leluasa ia bisa merokok tanpa adanya omelan pacarnya yang suka melarang. Ia sadar bahwa merokok atau tidak semua orang pasti akan mati.

Hari pertama disusul hari kedua, lalu diikuti hari ketiga, dan demikianlah seterusnya sampai tahun ke tahun tiba. Di tahun keempat, atau kelima kalau tidak salah, ada sebuah kejadian yang membuat celaka seluruh penumpang bus Barak Suka Jaya.

Ceritanya begini: Ketika itu, penumpang dalam keadaan penuh dan bus dalam kondisi tidak baik. Lampunya redup, AC nya mati, bannya sudah tipis, pokoknya Pak Harmoko mengeluh bahwa busnya susah dikendalikan. Namun, karena Copin-copin adalah seorang yang tenang, maka ia bertingkah setenang mungkin meskipun bus yang di supiri Pak Harmoko hampir-hampir menabrak sepeda motor dari arah berlawanan.

Sehari sebelumnya memang Pak Harmoko tidak mengecek keadaan bus karena tidak sempat. Waktu itu, ketika di kantor perusahaan Barak Suka Jaya, Pak Harmoko hanya bertanya pada mekanik mengenai keadaan busnya. Dengan nada serampangan mekanik berkata: “Pokoknya beres, sudah saya atur, oli sudah diganti, tinggal jalan.”

Pak Harmoko percaya saja, toh orang itu mekanik yang ahli dalam mesin dan sudah berpengalaman. Namun ia lupa, si mekanik belum dikasih uang “rokok”.

Demikianlah, dengan tangan gemetar dan bibir komat-kamit Pak Harmoko berusaha mengendalikan bus tersebut meski dengan keadaan demikian.

Seorang penumpang paruh baya mulai bertanya-tanya tentang keadaan. “Tenang saja, Pak Harmoko supir yang cekatan, bus pun telah diruwat, ingatlah moto perusahaan kami.” tukas Copin-copin dengan wajah kocaknya.

Copin-copin sendiri merasa perjalanan ini memang berbeda. Hatinya dag-dig-dug, demikian pula suaranya. Meski wajahnya selalu kocak, hampir saja ia terkencing-kencing. Di situ, ia termenung, andaikata menerima tawaran pamannya menjadi polisi atau tentara, kemungkinan besar ia tak akan seperti ini. Namun, ia tahu diri dan percaya, bahwa keputusan menjadi seorang kenek adalah keputusan bulatnya.

Sekarang giliran Pak Harmoko yang tenang, sebab bus telah dapat ia kuasai.

“Tenang para penumpang, saya dan Copin-copin si wajah kocak telah berpengalaman di jalanan. Tetap tenang!” teriak Pak Harmoko sambil membanting setir ke kiri dan ke kanan dengan lihai.

Dengan keadaan jalan yang berkelok-kelok, ia tahu bahwa seharusnya ia mengambil jalan pintas. Jalan yang aman untuk dilewati. Ia juga tahu bahwa jalan pintas tersebut bukanlah rute yang ditetapkan perusahaan bus Barak Suka Jaya. Ia juga tahu, bahkan sangat tahu, kalau sampai melanggar rute yang ditetapkan, ia pasti kena pecat.

Berdasarkan pengalaman, temannya dipecat hari itu juga setelah dirinya melanggar rute yang telah ditetapkan. Pasal yang disebutkan ketika temannya dipecat berbunyi: “Tidak taat aturan selama berkendara,” dengan alasan “membahayakan penumpang dan merugikan perusahaan”.

Maka, berdasarkan pengalaman temannya dan kejujuran yang selalu kedua orang itu genggam, rute bus yang dilewati pun tak pernah dikurangi atau dilebih-lebihkan. Dengan demikian, jalan pintas pun tak jadi ditempuh.

Meskipun diperjalanan penuh risiko, tapi karena didasari tanggung jawab, Pak Harmoko dan Copin-copin sepakat untuk menerabas jalanan dengan kondisi bus yang terguncang-guncang. Keadaan yang gelap serta hujan, turut pula dalam perjalanan.

Walau demikian, Copin-copin masih saja bisa bersenandung ketika radio tape jadul memutar lagu Rhoma Irama berjudul ajojing: “ajojing yo hayo.. kalau kita selalu gembira, hati kita pun jadi lega, jikalau hati kita lega, maka semangat tuk bekerja..” katanya dengan badan yang hampir terpental saat belokan tajam. Tak lupa juga selalu menyebut “Cekiiiitttt…” ketika belokan ke kiri ataupun ke kanan.

Pak Harmoko tak percaya bahwa teman sejawatnya seriang demikian meski dalam keadaan semacam ini. Padahal, pikirannya kalut, seolah tidak ingat apa-apa lagi selain kondisi busnya yang tak biasa. Bisa saja ia mendadak membanting setir dan menerobos kelebatan hutan, menukik dengan kecepatan kilat ke dalam jurang, lalu belok kanan, belok kiri, untuk menghindari mobil-mobil yang juga sangat berkilat.

Namun, ia tahu busnya akan luntur. Cepat atau lambat bisa saja membawa malapetaka. Terlebih, busnya sudah amat sangat kolot. Beberapa suku cadangnya seharusnya telah diganti terutama remnya. Kursi supirnya pun telah reot.

Tapi, ketika ia melihat wajah Copin-copin dari kaca spion yang sumringah saat terkena angin, sekonyong-konyong ia tergugah dan lebih bersemangat mengendarai busnya.

Beberapa penumpang akhirnya secara serentak menjerit “Aaaahhhh!” bahkan mengingatkan untuk awassss. Ada pula yang sambil menyebut “Allahuakbar!” ketika kepala bus hampir-hampir mencium sebuah truk.

Dengan kecepatan kilat, badan bus bergoyang ke kanan dan ke kiri. Pak Harmoko masih saja meyakinkan para penumpang dengan moto perusahaannya meskipun ia sendiri mulai melanggar motonya. Sejumlah penumpang memejamkan mata, tak berani melihat kelihaian Pak Harmoko mengemudikan bus.

Dan pada akhirnya, semua penumpang menjerit-jerit, terkecuali Pak Harmoko dan Copin-copin. Mereka tetap saja meyakinkan para penumpang dengan berteriak keras. “Tetap tenang para penumpang, ingat moto perusahaan kami, ingatlah wajah kocak kenek kita si Copin-copin, tetap gembira!” teriak Pak Harmoko.

“Jangan khawatir, serahkan semuanya kepada Tuhan. Juga kepada supir kita, Pak Harmoko, ia lihai seperti belut. Jangan khawatir!” teriak Copin-copin.

Bus mulai oleng ke kiri lebih tajam saat berbelok, terasa benar akan hancur. “Semua tenang, jangan panik.” Copin-copin menenangkan.

Dengan keadaan demikian, kepala bus tak kuasa menahan nafsu untuk mencium pantat kendaraan lain. Karena itu, mata Copin-copin tak kuasa terpejam. Dia pasrah. Maut tak bisa dilawan.

“Ke mana aku harus pergi dan melihat?” katanya. Dalam keadaan gelap, sesungguhnya Copin-copin telah tiada.

Ilham Budhiman
2015

Catatan: cerpen ini gubahan dari cerpen “Kisah Pilot Bejo” karya Budi Darma (dengan seizin beliau)

Lelaki Tua dan Muda

Lelaki tua dan lelaki muda sama-sama bekerja di perusahaan kelas atas. Sama-sama berpakaian rapi dilengkapi dasi. Sama-sama berprestasi tinggi.  Hanya masalah gaji dan status sosial lah yang menjadi batas di antara mereka. Lelaki muda lebih tinggi satu tingkat dalam kedudukan hirarki perusahaan tersebut dibanding lelaki tua.

Lelaki tua pandai dan piawai dalam menangani pekerjaan perusahaan. Begitu juga lelaki muda, ia lebih pandai dan lebih piawai dibanding lelaki tua. Lelaki muda berkepribadian energik dan mudah bersilat lidah. Lelaki tua pun tak mau kalah, ia energik meskipun terlalu memaksakan, dan juga tak kalah bersilat lidah.

Dalam hal mengatur perencanaan tujuan perusahaan untuk mencapai target, biasanya para pegawai berlomba-lomba mengatur presentasinya sebaik mungkin. Dan seperti yang sudah-sudah, hanya lelaki tua dan lelaki muda yang berhasil mengesankan para atasan. Dan seperti yang sudah-sudah juga, dualisme antara mereka pun sering terjadi.

Hal ini lagi-lagi menjadi perdebatan siapa di antara mereka yang lebih baik. Apabila merujuk catatan potensi serta integritas yang dimiliki perusahaan, lelaki muda lah yang mencapai persentase lebih baik ketimbang lelaki tua. Kendati demikian, lelaki tua selalu mengalah meski hatinya teriris-iris.

Di luar konteks siapa sebenarnya yang paling berprestasi di antara mereka sesungguhnya cukup mudah. Ceritanya begini: pada tahun 1999, lelaki tua resmi menjadi pegawai di perusahaan tersebut setelah jatuh bangun enam tahun menjadi pegawai kontrak.

Tahun-tahun pun dilalui. Bidang apa pun ditekuni karena memang ia sungguh berproses dari nol. Mula-mula menjadi sales biasa, kemudian diangkat menjadi supervisor, hingga kepala pemasaran. Jadi cukup mudah bagi dirinya untuk menilai bahwa ialah yang terbaik. Jangan anggap prestasinya sedikit. Ia sendiri cukup berpengalaman.

Cerita lain datang dari lelaki muda, ia masuk perusahaan setelah lelaki tua bekerja bertahun-tahun di perusahaan tersebut. Lelaki muda adalah lulusan universitas termuka di negeri nun jauh di sana. Gelarnya hampir mendekati sempurna untuk seusianya. Gajinya tinggi karena tuntutan serta tekanan pekerjaan yang bermain risiko. Uangnya melimpah untuk seukuran dirinya. Dan yang tak kalah menarik: Tidak perlu lama mendapat kedudukan tinggi sebab gelarnya berelevansi dengan pekerjaannya saat ini.

Sebenarnya, hubungan di luar pekerjaan di antara mereka cukup baik, tak ada yang ganjil, jikapun ada sedikit clash maka mereka cepat-cepat mengambil tindakan, sebab mereka sepakat selalu bersaing secara sehat dan saling respek satu sama lain.

***

Suatu saat ketika rapat usai, atasan yang lebih berkedudukan tinggi di antara mereka sepakat bahwa lelaki muda dipercaya kembali mengambil langkah-langkah strategis untuk kemajuan perusahaan. Memang, dalam hal presentasi keduanya terbilang cakap. Namun, dalam hal rezeki lelaki tua satu langkah lebih mundur ketimbang lelaki muda.

Inilah momen yang biasanya lelaki tua tak sanggup menerima sehingga kadang-kadang selalu menggerutu sendiri dan memaki-maki tuhannya. Sedangkan lelaki muda dengan jurus silat lidahnya selalu berhasil meyakinkan semua para pegawai terutama atasannya.

Semua pegawai bertepuk tangan dan menyalami lelaki muda atas presentasi dan pencapaiannya dalam meyakinkan atasannya. Salah satu pegawai malah meminta tips langsung dengan imbalan satu kaleng Coca-Cola. Di sisi lain, lelaki tua tampak ikut bergembira meski merasa kesal, hal itu bisa dilihat dari tangannya yang mengepal keras di kolong meja bak petinju kelas dunia.

Kemudian lelaki muda menghampiri, bersalaman sambil tersenyum kecut seolah berkata: sayalah seorang pemenang!

“He, Anda hebat juga, ya! Bulan lalu Anda juga yang dapat,” kata lelaki tua, sambil mempertahankan kekesalannya.

“Wah, Anda bakal kebanjiran bonus, nih!” sambungnya dengan umbul-umbul kepala yang panas dan seolah-olah setan berbisik: hajar dia, hantam dia.

“ Ha ha biasa saja. Soal sepele,” jawab lelaki muda gampang.

Sok merendah, picik, tak tahu diuntung. Itulah yang ada dipikiran lelaki tua. Tambah panas.

Lusanya, tak ada hujan, tak ada angin, tanpa diduga lelaki muda dan lelaki tua bertatap muka dengan serius tanpa biasanya. Pertemuan itu diatur setelah pekerjaan masing-masing selesai.

“Begini,” lelaki tua mulai berkata. “Anda tahu benar bahwa beberapa waktu lalu saya hampir mendapatkan klien yang potensial. Dan tentu saja saya tahu sekiranya bahwa Anda mendengar percakapan saya dengan calon klien saya waktu itu,”

“Saya melihat kuping Anda seolah-olah seperti mesin penyadap,” katanya, “Mata Anda seperti kamera pengintai, dan gerakan tubuh Anda tak seperti biasanya. Jujur saja, Anda memahami maksud saya.”

“Saya tak paham maksud Anda, Pak. Memang posisi saya ada di dekat Anda, tapi saya tak tahu menahu soal yang Anda maksud,” ujar lelaki muda.

“Saya tidak tahu apakah Anda pegawai kantoran ataukah agen BIN, CIA, FBI atau agen omong kosong. Tingkah laku Anda,” kata lelaki tua “Seperti seorang remaja yang penasaran akan film porno.”

“Tak ada kata-kata dari percakapan yang menempel pada kuping saya, Pak, kendatipun ada, hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan.” belanya.

“Betulkan? Anda mendengar percakapan itu.”

“Tidak, Pak.”

Satu kalimat yang tertempel dipikiran lelaki tua ialah bahwa lelaki muda benar-benar seorang pembual dan lihai bersilat lidah. Andaikata lelaki muda itu berkata jujur bahwa dia telah mendengar perbincangannya dengan calon kliennya waktu itu, maka pintu maaf terbuka baginya. Atau jika ia bersikeras tak mau mengaku, dapat dipastikan lelaki tua tak sungkan dan nekat akan melemparkannya dari atap gedung tempat mereka bekerja.

***

Obrolan yang pada mulanya terksesan baik-baik. Kini berubah semacam introgasi a la polisi. Mata lelaki tua menyala-nyala. Bahkan lelaki muda mengaku dan bersumpah sampai tujuh turunan bahwa ia tak mendengar percakapan lelaki tua dengan calon kliennya. Juga sebaliknya, lelaki tua tak begitu saja percaya kepadanya dan mulai yakin bahwa lelaki muda bukanlah seorang yang lembek.

“Saya kasih tahu, dengar baik-baik. Saya tidak tahu apakah tujuan picik Anda. Setelah pertemuan itu, calon klien saya lari ke tangan Anda,” kata lelaki tua dengan nada bicara seperti anjing kelaparan.

Memang, perkataan lelaki tua tidak main-main, ia ingin agar lelaki muda mengaku. Dan lelaki muda tetap bersikukuh dan membela dirinya sendiri seperti sedang pledoi di pengadilan.

***

Di pengujung waktu. Tidak ada kesepakatan di antara mereka. Lelaki tua tampak menahan emosinya yang meletup-letup. Matanya bukan lagi sebesar biji kelereng, kurang lebih seperti bola golf. Lelaki muda, seorang yang pandai bersilat lidah dalam bekerja, tetap menahan prinsipnya.

“Dengar baik-baik, sekali lagi saya menghargai keputusan Anda. Namun sekali lagi, saya tahu Anda seorang pembual. Tatapan Anda seolah-olah melecehkan saya. Saya tahu Anda pegawai yang cakap, jangan kira Anda anggap saya ini siapa. Saya tidak hendak mengancam Anda.”

Dengan sikap yang dingin, lelaki muda hanya manggut-manggut. Sekarang benar-benar diujung perbincangan, lelaki tua mengatakan bahwa lelaki muda ialah seorang yang benar-benar lihai seperti ular.

Sementara itu, keesokan harinya, rasa cemas mulai menggerogoti lelaki muda. Ke mana pun ia pergi: bayangan tubuhnya seperti berlipat ganda. Jika ia sedang mempresentasikan orientasi pekerjaannya, mulutnya sering ngelantur. Jika ia sedang memberi arahan kepada bawahannya, uraiannya tidak jelas. Jika ia sedang konsultasi dengan calon investor—dan ini yang menakutkan hatinya—bayangan hitam yang berlipat ganda itu sering muncul dihadapan calon konsumennya.

Lalu, di lain waktu, lelaki tua merasakan kejanggalan yang hampir sama. Awalnya hari-hari berjalan seperti biasa. Namun, pada suatu siang, sehabis bertemu calon kliennya, ia selalu mendengar bisikan aneh. Kepalanya selalu pening tujuh keliling   yang membuatnya tampak sengsara, ia selalu bicara seperti orang sinting.

“Brengsek, jangan sampai saya menghajarnya!” katanya dengan berulang-ulang. Kejanggalan ini menyerangnya pada setiap ia akan dan selesai bekerja. Hal inilah yang membuat pegawai lain bertanya-tanya.

***

Pada suatu hari, tanpa disengaja, lelaki muda dan lelaki tua saling berpapasan di toilet. Dengan senyum kecut lelaki tua berkata apakah ia menjalani hari-hari yang menyenangkan. Lantas lelaki muda menjawab enteng: “Ya”. Ketika lelaki muda bertanya sebaliknya dengan sinis, lelaki tua berkata singkat: “Tentu”.

Sehabis pertemuan kecil itu, lelaki tua merasa sangat-sangat jengkel. Andaikata ia menghajar lelaki muda, tentu ia merasa sebagai pecundang. Setelah memakan aspirin dan membuka pikirannya lebar-lebar, lelaki tua tahu bahkan sangat tahu jika yang ‘meneror’ dirinya ialah lelaki muda. Betapa bisikan itu terus muncul, menyerap seperti monster kecil yang tinggal di kepalanya.

Memang, lelaki muda awalnya tak mempunyai prasangka buruk pada lelaki tua. Tapi, melihat gelagat lelaki tua yang sering komat-kamit sendiri membuatnya curiga dan berpikir bahwa ia diguna-guna. Hal inilah yang memunculkan pikirannya untuk mendatangi seorang dukun.

Pada mulanya, pegawai lain tak merasakan gejala aneh yang timbul di kantor. Namun, lamat-lamat beberapa pegawai seperti mencium bau syak swangka di antara mereka.

Kelakuan lelaki muda tak seperti biasanya. Ia sering memakai kalung bawang pada lehernya. Ketika ditanya mengapa ia memakai kalung seperti itu termasuk pada saat rapat, ia hanya menjawab “kebebasan berekpresi itu penting”. Kemudian tingkah aneh lainnya selalu terlihat oleh sebagian pegawai ketika lelaki muda sering menginjak-nginjak bayangan dirinya sendiri.

Kesengsaraan lelaki tua semakin menjadi-jadi. Ceritanya begini: suatu siang ketika ia hendak bertemu calon klien di perusahaan yang reputasinya tinggi, ban mobil yang ia tumpangi mendadak kempes. Tak berpikir lama ia berpindah dari mobil pribadi ke sebuah mobil lainnya. Namun, satu kesialan yang terus menerus ia hadapi: ban mobil yang ia tumpangi selalu kempes.

“Sialan, pasti ini perbuatannya,” pikirnya dengan ketus. Pertemuan itu pun gagal sebab hampir setengah hari ia menghabiskan waktunya di tukang tambal dan kemacetan.

Meskipun kejadian demi kejadian menimpa lelaki tua dan lelaki muda. Masing-masing dari mereka masih menahan diri. Hal ini, kata para pegawai kantor, seperti perang dingin. Sebagian pegawai tahu, sesuatu telah terjadi antara lelaki tua dan lelaki muda; seorang atasan dan bawahan. Kendati semua tahu, mereka tak ingin tahu lebih dalam terkait persoalan ini. “Lebih baik memikirkan kebutuhan pribadi dan gaji yang tak kunjung naik.” ujar salah satu pegawai.

Penderitaan lelaki muda atas munculnya bayangan ganda secara bertubi-tubi membuatnya jengkel. Hari-harinya diserang penderitaan yang lebih hebat. Suatu saat pernah darah menetes dari hidung dan telinganya. Darah yang menetes berbau amis dan kehitaman. Sedangkan penderitaan yang dialami lelaki tua tak lebih sama sengsaranya: rambutnya mulai rontok dan batuknya berdahak bercampur darah.

Suatu sore, hujan es menyerang sebagian kota. Bongkahan terbesar hampir-hampir sebesar kepala orok. Jendela kantor yang kuat pun menimbulkan suara gaduh akibat terbentur es. “Lagi dan lagi”, pikir lelaki tua, “pasti ini kiriman si goblog.”

Saat itu juga lelaki tua menghampiri lelaki muda. Lelaki muda merespon mendekat.

“He, sudah puas dengan perbuatanmu?” tanya lelaki tua.

“Perbuatan apa?”

“Jangan pura-pura goblog,” kata lelaki tua menaikan nada bicaranya.

“Saya tahu, Anda mendengar pembicaraan saya dengan calon klien potensial saya. Kemudian Anda tak mau mengaku. Lalu Anda membuat saya ketiban sial terus-menerus. Pasti ini ulah Anda kan?”

“Anda dibuat pusing oleh diri Anda sendiri. Saya yang sepantasnya nanya begitu kepada Anda, akhir-akhir ini saya hampir dibuat mati oleh perbuatan Anda,” tuding lelaki muda.

“Jangan bersikap bego”, kata lelaki tua, “mengapa Anda tidak mengaku saja, gara-gara ulah Anda, saya dibuat sengsara!”

“Mengaku bagaimana? Saya tidak seperti yang Anda tuduh.” Kata lelaki muda dengan nyali yang sedikit menciut.

Setelah kupingnya yang lebar mendengar perkataan lelaki muda. Lagi-lagi emosinya meletup-letup, matanya tajam seperti seekor kucing, nampak urat di dahinya menggelembung.

“Begini, saya beri waktu Anda tiga hari untuk mengakui perbuatan Anda, bahwa Anda mendengar pembicaraan saya dengan calon klien, dan Anda telah mendoakan saya agar tertimpa sial, dan jika Anda tak mau mengaku, he, jangan harap Anda bisa hidup,” kata lelaki tua mengancam.

Keesokan harinya teror terus menerus menggerogoti lelaki tua dan lelaki muda. Wajah kedua umat manusia itu pucat seperti mayat berjalan. Hampir setiap saat jika mereka berpapasan, lelaki tua mendesak agar lelaki muda mengaku. Lelaki muda tak habis pikir, pengakuan apa yang seharusnya ia katakan.

***

Tiba pada saatnya ketika suasana kantor ricuh oleh perkelahian antara atasan dan bawahan. Orang bergerombol berdatangan dari lantai sebelas, empat belas, dan tentunya tiga belas tempat mereka adu jotos, dari lantai lain tidak datang sebab selain elevator penuh juga karena jarak lantai jauh. Satpam melerai perkelahian tersebut. Penonton bersorak “huuu..” setelah perkelahian dihentikan. Mereka bubar.

Kedua perkelahian tersebut dipicu ketika lelaki muda berkata babi tepat dihadapan wajahnya. Karena dinilai tak menaruh hormat, lelaki tua pun dongkol. Akibat perkataan tersebut, nasib lelaki muda bisa dikatakan nahas. Padahal sebelumnya, lelaki tua terus-terusan memancing emosi lelaki muda. Kemudian terjadilah pertarungan itu.

Sejak perkelahian hebat tersebut. Lelaki muda dinyatakan mati. Kabar ini berhembus kencang seperti angin dari mulut ke mulut bahwa lelaki muda mati dengan cara gantung diri. Bahkan setelah jasadnya diotopsi, lelaki muda dinyatakan mempunyai riwayat penyakit.

Sedang lelaki tua, berdasarkan hasil medis dinyatakan mempunyai penyakit yang berbeda dengan lelaki muda. Kendati demikian, lelaki tua tampaknya benar-benar masih memiliki dendam akibat lelaki muda yang belum mau mengakui atas tuduhannya. Meski nyatanya lelaki muda telah mati.

Menjelang beberapa hari dalam masa penyembuhan. Lelaki tua benar-benar menuju puncak nafsunya. Ia mencari-cari lelaki muda ke mana pun dan di mana pun. Namun, akibat dari penyakit yang dideritanya berujung kepada puncak emosinya yang meletup-letup.

Pada akhirnya, ketika ia melihat dirinya dicermin seolah-olah melihat sosok lelaki muda dihadapannya, dengan kekuatan nafsu dan emosinya yang berhasrat tinggi, lelaki tua segera menghancurkan cermin dan memusnahkan sosok itu dengan memotong urat nadi tangannya dengan pecahan-pecahan kaca. Kemudian mati seketika.

Ilhmbdhmn

2015

Tegak Lurus Dengan Langit

 

Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan.

Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati masih ia genggam. Dia lari ke bukit itu, diburu tanya: Apa selanjutnya? Setelah berkali-kali belati itu ia dorong ke jantung sang korban.

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang di langit. Sesudah itu, seperti 2×2 = 4, matahari bakal terbit. Belati ia lempar. Tangannya ia remas-remas. Dengan berbuat begitu, ia ingin pesiang tangannya dari gumpal-gumpal darah. Juga, ia ingin panaskan tangannya dan dengan itu tubuhnya. Dingin sebelum fajar menulang sumsum.

Dari desa di kaki bukit itu, mulai dia dengar suara-suara umat manusia yang bakal bangun. Suara dengkur di tepi lena. Suara mimpi-mimpi di babak akhirnya. Suara cumbu dan kasmaran keburu sempat. Suara di ambang hidup nyata sehari-hari.

Terpesona ia mendengarkan suara-suara tanpa definisi itu. Suara dari manusia, tanpa manusia terlihat dan berkata-kata. Suara tentang manusia. Suara yang ikut mencakup ikhwal tentang ia sendiri.

Ia telah membunuh seseorang. Siapa, apa alasannya, kurang jelas. Ia hanya tahu, dengan itu ia mungkin ingin balaskan peristiwa menghilangnya ayahnya dahulu semasa perang …. Satu hari, semasa perang, ayahnya tak pulang. Lewat seminggu, sebulan, setahun. Keluarganya memutuskan: ia hilang. Titik.

Mereka tak sadar, hilang adalah keadaan lebih parah lagi dari mati. Dari tewas. Duka oleh hilang tak boleh, tak pernah, tak pernah, penuh dan resmi. Esok lusa, si hilang bisa saja muncul kembali, segar bugar, tak kurang suatu apa. Bahkan, mungkin ia pulang bawa harta atau nama.

Tetapi, mereka sekeluarga kini sudah menunggu lebih 17 tahun. Ibunya dalam pada itu sudah meninggal pula. Pesannya, “Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Sampaikan juga, saya masih cin.”

Hampir muntah ia mendengar sentimen film India begitu dari mulut ibunya sendiri. Bah! Pikirnya, ibu kandungku sendiri sampai napas terakhirnya pecandu film India.

Ibunya dikubur. Sejak itulah mulai sejarah bencinya terhadap ayahnya, yang tak sempat ia kenal. Ia tiga tahun ketika ayahnya hilang. Ayahnya, yang dengan hilangnya itu telah menciptakan kekacauan metafisis di kalangan keluarganya.

Ia dan kedua abangnya—mereka bertiga sesaudara—selama ini tak dapat menyebut diri yatim. Ibunya tak dapat menyebut dirinya janda. Oleh sebab itu, plat nama ayahnya masih saja tak mereka turunkan dari depan rumah. Surat, koran, kuitansi, formulir penetapan pajak, semuanya masih saja mendukung nama ayahnya.

Lebih pahit lagi adalah perkumpulan dan partai ayahnya, masih saja terus melakukan tagihan-tagihan iuran tiap bulan. Apa yang dapat mereka lakukan, selain membayarnya saja? Menolak membayar berarti menyuruh mereka menjawab sejumlah tanya yang demi kesentosaan batin mereka sebaiknya jangan mereka jawab dahulu. Jangan sekarang ini! Nanti, bila semua sudah jadi sejarah— termasuk jasad mereka sendiri—pertanyaan itu boleh saja diajukan. Yang menjawabnya nanti toh sejarah juga.

Jadilah keluarga ini keluarga aneh. Mereka tiap hari bertarung melawan sejarah. Sebab, salah satu dari sekian kenyataan pahit dalam pergaulan antarmanusia adalah manusia yang satu pada dasarnya tak dapat membiarkan sendirian manusia lainnya. Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata krama, dan entah apa lagi, tiap manusia menganggap sebagai hak, bahkan kewajiban mereka untuk ikut-ikutan mencampuri urusan manusia lain. Celakalah makhluk yang mencoba-coba menentang kecenderungan zaman ini.

Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. “Telah sekian tahun kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?”

Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP.

Singkatnya: petugas sensus itu telah melenyapkan keseimbangan yang selama ini berhasil dipertahankan keluarga itu. Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh.

Seorang kenalan baik, duda setengah baya, amat kaya, sering datang main bridge dan halma, menyangka dapat berbuat baik terhadap keluarga itu dengan melamar si ibu. Kebaikannya begitu besarnya, hingga hal-hal seperti peri kemanusiaan, kesadaran sosial dan kebutuhan kelamin cukup disimpulkannya dalam hanya satu gagasan saja. Yakni: menghendaki istri dari kawan baiknya yang telah menghilang.

Si ibu melongo. Rohani dan jasmaninya kacau. Rohani: bagaimana perkawinan kembali seperti ini dapat ia benarkan secara hukum, adat, moral dan agama? Dia bukan janda. Di lemarinya tak ada ia simpan surat cerai maupun surat kematian suaminya. Jasmani: bagaimana kesempatan legal seperti kawin kembali ini dapat ia lewatkan begitu saja, sedangkan ia sendiri—betul tak muda benar lagi—masih sehat, cantik? Ia tak mau jadi hanya hormon bertumpuk saja ….

Suatu pagi, anak bungsu, tokoh kita, perlu sisir. Ia masuk bilik ibunya yang ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang suka sering datang main bridge dan halma itu. Mereka bertiga serempak berteriak, Tokoh kita: terperanjat sangat, tak percaya, sangat putus asa.

Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam gaya film India meninggalkan pesan padanya, “Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ….”

Tetapi di balik seluruh kekacauan ini, kerangka masalah tokoh kita ini setidaknya telah punya beberapa tonggak pasti. (1) Dia kini piatu: ini tak dapat disangsikan lagi. (2) Kedua abangnya tak bakal pernah dilihatnya seumur hidup lagi. (3) Tinggal hanya ia sebatang kara saja dari seluruh keluarganya di dunia ini. (4) PS: Ayahnya masih saja sewaktu-waktu bisa datang, pulang … mengetuk pintu, masuk, lalu membaca surat kabarnya, berbuat seolah tak ada kejadian apa-apa sama sekali selama ini.

Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya, kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab ya, oleh si gadis.

Pesta disiapkan segera. Tetapi, sehari sebelum hari perkawinan, orang tua gadis berkeras ingin kenal orang tua mempelai laki-laki.

Kematian ibunya cepat ia ceritakan. Tetapi, kerongkongan-nya tersumbat ketika ia akan mulai tentang ayahnya. Apa yang harus dan dapat ia katakan? Ia berpendirian, perkawinan tak baik dimulai dengan bohong besar. Oleh sebab itu, ia ceritakan saja kejadian sebenarnya.

Mempelai laki-laki tak tahu, apakah ia pernah punya ayah atau tidak! Begitulah kesimpulan orang tua gadis mengenai gagasan “Ayahku hilang” itu. Mungkin ia anak gamnpang. Cinta adalah satu, tapi nama, terutama asal-usul yang baik, jelas, adalah lain, demikian kata mereka, membatalkan perkawinan, memasang advertensi di koran esoknya, minta maaf sebesarnya kepada para undangan yang sempat datang.

Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, “Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ….”

Sampai dengan di sini, masih dapat ia mengikuti dan memahami jalan peristiwa. Ia banyak membaca, mendengar, bahkan melihat sendiri keluarga yang terus-menerus dihantam nasib jelek, akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi, tak tinggalkan bekas apa-apa, kecuali kenangan keluarga-keluarga lainnya tentang mereka sebagai “keluarga malang”. Apa boleh buat! Dewa-dewa di kayangan rupanya telah memperhitungkan ia masuk ke dalam keluarga seperti itu. Takdir tak dapat dibendung. Ia telah siapkan dirinya bagi perannya dalam babak terakhir tragedi keluarganya itu.Tetapi, apa yang membuat konsentrasinya tentang drama dan tragedi keluarganya tadi tunggang-langgang, adalah kedatangan seorang laki-laki tua pagi tadi ke rumahnya. Ia ini ketuk pintu, masuk, duduk di kursi besar, baca surat kabar dan berkata dengan suara datar, “… Aku ayahmu.”

 

Tokoh kita melongo. Tak dapat, tak ingin ia berkata apa. Apa, mana bukti ia ini benar ayahnya? Bila benar ia ayahnya, mengapa baru sekarang ia kembali? Ke mana, di mana ia selama ini? Peristiwa apa sembunyi di belakang hilangnya ia 17 tahun yang lalu? Adakah ia ikut perang, ditawan musuh dan baru dilepas sekarang? Seandainya ia tak ikut perang, pikiran fantastis mana yang telah menyergapnya untuk pergi menghilang begitu saja dari rumahnya 17 tahun lamanya? Adakah ia jadi pedagang pasar gelap? Penyelundup senjata gelap? Atau garong? Atau, pergi bertapa ke puncak salah satu gunung berapi?

Seribu satu tanya dapat ia ajukan. Seribu satu jawab dapat ia beri. Oleh sebab itulah ia putuskan diam saja. Lagipula, siapa tahu laki-laki tua ini bukan ayahnya sama sekali. Mungkin ia ini seorang penipu. Atau seorang sinting biasa saja yang ingin bikin gara-gara, lelucon cempulang.

Akan tetapi curiganya mulai timbul ketika laki-laki tua itu berdiri, pergi ke kamar yang selama ini dianggapnya sebagai kamar ayahnya, membuka lemari yang selama ini dianggapnya sebagai lemari pakaian ayahnya, mengambil satu stel pakaian dari dalamnya. Kemudian ia pergi mandi, di kamar mandi menyanyikan lagu-lagu kesukaan ibunya almarhumah. Selesai bersalin pakaian, ia duduk lagi di kursi besar tadi.

Tokoh kita diam saja. Orang tua itu tersenyum saja— senyum lembut orang tua—sedang matanya tajam memperhatikan tokoh kita terus.

Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya. Terlebih, ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu. Curiganya makin besar. Ulu hatinya nyeri. Darahnya berkali-kali tersirap. Bulu kuduknya tegak. Mata! Mata itu!

Ia sebenarnya telah siap dengan pembulatan satu kesimpulan dalam dirinya bahwa laki-laki tua yang duduk di hadapannya itu, adalah seorang penipu biasa saja—ketika pandangan mata mereka tiba-tiba saling bertemu. Laksana pola listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling bertolakan. Tokoh kita tertunduk! Ia kalah! Kedua bola matanya lari terbirit-birit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata itu!

Itulah tanda pengenal yang paling ia takuti. Sebab hanya kedua abangnya sajalah selama ini yang sanggup menentang pandangan matanya. Dan ini adalah, oleh karena mata kedua abangnya itu sama saja dengan matanya sendiri. Bulat, hitam pekat, putihnya bening, kedipnya penuh wibawa, sinar yang dipijarkannya penuh melankoli, sekaligus kekerasan, yang berbatasan dengan kekejaman.

Tak pernah ada orang lain yang sanggup menantang pandangan mata mereka. Bahkan, ibu mereka sendiri tak dapat. Adalah pandangan mata demikian, kata ibunya, yang justru membuat ia jatuh cinta pada ayahnya. Ya, mereka bertiga mewarisi mata ayahnya.

Dan kini, salah seorang ahli waris itu duduk berhadapan dengan sang pewaris….

“Ayah!”

Hanya itu. Untuk selanjutnya, ia merangkul orang tua itu. Ia benamkan kepalanya dalam pangkuannya. Ia menangis. Orang tua itu kaku saja. Tampak ia keras sekali berusaha memerangi perasaannya. Sudut-sudut mulutnya yang sudah mulai keriput itu, ia rentangkan. Bibirnya ia peras kuat-kuat menjadi satu garis tipis yang kelewat lurus. Tangannya ia genggamkan erat-erat pada tangan kursi. Ia takut, kalau tangannya itu pergi menjalar, mengelus rambut ikal bergelombang yang diempaskan ke pangkuannya itu ….

Masih saja mereka tak berkata-kata. Dalam pada itu, mereka sudah makan siang, tidur siang, mandi sore, bersaling pakaian, menghirup teh sore. Kini mereka kembali duduk di ruang tengah, berhadap-hadapan, tak berkata satu apa. Tokoh kita tunduk, sedang orang tua itu terus saja memandanginya.

Tiba-tiba saja tokoh kita memutuskan bagi dirinya sendiri, tak dapat ia lanjutkan hidupnya begini. Yakni: tunduk tepekur saja memperhatikan motif-motif permadani di ubin. Teror yang datang menyorot dari kedua bola mata orang tua itu, tak ingin ia tanggungkan lebih lama lagi.

Ia telah menanggungkan nasib dari ranting terakhir satu keluarga yang ditakdirkan bakal lenyap sama sekali dari muka bumi ini. Ia bahkan telah sedia menerima tingkahan terhadap kutuk itu dengan misalnya menerima orang tua itu misalnya mungkin ayahnya sendiri, mungkin pula tidak.

Ya, kesedihannya besar sekali. Sebab telah ia putuskan untuk tak mau membangun kerangka-kerangka persoalan yang pelik lagi bagi dirinya sendiri, yang toh tak akan banyak berhasil memberi penyelesaian apa-apa baginya. Ia letih main catur melawan dirinya sendiri. Untuk selan-jutnya ia telah pilih sebagai filsafat hidupnya: me-remis-kan dirinya dengan hidup, termasuk dengan dirinya sendiri.

Tetapi terkutuk untuk seumur hidupnya; tak bakal berani lagi ia menatap jauh-jauh ke kaki langit, tak berani melihat ke puncak-puncak gunung dan bintang-bintang di langit, hanya oleh karena ada seorang tua mempunyai sepasang mata yang sama dengan matanya sendiri, dan oleh sebab itu tak sanggup ia tantang—tidak! Ia tidak mau, tak sedia!

Secepat kilat ia temui pada motif-motif permadani di bawah telapak kakinya itu jawaban bagi seluruh persoalannya. Kalau benarlah orang tua itu ayahnya, maka adalah orang tua ini juga telah menciptakan seluruh tragedi keluarganya itu. Dengan menghilangnya abangnya membunuh petugas sensus itu. Ia pulalah sebenarnya yang telah membuat ibunya terdampar ke dalam pelukan laki-laki kenalan baik mereka yang suka datang main bridge dan halma itu, dan lempang mengantarnya ke kubur.

Terlebih lagi: kalau ia ini ayahnya, maka adalah ayahnya ini juga yang telah bikin lebih parah kekacauan dalam dirinya kini dengan justru pulangnya ia sekarang ini.

Dan seandainya orang tua ini bukan ayahnya, tetapi cuma seorang penipu atau sinting biasa saja, maka efek kedatangannya ini masih tetap sama saja: ia telah mengingatkan tokoh kita, anak bungsu dan ranting terakhir keluarga yang terkutuk bakal lenyap dari permukaan bumi ini, kepada nasib yang sedang menanti dirinya.

Bahwa dirinya sudah dapat ia anggap mulai sekarang sebagai satu pengertian yang sebenarnya tak apa-apa lagi, dan oleh sebab itu sewaktu-waktu dapat ditiadakan, baik oleh kekuatan dari luar, maupun oleh dirinya sendiri, sudah jelas baginya kini. Mengenai ini, ia tak ragu-ragu lagi dalam dirinya sebenarnya juga sudah lama tersedia satu gagasan itu—walaupun diakuinya, aktualitas itu membuatnya agak menggigil juga.

Yang harus segera diselesaikannya dalam benaknya kini adalah, tafsiran apa selanjutnya dapat ia beri kepada kedatangan orang tua itu sendiri dalam kerangka gagasannya itu. Kalau ia tak salah dalam penilaiannya, orang tua inilah sebenarnya penyebab dari seluruh duka ceritanya, lepas dari persoalan benar atau tak benar ia ayahnya yang sesungguhnya. Selanjutnya, kalau ia juga tak salah dalam penilaian berikutnya, kedatangan orang tua ini kini sebenarnya hanyalah mungkin mempunyai satu arti saja. Yaitu, sebagai motif yang dapat mempercepat pelaksanaan gagasannya tadi!

Setelah selesai motif-motif pada permadani di bawah telapak kakinya di ubin itu—lingkaran-lingkaran spiral merah, kuning, biru—diedari matanya semua, selesailah ia mengatasi gamang yang berkecamuk selama bertahun-tahun ini dalam dirinya, dan yang barusan saja beroleh klimaknya dalam menit-menit terakhir ini.

Kini ia dapat bertindak. Harus bertindak! Satu ketenangan kosmis menyelubungi dirinya. Tiap keping dari napasnya, tiap fragmen dari perasaannya, pikirannya, pengideraannya, mulai kini adalah bagian dari satu perhitungan yang sangat teliti.

Ia pergi ke dapur. Diambilnya sebilah belati. Dia kembali. Tenang ia tantang pandangan mata orang tua itu. Orang tua itu tersenyum. Kemudian, tenang sekali, ia tikamkan belati itu ke dalam dada orang tua itu. Berkali-kali.

Orang tua itu rebah. Darahnya menutupi lingkaran-lingkaran spiral, merah, kuning, biru di permadani. Lama tokoh kita tegak memandangi mata mayat terbelalak itu. Seluruh peralihan sinarnya, dari bening hingga redup seperti susu keruh itu, disaksikannya. Akhirnya pelupuk mata redup itu dikatup-kannya. Tertutup! Tertutup sudah danau keruh itu!

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti srigala hutan yang bingung, sebab danau tempat ia biasa minum, baru saja tertimbun tanah longsor. Ia menjalar sedahsyatnya. Seluruh isi hutan diam menggigil ketakutan. Kemudian ia lari.

Kenapa? Tak peduli. Pokoknya: lari. Kencang!

Pelan-pelan pada selimut langit terkuak warna putih abu-abu. Ke bumi memantul bayang mainan warna di langit ini. Bulan sabit miring ke tenggara. Angin daratan bertolak ke pantai. Kelelawar-kelelawar berpulangan ke pohonnya.

Sekali lagi ia remas-remas tangannya. Gumpal darah penghabisan ia jentikkan dari kuku kelingking kirinya. Ia tarik napas panjang.

Gagasannya kini telah selesai ia laksanakan. Ia puas. Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi.

Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. Senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit.

Iwan Simatupang

Penerbit Sinar Harapan, 1982

Lelaki 1/2 Serigala

Selama beberapa malam terakhir, dan seperti malam-malam biasanya, malam itu juga ia hampir mati. Bahkan hampir berkali-kali–setelah tragedi tempo hari. Sesaat lelaki setengah serigala akan menerkam dirinya, ia dapat bertindak.

Demikianlah, namanya: lelaki setengah serigala. Mengapa namanya demikan, ia tidak tahu pasti. Sebab, dahulu saat awal mengenalnya, lelaki tersebut sering menyalak sangat keras saat bulan purnama tiba. Dan kembali seperti manusia biasa saat purnama telah tertelan langit. Begitulah awal mula ia menamakannya.

Sering kali lelaki setengah serigala itu datang lagi padanya ketika hari menggantung pada gelap, kemudian menyalurkan kembali hasrat yang dipendamnya. Seolah jatuh dari langit, betapa terkejutnya ia jika lelaki setengah serigala datang secara tiba-tiba. Meski ia tahu bahwa hal itu sudah terbiasa bila malam telah ada, maka lelaki setengah serigala pun akan datang juga. Seperti seolah terbiasa pula, ia akan melayaninya.

Ia selalu terbelenggu jika lelaki setengah serigala itu datang menghampiri. Ia hanya bisa membisu, bahkan membisu sama sekali padahal ia masih mempunyai mulut yang normal. Mula-mula ia turuti kemauan lelaki setengah serigala itu. Jika tidak, matanya yang berbinar akan siap menerjangnya seperti serigala yang kehausan darah.

Meski purnama tak hadir, kadang nyalakannya melolong dengan amat sangat keras. Apalagi jika ia tidak menuruti kemauannya–suara itu semakin keras. Mula-mula lelaki setengah serigala itu hanya menatap wajahnya, namun sesekali hanya mengamatinya saja. Setelah itu ia seakan-akan meloncat dan menerkamnya dengan semampunya.

***

Pada suatu malam yang kering, tanpa diduga lelaki setengah serigala memberi tahu bahwa ia akan pergi jauh. Dan lelaki setengah serigala itu bertanya apakah ia bersedia untuk ikut dengannya. Ia hanya mengangguk tanda setuju.

Tanpa persiapan khusus. Pergilah mereka menuju suatu tempat.

“Entah sejak kapan aku tidak bepergian jauh seperti ini” kata lelaki setengah serigala. “Tapi kau telah terbiasa melanglang buana untuk mencari mangsa, bukan?” timpal seseorang di sampingnya.

Mendengar ucapan itu, lelaki setengah serigala geram bukan main. Dan berkata akan mengancamnya jika ia berkata seperti itu lagi. Lelaki setengah serigala menjelaskan, bahwa dirinya akan berbuat baik jika dia berbuat baik. Juga akan berkelakuan buruk jika dia berkelakuan serupa.

Di perjalanan, mungkin belum setengah jalan menuju tempat tujuan. Mereka berhenti sebentar. Kereta kuda yang membawanya sedikit kehausan.

“Sebagai perempuan, kau harus tunduk pada perintah.” Seru lelaki setengah serigala.

Perempuan itu hanya termenung. Sekali lagi, ia hanya termenung. Pikirnya, seorang perempuan hanyalah harus menuruti segala macam perintah laki-laki. Sejurus kemudian, ia teringat pada pesan orang tuanya di kampung jika seorang perempuan memanglah harus begitu.

Perjalanan dilanjutkan dan semakin jauh. Perempuan itu tak tahu kemana ia akan pergi. Ia sendiri tak ada niat untuk bertanya—ia sendiri tidak tahu pasti.

Angin mulai menyusup pada sanubari dan mulai merasuki pori-pori perempuan itu. Dia tak tahan oleh dingin. Kemudian ia rapatkan tubuhnya pada lelaki setengah serigala itu. Tanpa canggung, seolah sudah atau memang terbiasa, tubuh itu seakan menjadi hangat. Tak ada reaksi dari lelaki setengah serigala. Ia hanya fokus pada jalanan yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan dan burung-burung liar yang menggantung pada tangkainya.

Dengan agak lambat. Perjalanan terus semakin jauh. Namun angin bergerak dengan sangat cepat. Kereta kuda itu berjalan terus, terus, dan terus. Di sebuah perepatan sang kusir memberhentikan kereta kudanya, dan menoleh kebelakang kemudian berkata: Apakah tak keberatan jika ia memilih jalan pintas.

Lelaki setengah serigala dengan enteng tak merasa keberatan. Kemanapun arah jalannya, yang terpenting adalah sampai ke tempat tujuan. Sang kusir lalu memilih belok kiri, ke arah barat, dan melewati sebuah perkampungan kumuh.

Perkampungan kumuh itu didiami oleh suku setempat yang adat istiadatnya masih terasa kental. Di sana, lelaki setengah serigala melihat seseorang yang kepalanya besar, hampir-hampir sebesar buah semangka. Seseorang yang kepalanya besar itu berdiam diri dan memperhatikan dengan seksama kereta kuda yang melintas dengan mata kelerengnya.

Setelah melewati dirinya. Orang itu membelalak, kemudian berteriak tidak jelas.

Perempuan yang sedang berada di dalam kereta itu kaget dan hampir ketakutan, lalu bertanya apa yang terjadi di luar sana.

Orang asing itu semakin berteriak dengan suara aneh. Kusir ataupun lelaki setengah serigala hanya mengacuhkannya. Karena orang asing tahu bahwa di dalam kereta kuda tersebut terdapat seseorang. Maka ia berlari kencang, sekencang-kencangnya dan berusaha memberhentikan kereta kuda itu. Maka berhentilah kereta kuda tersebut, dan tak seorang pun berkata pada orang asing itu.

“Kau, lelaki setengah serigala. Turunlah” kata orang asing.

Lelaki setengah serigala terdiam. Sayup-sayup angin semakin kencang. Udara semakin dingin. Dan perempuan yang berada dekat dengan lelaki setengah serigala terlihat gugup.

“Keluarlah..” katanya sekali lagi.

Lelaki setengah serigala itu lantas berkata bahwa ia sedang sibuk dan bergegas. Ia berkata demikian tanpa melihat atau menengok keluar kereta kudanya.

Orang asing itu pun melanjutkan perkataannya, bahwa ia sedang membutuhkan pertolongan. Dengan panjang lebar orang asing itu menjelaskan bahwa perkampungannya akan dihancurkan. Satu di antara kalimat panjangnya,  perkampungannya akan dihancurkan untuk dibangun tempat singgah para kaum-kaum elite.

Sekali lagi, lelaki setengah serigala berkata bahwa ia sedang bergegas. Dan tidak dapat membantunya.

Lalu orang asing itu menggoyang-goyangkan kereta kudanya sampai-sampai kuda tersebut meringkik dengan amat sangat keras.

“Semua orang mempunyai kepentingannya, termasuk saya.” Jawab lelaki setengah serigala. Santai.

Kereta kuda perlahan mulai tenang. Orang asing yang kepalanya hampir sebesar buah semangka itu pun menangis ringkih. Kemudian perempuan yang di sampingnya berkata bahwa dirinya berengsek, tolol, dan tidak berprikemanusiaan. Lelaki setengah serigala hanya senyum kecut. Dan memerintahkan sang kusir melanjutkan perjalanan.

Ketika kereta kuda perlahan mulai melaju, orang asing yang berkepala sebesar buang semangka itu berkata lagi sambil berteriak tersedu-sedan:

“Jika perkampungan ini lenyap, maka kami akan ikut lenyap. Dan jika kami lenyap, maka tradisi nenek moyang kami pun ikut lenyap. Jika semua itu lenyap, maka dipastikan semuanya akan hancur.” Teriak orang asing berkepala besar itu, hingga suaranya tertelan angin dan melenyapkannya juga.

Kereta kuda tetap berjalan terus. Salah satu dari penghuni kereta kuda tersebut menengok ke belakang dan melihat bayangan yang semakin kecil sambil tersimpuh. Semakin cepat laju kereta kuda tersebut, semakin cepat pula bayangan itu hilang.

Perempuan yang berada dekat lelaki setengah serigala itu hanya diam membisu. Kemudian lelaki setengah serigala berkata mengapa ia hanya membisu sedangkan pemandangan di sekelilingnya begitu menawan.

Perempuan itu pun berkata sejak kecil ia hidup dengan ruang lingkup yang serba tradisi. Ia tahu betul jika tradisi itu hilang, maka hilang pula kepercayaan yang sejak dulu sudah dikenalnya.

Perempuan itu berkata dengan sungguh-sungguh. Dan lelaki setengah serigala pun tahu betul bahwa ia memang sungguh-sungguh. Meskipun begitu, lelaki setengah serigala memang seorang yang amat sangat keras kepala. Ia tidak merespon perkataan perempuan itu. Ia tetap memperhatikan jalanan yang dilewati kereta kudanya.

Malam pun semakin memuncak. Nyanyian burung hantu menyertai perjalanan mereka. Dan meskipun mereka berada di dalam kereta, angin tetap saja meniup dari segala arah. Bulan semakin lama, semakin terlihat di atas sana. Bentuknya bulat seperti bola pingpong. Cahayanya agak redup. Pucat. Jika malam itu purnama, dapat dipastikan bahwa perempuan itu khawatir terhadap lelaki setengah serigala.

Sebelum melewati tempat yang dituju lelaki setengah serigala. Akhirnya kereta kuda itu pun memasuki sebuah lembah. Penerangan kala itu hanya diterangi oleh cahaya bulan yang biasa saja, sebab gumpalan awan mulai menjarah dan sedikit menutupi sang bulan.

Karena lelaki setengah serigala sedikit mengantuk dan haus, kereta kuda itu pun berhenti tepat dipinggir sungai yang jernih airnya. Kemudian lelaki setengah serigala menyeka wajahnya dan meminum air sungai dengan tergesa-gesa. Sedang perempuan yang dibawanya hanya tertidur dengan senyap.

Ketika lelaki setengah serigala sedang minum. Samar-samar terdengar suara di dalam semak-semak yang berada hadapannya. Sebenarnya lelaki setengah serigala malas untuk mencari sumber suara itu. Namun karena ia merasa terganggu, dicarilah suara di balik semak-semak belukar tersebut. Tanpa disangka ia mendapati seseorang yang sedang membersihkan belati yang berlumuran darah. Orang tersebut hanya diam dan memandang dengan mulut menganga ketika lelaki setengah serigala itu melihatnya. Lelaki setengah serigala mendekat, angin semakin menderu.

“Saya baru saja membunuh seseorang. Dan itu nikmat sekali rasanya” kata orang tersebut sebelum ia perlahan pergi dengan tergesa-gesa sambil menyenggol, kemudian menjauh dari lelaki setengah serigala.

Lelaki setengah serigala kembali. Dan melihat kerumunan orang sambil memegang obor di sekitar kereta kudanya. Setelah melihat lelaki setengah serigala datang menghampiri, perempuan itu berkata bahwa orang-orang tersebut sedang mencari seorang pembunuh.

Menurut penuturannya, seorang anak sekitar delapan tahun telah dibunuh ketika sedang menyelamatkan ibunya. Rumahnya habis di rampok, dan setelahnya membunuh anak itu. Orang-orang pembawa obor itu pun pergi, tapi sebelumnya berkata jika melihat orang atau sesuatu yang mencurigakan—harap memberi tahu. Perempuan itu mengangguk, tapi tidak dengan lelaki setengah serigala yang cepat masuk dalam kereta kudanya.

Pencahayaan rembulan masih remang-remang. Di dalam kereta, perempuan itu berdoa dengan merapatkan kedua telapak tangannya juga diiringi umpatan. “Tuhanku, jika saya melihat pelaku yang membunuh anak tersebut, saya akan menghantamnya dengan sekuat tenaga. Namun, apabila pembunuh itu kedapatan melawan maka lelaki disampingku ini akan membalasnya. Amin.”

Lelaki setengah serigala pun menimpali ucapan perempuan itu, dan berusaha untuk menahan tawa kecilnya.

“Doa semacam apa itu?” kata dia sambil mengaku telah melihat seorang pembunuh anak itu ketika berada di sungai dan membiarkannya pergi. Lelaki setengah serigala seolah tidak mengalami kejadian apapun.

“Kau, lelaki setengah serigala,” kata perempuan itu, “kau memang bajingan, kau memang tidak punya perasaan.”

Lelaki setengah serigala kemudian berkata pada kusir agar mempercepat perjalanannya. Sambil menempelkan cerutu di mulutnya, lelaki setengah serigala ingin agar perempuan itu diam.

“Saya bisa saja menghabisi pembunuh tersebut di tempat, namun saya masih mempunyai kepentingan lain.” Jawab lelaki setengah serigala. Enteng.

Perjalanan pun semakin lama semakin jauh. Kereta kuda berjalan terus menyusuri jalanan yang setengah becek. Sang kusir sesekali menguap menahan kantuk meski perempuan di dalam keretanya menyerocos ke sana kemari. Rasa-rasanya perempuan tersebut memiliki seribu dendam kepada lelaki setengah serigala itu. Betapa banyak kesalahan dan perbuatan yang dilakukannya, dan perempuan itu mengumpat dalam hatinya tentang segala sumpah serapahnya terhadap lelaki setengah serigala.

Perasaan perempuan itu semakin lama semakin kacau. Perjalanan panjangnya membuat ia sedikit mengalami kejenuhan. Tatapan sang kusir tetap fokus pada jalanan malam. Sedangkan lelaki setengah serigala perlahan-lahan mulai lenyap dalam lamunan.

Dalam perenungannya, perempuan itu ingat perkataan ibunya jika menyimpan dendam adalah perbuatan yang tidak baik. Namun, dengan segala pertimbangannya rasa dendam akan tetap hidup di dalam hatinya kepada lelaki setengah serigala.

Di sisi lain, perempuan itu memiliki maksud buruk yang sangat dibenci oleh tuhannya yaitu membunuh. Menurutnya, membunuh lebih baik ketimbang membiarkan orang semacam lelaki setengah serigala terus hidup.

Di dalam relung pikirannya, ia bisa saja membunuh lelaki setengah serigala itu, kemudian membawa mayatnya kepada orang-orang yang mencari pelaku pembunuhan anak yang berumur delapan tahun. Kepada mereka, ia akan berkata bahwa lelaki setengah serigala ini pembunuhnya. Sementara untuk menutup mulut sang kusir, ia akan memberikan semua harta lelaki setengah serigala. Begitu semua tuntas, ia akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Demikianlah yang ada di pikirannya.

“Pendamlah keinginan burukmu perempuan sialan.” Kata lelaki setengah serigala, sembari membetulkan letak mantelnya.

Perempuan itu terperanjat. Bagaimana bisa lelaki setengah serigala mengetahui maksud buruk yang hendak dilakukannya. Ia tak habis pikir dan mulai mengurungkan niatnya.

“Kau pikir saya tidak mempunyai hati nurani? Kata lelaki setengah serigala kepada perempuan itu.

“Ya, tentu saja bahkan kau lebih buruk ketimbang hewan” jawabnya.

Ketika perbincangan mereka berdua baru saja di mulai, sang kusir memotongnya dan berkata bahwa perjalanan sebentar lagi akan sampai.

“Tinggal seperempat jam lagi perjalanan akan tiba” kata sang kusir.

Lelaki setengah serigala hanya menimpalinya dengan singkat. Kepada sang kusir, dia mempertanyakan apakah kuda yang membawanya tetap kuat untuk melanjutkan perjalanan pulang. Sang kusir menjawab tegas bahwa kudanya sangat kuat.

Lalu kepada perempuan yang disampingnya, lelaki setengah serigala menjawab jika ia memanglah seperti hewan. Menjadi hewan, kata dia, lebih arif ketimbang menjadi manusia yang munafik.

“Dan kau manusia munafik itu,” kata lelaki setengah serigala.

Perempuan itu tertegun di sampingnya.

“Jika demikian, mengapa kau rela tidak memberi pertolongan pada lelaki asing yang ditemui tadi di perkampungan?” Tanya perempuan itu.

“Sudah saya jelaskan pada lelaki asing tersebut, bahwa saya mempunyai urusan lain.”

“Bangsat.” Kata perempuan itu. “Kau mementingkan urusanmu sendiri.”

“Lalu, mengapa kau membiarkan pembunuh seorang anak delapan tahun itu pergi?”

“Saya tidak tahu bahwa ia membunuh seorang anak berumur delapan tahun.”

“Jahanam” kata perempuan itu lagi.

“Kau amoral!”

“Mungkin” jawab lelaki setengah serigala.

“Kau si kepala batu !”

“Memang betul.”

“Kau bajingan”

“Kau….” perkataan itu tertahan. Kemudian perempuan itu menatap lelaki setengah serigala. Dan berkata dengan tenang:

“Kelak kau akan mendapat petaka.”

***

Kereta kuda seketika berhenti di depan pintu gerbang desa yang saat itu sudah sepi sebab sudah terlalu malam.

Sang kusir memberi tahu bahwa ia tidak dapat meneruskan kereta kudanya, karena suara kereta kudanya khawatir mengganggu penghuni seluruh desa.

Lelaki setengah serigala mempersilakan perempuan itu untuk turun. Perempuan itu turun dengan terheran-heran. Meskipun perubahan telah berubah pesat, ia paham betul dihadapannya adalah desa tanah kelahirannya. Desa yang ia tinggalkan selama sepuluh tahun. Sebelum lelaki asing membawanya pada lelaki setengah serigala.

Ketika angin bertiup serta menyentuh perempuan itu, untuk beberapa saat mata perempuan itu menengadah ke atas langit. Dan menghembuskan napas yang begitu kencang, yang selama ini belum pernah ia rasakan kembali. Di atas sana, bulan masih tampak bulat dan pucat.

“Urusanku telah selesai.” Begitu kata lelaki setengah serigala. Kalem.

“Kau bisa kembali pada kehidupanmu, seperti dahulu kala” sambung lelaki setengah serigala.

Lelaki setengah serigala mengucapkan salam pada perempuan yang termenung heran kepadanya. Kemudian ia memerintahkan sang kusir untuk kembali pada perjalanan selanjutnya. Kereta kuda itu berbalik ke Timur, lalu berjalan perlahan. Seketika gumpalan awan hitam semakin pekat menutup cahaya rembulan, pertanda akan hujan.

Kereta kuda itu berjalan dengan lurus dan agak melaju cepat. Ketika bertemu sebuah pengkolan, sedikit demi sedikit bayangannya mulai redup.

Meski bebas, perempuan itu masih terdiam terpaku di pinggiran jalan. Sampai hujan pun mulai turun di kegelapan malam.

Ilhmbdhmn
2015

Pemuda Pemabuk

Lukisan Pablo Picasso
Lukisan Pablo Picasso

Saat itu cuaca sedang gelap karena mendung. Keadaan ini tentu bagi sebagian orang menjadi terasa mencekam. Tapi tidak bagi seorang pemuda yang sedang terjaga di bawah lindungan pohon mahoni. Kilat-kilat dengan cepat terlihat di cakrawala, gumpalan awan hitam seakan membentuk sebuah mala. Pemuda tersebut tetap berdiam diri dengan kepulan asap rokok yang dengan cepat hilang ditebas angin, cepat juga membuat kesehatannya semakin memburuk.

Hari itu begitu kaku. Tiga rokok kretek telah habis dihisapnya untuk mengusir kesendirian. Kompilasi antara asap rokok dan debu-debu jalanan adalah perpaduan yang pas bagi bobroknya paru-paru. Begitupun dengan sebotol arak abal-abal yang dibelinya di sebuah warung langganan dekat terminal.  Kata dia, racun nikotin lebih baik, dan alkohol membuatnya tersadar akan perilaku orang-orang waras kelas atas yang begitu memalukan.

Pemuda itu terus mengoceh. Padahal dirinya tak sedang mabuk seburuk demikian. Hanya pikiran yang setengah sadar itu, yang kadang-kadang membuatnya rehe. Tak terasa, beberapa batang rokok kretek murahannya akan habis. Untuk melawan rasa pusing yang disebabkan pengaruh alkohol murahan itu, pikirannya terarah pada sebuah pancuran yang tak jauh dari tempatnya.

Menjelang waktu yang memungkinkan untuk beranjak. Pemuda pemabuk yang berwajah pucat itu menyeka deras peluh yang mengalir di dahinya. Entah karena kesehatannya yang semakin memburuk itu membuat peluh pun meluncur dari dahi serta pelipisnya.

Setelah menyusuri jalanan setengah kosong. Pemuda tersebut berhenti di seberang pelataran tempat salah satu rumah ibadah kepercayaannya. Ia tertegun. Diseberangnya ada segerombolan kaum-kaum berjubah yang berkaki besar, dua kali lebih besar dari kakinya. Mereka keluar dari tempat tersebut dan berjalan menyelusuri pelataran hingga terus berjalan ke pinggiran kota.

Dengan gontai pelan-pelan pemuda pemabuk itu ikut menyusurinya di seberang jalan. Kemudian kedua mata pemuda pemabuk yang setengah sadar itu berpusat pada satu titik: kaum-kaum berjubah. Juga sebaliknya, mata kaum-kaum berjubah itu pun mulai mengawasinya dengan seksama. Dengan sinis. Sambil setengah memaki, sebab mulutnya berkomat-kamit tak jelas, seperti sedang menyerapahi.

Mereka saling berpandangan satu sama lain. Pemuda pemabuk yang setengah sadar itu mulai menawarkan senyumnya yang pucat. Namun, berbanding terbalik dengan kaum-kaum berjubah itu. Salah satu dari kaum berjubah bahkan meludah ketika melihat pemuda pemabuk tersebut. Kemudian para kaum berjubah itu pun hilang tertelan di sebuah pengkolan.

Pikiran pemuda pemabuk itu semakin kacau. Ditambah suasana hilir mudik kendaraan yang semrawut. Kendati demikian, pemuda pemabuk itu terus berusaha berjalan mengikuti kaum-kaum berjubah yang hilang tertelan pada sebuah pengkolan. Namun, karena tak kuasa menahan rasa pusingnya dia pun mulai lunglai dan terjatuh di atas trotoar.

Selang beberapa lama. Tiba-tiba pemuda pemabuk itu dihampiri oleh seorang tua yang lusuh. Seorang tua itu heran, mengapa ada orang yang bisa tidur nyenyak di atas trotoar. Karena kasihan, ia berpikir untuk memindahkan tubuh pemuda pemabuk tersebut ke suatu tempat .

Seorang tua itu terus menarik tubuh pemuda pemabuk dengan tangan keriputnya. Dengan harapan, pemuda pemabuk itu bangun dan pindah dengan sendirinya. Karena usianya yang sudah tua renta itu, membuatnya tak kuasa membopong pemuda pemabuk tersebut ke tempat yang dikehendakinya. Maka, hanya berjarak beberapa meter tersungkurlah kedua umat manusia itu ke tanah.

***

Matahari sudah mulai terbenam. Sementara kedua orang itu masih tergeletak di tanah. Debu-debu jalanan semakin lama semakin tidak terlihat karena malam. Suasana jalanan pun perlahan sepi. Hanya satu dari kedua umat itu yang terbangun, yaitu seorang tua renta. Meski demikian, ia tak bisa  meminta pertolongan. Orang-orang di sekitar berpikir bahwa kedua umat manusia itu adalah gelandangan sehingga cukup rasa iba-lah yang mereka berikan.

Dengan rasa kasihan seorang tua renta tersebut melepaskan jaketnya yang lusuh dan menempelkannya kepada pria di sampingnya. Padahal, cuaca saat itu terasa sangat dingin. Ketika semua sudah tercapai, seorang tua renta berdiri perlahan lalu terhuyung sekejap, kemudian karena angin menyentuhnya dan seolah mendesah perlahan lamat-lamat seorang tua renta terjatuh dan sekarat dalam keadaan sekejap dan secepat demikian.

Dengan setengah sadar, pemuda pemabuk mulai menerka-nerka apa yang terjadi. Ia sadar betul bahwa ternyata ia jatuh pingsan. Pikiran terhadap lelaki berjubah pun sudah dihiraukannya. Namun kini, pertanyaan muncul dibenaknya mengapa ada lelaki tua berada tepat di sampingnya?

Dalam keadaan setengah pening itu, pemuda pemabuk berusaha untuk sadar total. Di seberangnya terdapat bayangan dua laki-laki yang sedang menukarkan barang dan berjabat tangan. Kemudian membubarkan diri secara terpisah setelah mereka melihat pemuda pemabuk itu dengan gugup.

Dengan agak heran pemuda pemabuk memandang lama laki-laki tua lusuh yang ada di sampingnya. Ia berusaha menyadarkannya namun tak kunjung berhasil. Kemudian tanpa pikir panjang pemuda pemabuk tersebut menggotong dan membawanya ke sebuah klinik terdekat.

Di sebuah klinik orang miskin yang berada beberapa ratus meter di tempat pemuda pemabuk itu tersungkur, seorang tua renta diletakan pada kursi penderitaan. Dengan agak lambat seorang suster melayani dalam keadaan setengah mengantuk. Sesekali seorang suster itu menguap, dan menghembuskan bau napasnya sambil menggaruk tengkuknya.

Melihat tingkah laku suster yang ketus dan tampak tidak sigap tersebut. Pemuda pemabuk sedikit memaki dan menggertak, dengan bau alkohol yang masih menempel pada napasnya yang tentu saja tidak kalah baunya dengan napas sang suster. Sang suster terlihat agak kesal, dan balik memaki pemuda pemabuk tersebut sambil menyebut tolol pada pemuda pemabuk tersebut.

Setelah percekcokan yang agak panjang, seorang dokter jaga melihat sedikit keributan tersebut dari kejauhan. Kemudian mendekati dengan agak cepat. Seperti yang sudah terbiasa, dengan tergesa-gesa dokter itu pun membawa laki-laki tua yang duduk dalam kursi penderitaannya. Dan mengindahkan pemuda pemabuk dengan suster yang sedang cekcok itu.

Sang dokter melangkah sambil mendorong kursi penderitaan laki-laki tua hingga masuk koridor, yang tak beberapa lama kemudian disusul oleh pemuda pemabuk yang melihatnya dari kejauhan. Sementara sang suster masih saja berkoar-koar tanda tak terima dirinya dihina.

Sang dokter memberi tahu bahwa keadaan laki-laki tua yang dibawa pemuda pemabuk tersebut telah pergi ke pangkuan Tuhan. Kemudian pemuda pemabuk itu merespon dengan tidak jelas. Dengan sedikit bingung dan masygul, pemuda pemabuk tak tahu apa yang telah diperbuatnya sampai-sampai lelaki tua itu berada di sampingnya ketika ia pingsan di trotoar jalan.

Tak lama setelah pemuda pemabuk dan dokter itu berbincang, sang dokter meminta pasien yang telah mati itu untuk diurusi segala hal administrasinya. Mendengar semua perkataan dokter tersebut, pemuda pemabuk pun dongkol, lalu terpancing emosinya dan naiklah darahnya untuk menghantam wajah sang dokter.

Bermula pemuda pemabuk itu berpikir bahwa sang dokter mempunyai niat yang baik untuk menangani laki-laki tua yang setengah mati itu. Namun, ternyata perkiraan pemuda pemabuk itu salah. Pemuda pemabuk yakin bahwa laki-laki tua yang dibawanya masih dapat diselamatkan jika suster dan dokter itu cekatan. Tetapi sang dokter hanya mengacuhkannya dan seperti tidak mengkehendaki laki-laki tua itu untuk hidup, sebab dirinya tidak dapat memberi alasan yang jelas kepada pemuda pemabuk tersebut.

Setelah puas menghantam wajah sang dokter hingga terjuntai ke lantai. Pemuda pemabuk itu memasuki ruang laki-laki tua yang sudah tak berdaya. Wajah laki-laki tuayang pemuda pemabuk belum tahu bahwa laki-laki tua itu adalah seorang pengemis, begitu bercahaya. Pemuda pemabuk menggotong kemudian membawanya pada pintu keluar klinik orang miskin tersebut. Angin menyambutnya dengan dingin dan suara burung hantu terdengar samar-samar. Pemuda pemabuk melihat ke sekeliling, dan berjalan ke arah timur tepatnya ke sebuah pemakaman umum tanah miskin.

Di bawah terang rembulan, pemuda pemabuk menggali tanah gembur hingga kedalaman beberapa meter, sambil  terus menggali dengan alat seadanya yang ditemukan disekitaran tempat itu,  pemuda pemabuk sesekali bergumam tidak jelas. Hanya kata-kata miskin, uang, serakah, dan umpatan lainnya yang terdengar dari mulutnya—selebihnya tidak terdengar sama sekali.

Galian pun serasa sudah cukup dalam. Tubuh laki-laki tua tersebut telah masuk ke dalam tanah. Pemuda pemabuk tidak tahu apa kepercayaan yang dianut oleh laki-laki tua itu. Namun, ia tidak terlalu memikirkan hal semacam itu, sebab yang berasal dari tanah harus juga kembali ke tanah.

Setelah semua yang dilakukan pemuda pemabuk telah selesai. Pemuda pemabuk menancapkan nisan yang terbuat dari papan bekas yang ditulisnya: “Makam laki-laki tua tanpa nama”.

***

Beberapa hari telah berlalu, pemuda pemabuk tak pernah absen untuk merawat makan laki-laki tua tanpa nama yang dikuburnya. Seperti hari-hari biasanya, pemuda pemabuk tak pernah absen pula membeli arak seorang diri dan mondar-mandir hingga larut malam.

Suatu saat, setelah dirinya telah selesai membersihkan makam pengemis tua. Kemudian pemuda pemabuk beranjak pergi ke suatu tempat untuk mencari semacam makanan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Di sepanjang jalan, pemuda pemabuk teringat kembali tentang laki-laki tua renta yang dikuburnya hari-hari kemarin. Pemuda pemabuk berpikir keras apa yang terjadi padanya sehingga laki-laki tua renta tersebut berada tepat dipinggirnya dalam keadaan setengah telanjang, dan memastikan pakaian laki-laki tua itu telah berada dalam dirinya.

Beberapa menit kemudian, pemuda pemabuk mendapati sebuah kedai dua puluh empat jam. Setelah dirinya masuk, pemuda pemabuk beranjak pada lantai dua kedai tersebut. Kemudian ia duduk dan bersantai sambil menatap jendela yang mengarah pada langit hitam. Tak tampak setitik bintang pun yang terlihat dalam tirai hitam itu.

Sesaat setelah memandang jendela, pemuda pemabuk memalingkan wajahnya dan spontan hampir dibuat pingsan ketika kepala pelayan tanpa ba atau bu tiba-tiba saja nongol dihadapannya. Ia segera memesan makananyang namanya begitu asing dan tak dikenalinya. Beberapa lembar uang cukup untuk membeli makanan itu tanpa minuman. Setelah itu, dari kejauhan matanya tertuju pada kaum-kaum berjubah yang dilihatnya tempo hari!–tepatnya lima hari yang lalu.

Pemuda pemabuk yang sepenuhnya telah tersadar dari pengaruh alkohol terus memperhatikan kaum-kaum yang berjubah itu. Ia hapal betul wajah salah satu dari kaum berjubah tersebut—yang meludah ketika mereka saling bertatapan. Sesekali kedua telapak tangannya digosok-gosok, itulah tandanya jika ia sedang dibuat penasaran. Sesekali ia menopang dagu, itulah tandanya jika ia sedang berpikir. Aneh memang, tapi itulah pemuda pemabuk yang sesekali melakukan apa saja agar tak terlihat mencurigakan serta tak terlihat gugup.

Makanan pun telah dihidangkan oleh pelayan. Terlihat beberapa belalang bumbu goreng yang beraroma agak sedikit menyegak dalam hidungnya. Kini pemuda pemabuk tahu betul bahwa tidak semua makanan yang namanya aneh terlihat lebih enak, selera makanannya pun berkurang sebab belalang itu terlihat masih setengah sekarat.

Dengan agak sedikit terpaksa dan lapar, pemuda pemabuk melahap satu dan dua belalang goreng saja. Kaum-kaum berjubah itu tidak sadar bahwa mereka telah diperhatikan oleh seseorang. Dengan khidmat pula kaum-kaum berjubah itu melahap makanan yang jauh lebih mahal harganya, dan jauh lebih aneh pula namanya.

Salah satu di antara kaum berjubah itu mengatakan, jika rencana tersebut berhasil dilakukan betapa banyak keuntungan yang dapat diraih. Dan cas…cis…cus… salah seorang yang satunya lagi menimpali dengan suara jernih dan nada yang meyakinkan.

Beberapa puluh menit telah berlalu. Para kaum berjubah itu masih membincangkan soal rencana dan keberhasilan yang akan diraih. Sedang di meja lain, pemuda pemabuk hanya mengorek-ngorek giginya dengan tusuk gigi. Rencana dan keberhasilan yang terdengar oleh pemuda pemabuk tersebut tak dapat dimengerti olehnya. Lalu pemuda pemabuk mengangkat tangan kirinya dan memanggil pelan seorang pelayan yang terlihat sedang santai namun setengah mengantuk. Pelayan itu menghampiri dan menanyakan pesanan apa lagi yang akan dipesan oleh pemuda pemabuk tersebut.

Pemuda pemabuk tampaknya tak  ingin lagi memesan makanan atau minuman, sebab uang yang berada di saku celananya hanya cukup membeli makanan super aneh tadi. Pemuda pemabuk hanya bertanya kepada pelayan, siapa para kaum yang berjubah itu dan apakah mereka sering datang ke kedai ini.

Pelayan pun menggelengkan kepalanya, dan hanya mengatakan bahwa salah satu dari para kaum berjubah itu adalah pemilik kedai ini. Pelayan itu menyebut bahwa pemilik kedai ini adalah orang yang baik dan kaya raya. Orang itu memiliki dua istri dan sudah beberapa kali naik haji.

Kemudian ia menambahkan, bahwa ia tahu dari salah seorang pelayan lainnya—jika lelaki paruh baya yang memiliki kedai ini pernah memberi sebagian hartanya kepada pengemis yang sudah tua. Betapa dermawannya pemilik kedai ini.

Sementara itu, setelah pemuda pemabuk merasa cukup mengetahui salah seorang dari kaum berjubah itu. Suara anjing menyalak-nyalak dari kejauhan. Dan pelayan tadi dipanggil oleh tamu lain yang hendak memesan. Yaitu pemuda-pemuda gaul yang terbiasa menghabiskan sisa malamnya. Pemuda pemabuk pun mengucapkan terima kasih, lalu pelayan itu pergi ke sumber suara.

Pemuda pemabuk merogoh saku celananya, lalu mengambil satu batang rokok kretek yang tersisa dalam bungkusnya. Kemudian dinyalakan dan terus dihisapnya tanpa ampun. Seketika bunyi tangga berdetak di telinga pemuda pemabuk, dan naiklah dua orang yang pernah dilihatnya oleh pemuda pemabuk itu dan ikut bergabung bersama para kaum berjubah.

Pemuda pemabuk hapal betul dan tak akan pernah lupa akan wajah yang baru saja datang dan dilihatnya tersebut: yaitu seorang dokter dan seorang suster. Seorang dokter yang tidak berusaha menolong laki-laki tua yang dibawanya ketika di klinik, meskipun pemuda pemabuk tersebut paham betul bahwa takdir Tuhan berkendak lain. Dan seorang suster yang lambat dalam mengurusi pasien sehingga dirinya merasa benar-benar jengkel.

Percakapan pun terdengar dari meja yang jaraknya hanya puluhan meter dari meja pemuda pemabuk. Percakapan itu mengisyaratkan bahwa dokter dan suster itu sedang berselingkuh.

Kemudian dokter itu mulai berkata, dan mengatakan dengan hati-hati bahwa ia telah mendapat kabar baik. Para kaum berjubah itu lalu memasang dan menempelkan telinganya rapat-rapat kepada sang dokter tersebut. Di luar suara anjing masih menyalak-nyalak beberapa kali. Dan diseberang suara denting gereja hampir terdengar sangat nyaring.

Dokter itu berkata bahwa dirinya telah melihat bahwa salah satu temannya yang pernah tergabung dengan mereka kini telah mampus. Orang itu mampus lantaran menerima nasibnya yang begitu buruk. Dokter itu menambahkan, mungkin jika orang itu menerima tawaran dari dirinya dan yang lainnya—mungkin hidupnya tak seburuk demikian.

Dengan berbarengan para kaum berjubah itu tertawa dengan terkekeh-kekeh. Sesekali ada yang mengatakan: mampus juga kau tua bangka! Kemudian tertawa lagi. Dan tertawa lagi hingga salah satu dari mereka nampak menyeringai.

Salah seorang dari kaum berjubah yaitu sang pemilik kedai menanyakan bagaimana awal ceritanya sehingga sang dokter tahu bahwa orang tersebut telah mati. Pertanyaan itu terpotong oleh selingkuhannya, yaitu seorang suster yang menjawab bahwa orang itu mati seperti bangkai. Tidak sehelai pun kain yang pantas melekat pada dirinya. Nampaknya suster itu merasa sentimentil.

Wajah dokter tersebut sedikit agak membengkak dan lebam. Dan dokter tersebut mengatakan bahwa ia terbentur sesuatu saat sedang praktik. Sesekali wajah itu diseka selingkuhannya oleh kapas yang bercampur dengan cairan alkohol. Kemudian salah seorang dari kaum berjubah itu menggerutu bahwa dirinya tidak menyukai bau alkohol. Disingkirkanlah botol alkohol tersebut dari hadapannya.  Maka mereka semua hampir tertawa. Lalu lelaki paruh baya pemilik kedai mengatakan bahwa sesuatu yang memabukkan dapat membuat seseorang lupa diri. Mereka tertawa lagi.

Tampaknya hal dan perkataan semua itu telah terdengar oleh pemuda pemabuk yang sedari tadi memperhatikan mereka. Tiba-tiba pemuda pemabuk merasa ada sesuatu yang memanggil dirinya untuk menghampiri para kaum berjubah itu. Namun Pemuda pemabuk berusaha menahan diri.

Dokter pun menanyakan dan mendesak, kapan rencana itu akan dimulai. Sebab dirinya merasa sudah yakin tidak ada lagi orang yang menjadi penghalang untuk mencapai tujuan itu. Sesekali salah satu dari mereka terlihat berpikir dan berkomitmen untuk segera merealisasikan rencana tersebut. Dan perbincangan pun semakin panjang dan lebar.

Di sisi lain, pemuda pemabuk merasa tubuhnya tampak dingin. Wajahnya pun kembali pucat. Pikirannya terasa kalut. Namun dirinya sekali lagi masih mampu menahan diri. Kemudian segera memanggil lagi pelayan untuk meminta selembar kertas dan sebuah pulpen. Setelah semua itu ada di hadapannya, segera dirinya menulis dengan seksama.

Tepat pada pukul dua malam kaum-kaum berjubah itu pun membubarkan diri. Sebelumnya mereka semua berjabat tangan, tentu dengan perut yang kekenyangan. Kendati begitu, mereka tidak sadar bahwa mereka sedang diamati oleh seorang pemuda pemabuk.

***

Dalam waktu empat atau lima minggu setelah kejadian, ketika pemuda pemabuk melihat kaum berjubah itu di kedai. Tersiar kabar di salah satu media massa bahwa beberapa aset negara telah digelapkan, entah aset yang mana—sedangkan pihak yang disebut pihak berwenang sama sekali tidak mengetahui kasus ini. Para elite menganggap bahwa ini hanya sekedar isu, bahkan pengalihan isu. Orang-orang mengutuk keras agar kasus ini segera diusut. Namun karena satu dan lain hal, kasus ini jadi tidak jelas.

Butuh berbulan-berbulan bahkan hampir setahun untuk menyelesaikan kasus ini yang pada akhirnya satu pe rsatu dari pelaku dapat tertangkap, terkecuali seorang dokter dan suster yang bunuh diri bersama di sebuah hotel. Mereka adalah orang-orang yang dinilai penting oleh negara, namun ternilai buruk bagi masyarakat. Kekayaan mereka telah menumpuk, namun untuk sementara. Setelah itu, disita habis oleh negara.

Setelah kejadian yang sempat menggemparkan media massa tersebut. Ada seorang saksi yang dapat diberi keterangan perihal kejadian ini, yaitu seorang pelayan yang bekerja di kedai salah satu pelaku. Saksi tersebut mengatakan bahwa ia dititipi surat oleh seorang pemuda.

“Sebelum pemuda itu pergi dari kedai”, katanya, “Pemuda itu menulis dan meminta tolong pada saya untuk mengirimkan suratnya pada seorang kawan.” ujar saksi tersebut.

Kawannya adalah seorang wartawan sebuah media massa yang mengangkat kejadian ini. Isi surat tersebut sampai sekarang belum dapat diketahui. Namun telah memberi arti, bahwa dengan surat itu semua dapat tersingkap. Kemudian pelayan itu menambahkan, bahwa pemuda yang menitipkan suratnya hilang dengan tiba-tiba dan entah kemana.

 

Ilhmbdhmn
2015

Fenomena Akhir Zaman

lukisan Edvard Munch
Lukisan Edvard Munch: “The Scream” pada tahun 1893

Fragmen I: Dongeng

Ada anak bertanya kepada ibunya tentang sebuah kehidupan di masa lalu. Sang anak mencecar pertanyaan kepada ibunya dengan antusias: bagaimana cara Bumi berputar, siapa yang memberinya makan, apa makanan favoritnya, siapa saja temannya, dengan siapa dia menikah, berapa jumlah anaknya, hingga pada usia berapa dia mati.

Sang ibu tentu saja menggebu-gebu ingin menjawabnya. Kepada anaknya, dia meminta agar memasang kupingnya baik-baik.

Segera, sang ibu mendongengkan sebuah cerita di masa lalu. Begini kisahnya.

Fragmen II: Alkisah

Aku pikir, mereka sudah lelah. Lihatlah udara, sejuknya tak lagi terasa. Para kabut hitam sedang gembira, barangkali mereka sedang merayakan pesta: di kota maupun desa. Sebab, mereka menjelma, dan merasuki tubuh sang mamalia.

Sementara, Sihijau susah sekali menguning, Sikerbau disulap menjadi Simesin dan atap-atap pencakar langit itu semakin tinggi. Induk kebun tak lagi menjadi hiasan, mungkin hanya sebuah kiasan. Lihatlah cakrawala di atas sana, ia mulai keriput. Gumpalan awan tak lagi terasa empuk. Pori-porinya mekar, menghitam, bahkan terlihat kusam.

Tanah mengering kehausan. Jika segerombolan air menerjang dari langit, ia tak mau meresap pada tanah-tanah itu karena pohon-pohon sedang risau, sebab daunnya yang rimbun telah mengering dan juga akarnya tak melekat kuat.

Meski berjalan menurut keperluannya masing-masing, waktu tetaplah ancaman. Jika begitu terus, mereka tak akan lagi menari, seperti wanita setengah telanjang pada pesta tempo hari. Walau sekarang tak lagi sedang kemarau, ia sempat bercerita.

“Sebagian kecil dari koloni kami sudah mati, bahkan burung-burung sudah enggan singgah dan menitipkan sarangnya pada kami, mungkin mereka khawatir anak dan cucunya tak terlahir sehat, bahkan cacat.”

Musim yang usang, menelantarkan nurani dan pikiran yang gersang. Senja pun terlihat beda, ia sering memalingkan muka. Garis-garis horizontal yang melintang padanya, sedikit berkarat. Mungkin pengaruh iklim, atau memang gejala alam. Tapi, tetap saja, Sibrengsek yang duduk di kursi putar itu masih saja tertawa terkekeh-kekeh. Padahal, gumpalan es yang berada jauh di sana, sudah mulai mencair. Dan pundi-pundi sibrengsek itu menggunung. Mereka terus menggerus, hingga Sibumi terasa mual. Walau begitu, penghuni asli sana yaitu Siputih yang antik dan berbulu lebat halus itu tak pernah mengeluh. Pun dengan dinginnya, yang sudah mulai menghangat gegara monster globewrning. Sungguh, monster yang sangat mengerikan!!!

 ***

Aku kira, Sibumi berputar sangat lambat. Atau mungkin tak berputar sama sekali. Ia sudah renta, napasnya saja bau seperti muntahan kolera, rambutnya mulai beruban, kulitnya pun kendor. Seharusnya ia sudah tak lagi pantas mewadahi para penghuni mamalia itu. Ya, mamalia yang serabutan dan penuh karut-marut. Sibumi sedang sekarat; tolonggg, tolonggg… namun tak syak lagi, ia tetap diacuhkan bahkan pura-pura tak di dengar. Mereka masih saja mendengus, dan selalu saja berseru; Mari kita selamatkan blablabla, agar tidak blablabla, jagalah blablabla demi kelangsungan blablabla.

Wajar saja jika Sibumi mulai sekarat, walau ia tetap kuat. Tapi ya tetap saja, Sibumi sedang sekarat, laksana raksasa yang sudah melakukan maksiat sesat. Setelah berangsur memburuk, bisa saja bumi menjelma ibu tiri. Jika sedang kumat, laut pun merangkak pada daratan, semesta tak henti-hentinya menitikkan air mata, gunung dirundung batuk berdahak dan asap yang super pekat.

Lupakan sejenak risalah mereka, mari kita tengok replika surga. Sambil mengusap-ngusap dada. Lalu, Apa kabarnya ia, sudah lama sekali tak bersua. Semoga ia tak sedang dirundung duka.

Sejak beberapa tahun yang lalu saat baru mengenalnya, ia sangat bongsor dengan berjuta-juta hektare-nya. Namanya Sihijau. Rambutnya gondrong (memang ia terlihat subur saat itu) dan jika ia gondrong seperti itu, banyak yang jatuh cinta padanya. Sebab, saat bersamanya akan terasa hangat, nyaman, dan menenangkan. Walau ia terlihat menyeramkan. Tapi jujur sajadengan penampilan seperti itu (gondrong dan bongsor) jika ia diam, maka ia akan menjelma seperti alunan Chopin: hanyut dalam irama dan tenggelam dalam nada-nada.

Pernahkah kau merasa sendiri dalam sebuah keramaian? Atau kau memang seorang penyendiri? Mungkin di replika surga ini, kau dapat menghempaskan lelah-mu. Menyingkirkan sepi yang kau alami, dengan syair-syair Jalaluddin Rumi.  Sihijau yang gondrong ini menyimpan  keanekaragaman hayati, seperti Sicoklat yang kemerahmerahan, berbagai jenis Sisayap, dan bermacam-macam Siflora dan Sifauna yang unik dan antik lainnya.

Katanya replika surga ini adalah paru-paru dunia, sebab ia dapat menyelamatkan Sibumi. Sihijau dapat menyimpan air hujan yang kemudian diserahkan menuju temannya yaitu Sisungai lalu menjadi sumber kehidupan. Sihijau juga jago sekali menanggulangi musuh yang bernama Eroshit. Dengan wibawanya yang kalem Sihijau dapat mengatur iklim Sibumi. Sungguh peranan yang baik dan bijaksana.

Rasanya, yang terdengar kini, Sihijau mempunyai musuh bebuyutan. Ya, memang berita ini sudah lama berhembus, bahkan para aktivis telah menyerukan hal ini. Tapi, mungkin juga belum ada yang tahu siapa nama musuhnya. Setelah media elektronik bernama televishit mengumbar sana-sini, sejumput asa menyeruak jika Sihijau mulai lelah.

Musuh itu bernama“deforestashit”, ya, dialah  musuhnya. Makhluk apa lagi itu? Aku pikir bukan makhluk, namun sejenis kepingan neraka yang mungkin sudah banyak yang mengenal dirinya. Ia liar, ganas, brengsek, arogan, pengecut, bahkan tak tahu malu. Jika sudah begitu, Sihijau bagai kepingan surga yang terbelah menjadi replika neraka.

Pernah suatu saat, sekawanan kepingan neraka lainnya membuat Sihijau terlahap Sijagomerah. Ia mulai rapuh. Dan konon, katanya, di balik peristiwa ini ada sejumlah kepentingan Sitangantangan brengsek. Siapa pula ia? Ah, hiraukan dia. Dan kini replika surga itu tak lagi bertaring. Rambutnya agak gundul. Dan badannya mulai kerempeng. Para aktivis gencar menanam benih, untuk kelangsungan hidup Sihijau (walau sebenarnya untuk kepentingan Sibrengsekbrengsek itu juga) dan semoga puluhan tahun selanjutnya bayi kecil itu lahir dan siap melanjutkan generasi induknya.

Fragmen III: Risalah

Aku rasa,  inilah dunia yang fana. Tuhan pun ditanya malaikatnya.

“Yang Maha dari segala Maha, yang kuasa dari segala kuasa, saya hendak bertanya, sampai kapan kau membiarkan mereka? Yang saling mencabik sesama, laksana laparnya serigala,” katanya.

Tak ada jawaban yang pasti dari sang Tuhan.

Malaikat-pun terdiam.

Di tempat berbeda, tepatnya di laut terdalam. Sesosok bernama Siiblis tertawa. Tangannya mengepal.

“Kita menyesatkan mereka, tanpa berbuat apa-apa,” katanya.

“Lantas, apa yang hendak kita lakukan? Mereka yang menyesatkan sesama umatnya, yang sesungguhnya itu pekerjaan kita,” ujar seorang kurir Siiblis pada Tuannya.

Daaaaghhhh!!! Kepalan tangan Siiblis menggebrak meja pualam.

“Ha ha ha ha! Dasar bodoh, itu pertanda baik untuk kita. Mereka menggantikan peran dan alih fungsi pekerjaan kita. Barangkali mereka sadar, bahwa mereka diciptakan hanya untuk menikam sesama. dan bahwasanya, pekerjaan mereka adalah mulia bagiku. Dengan begitu, kau bisa ambil cuti untuk pekerjaan-mu,” kata Siiblis.

Sang kurir tersenyum, sebab ia mendapat cuti. Biasanya, sang kurir selalu lembur. Sekarang ia sedikit mengganggur.

Fragmen IV: Harapan

Aku harap, semua dapat berjalan sebagaimana mestinya. Cakrawala memberikan ronanya, senja tak lagi berkarat, Sibumi takkan cepat sekarat. Di darat, Sihijau itu akan cepat berangsur pulih dari sakitnya, pembantaian terhadap Sicoklatkemerahmerahan pun segera berakhir, juga bagi Sibelangkuninghitam, Sibelalai, Siberculasatu dan yang lainnya. Berhentilah membantai mereka untuk kepentingannya, juga yang memelihara mereka untuk mainannya.

Sanggunung tertidur perlahan walau kadang-kadang mengeluarkan batuknya (tapi itu baik bagi kelangsungan sekitarnya), biarkan Sipohon menjulang tinggi menebar keasrian. Dan tolong, bagi para Sibakalcaloncalon itu janganlah memaku Sipohon untuk memasang  wajah kampanyenya bagi kepentingan politiknya.

Di laut, kononnya Simonster unik yang masih tersisa di dunia yaitu Sipenyu, sedang risau karna telurnya sering dicuri oleh Sibrengsek. Begitu juga sampah-sampah yang sembarangan.  Juga sang Dewa laut yang bernama Sihiyu yang sedang terancam populasinya karena diincar siripnya untuk dikonsumsi Sibrengsek.

Tapi tenang, bernapaslah selagi bisa dan eluslah dada sejenak untuk menunjukkan keprihatinan.  Tapi tidak dengan Siberuang, ia tidak bisa tenang. Sebab habitatnya dibagian utara bumi, mulai terganggu oleh perlakuan Sibrengsek terhadapnya. Pun dengan es yang mulai mencair karena pemanasan monster globewrning.

Fragmen V: Apatah

Sungguh ironis. Pantas saja, jika Siiblis mencutikan semua kurirnya dari pekerjaannya. Dan Tuhan tetap saja diam. Atau ia sedang merencanakan sesuatu. Siiblis menggerutu, jika hal ini terus menerus berlangsung, lantas apa yang akan ia kerjakan? Kini Sibrengsekbrengsek itu menjelma bagai Siiblis. Dan Tuhan masih saja terdiam di balik rencananyadi fenomena akhir zaman.

Ilhmbdhmn

2013

“Sebuah keprihatinan yang mendalam.”