Tegak Lurus Dengan Langit

 

Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan.

Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati masih ia genggam. Dia lari ke bukit itu, diburu tanya: Apa selanjutnya? Setelah berkali-kali belati itu ia dorong ke jantung sang korban.

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang di langit. Sesudah itu, seperti 2×2 = 4, matahari bakal terbit. Belati ia lempar. Tangannya ia remas-remas. Dengan berbuat begitu, ia ingin pesiang tangannya dari gumpal-gumpal darah. Juga, ia ingin panaskan tangannya dan dengan itu tubuhnya. Dingin sebelum fajar menulang sumsum.

Dari desa di kaki bukit itu, mulai dia dengar suara-suara umat manusia yang bakal bangun. Suara dengkur di tepi lena. Suara mimpi-mimpi di babak akhirnya. Suara cumbu dan kasmaran keburu sempat. Suara di ambang hidup nyata sehari-hari.

Terpesona ia mendengarkan suara-suara tanpa definisi itu. Suara dari manusia, tanpa manusia terlihat dan berkata-kata. Suara tentang manusia. Suara yang ikut mencakup ikhwal tentang ia sendiri.

Ia telah membunuh seseorang. Siapa, apa alasannya, kurang jelas. Ia hanya tahu, dengan itu ia mungkin ingin balaskan peristiwa menghilangnya ayahnya dahulu semasa perang …. Satu hari, semasa perang, ayahnya tak pulang. Lewat seminggu, sebulan, setahun. Keluarganya memutuskan: ia hilang. Titik.

Mereka tak sadar, hilang adalah keadaan lebih parah lagi dari mati. Dari tewas. Duka oleh hilang tak boleh, tak pernah, tak pernah, penuh dan resmi. Esok lusa, si hilang bisa saja muncul kembali, segar bugar, tak kurang suatu apa. Bahkan, mungkin ia pulang bawa harta atau nama.

Tetapi, mereka sekeluarga kini sudah menunggu lebih 17 tahun. Ibunya dalam pada itu sudah meninggal pula. Pesannya, “Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Sampaikan juga, saya masih cin.”

Hampir muntah ia mendengar sentimen film India begitu dari mulut ibunya sendiri. Bah! Pikirnya, ibu kandungku sendiri sampai napas terakhirnya pecandu film India.

Ibunya dikubur. Sejak itulah mulai sejarah bencinya terhadap ayahnya, yang tak sempat ia kenal. Ia tiga tahun ketika ayahnya hilang. Ayahnya, yang dengan hilangnya itu telah menciptakan kekacauan metafisis di kalangan keluarganya.

Ia dan kedua abangnya—mereka bertiga sesaudara—selama ini tak dapat menyebut diri yatim. Ibunya tak dapat menyebut dirinya janda. Oleh sebab itu, plat nama ayahnya masih saja tak mereka turunkan dari depan rumah. Surat, koran, kuitansi, formulir penetapan pajak, semuanya masih saja mendukung nama ayahnya.

Lebih pahit lagi adalah perkumpulan dan partai ayahnya, masih saja terus melakukan tagihan-tagihan iuran tiap bulan. Apa yang dapat mereka lakukan, selain membayarnya saja? Menolak membayar berarti menyuruh mereka menjawab sejumlah tanya yang demi kesentosaan batin mereka sebaiknya jangan mereka jawab dahulu. Jangan sekarang ini! Nanti, bila semua sudah jadi sejarah— termasuk jasad mereka sendiri—pertanyaan itu boleh saja diajukan. Yang menjawabnya nanti toh sejarah juga.

Jadilah keluarga ini keluarga aneh. Mereka tiap hari bertarung melawan sejarah. Sebab, salah satu dari sekian kenyataan pahit dalam pergaulan antarmanusia adalah manusia yang satu pada dasarnya tak dapat membiarkan sendirian manusia lainnya. Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata krama, dan entah apa lagi, tiap manusia menganggap sebagai hak, bahkan kewajiban mereka untuk ikut-ikutan mencampuri urusan manusia lain. Celakalah makhluk yang mencoba-coba menentang kecenderungan zaman ini.

Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. “Telah sekian tahun kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?”

Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP.

Singkatnya: petugas sensus itu telah melenyapkan keseimbangan yang selama ini berhasil dipertahankan keluarga itu. Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh.

Seorang kenalan baik, duda setengah baya, amat kaya, sering datang main bridge dan halma, menyangka dapat berbuat baik terhadap keluarga itu dengan melamar si ibu. Kebaikannya begitu besarnya, hingga hal-hal seperti peri kemanusiaan, kesadaran sosial dan kebutuhan kelamin cukup disimpulkannya dalam hanya satu gagasan saja. Yakni: menghendaki istri dari kawan baiknya yang telah menghilang.

Si ibu melongo. Rohani dan jasmaninya kacau. Rohani: bagaimana perkawinan kembali seperti ini dapat ia benarkan secara hukum, adat, moral dan agama? Dia bukan janda. Di lemarinya tak ada ia simpan surat cerai maupun surat kematian suaminya. Jasmani: bagaimana kesempatan legal seperti kawin kembali ini dapat ia lewatkan begitu saja, sedangkan ia sendiri—betul tak muda benar lagi—masih sehat, cantik? Ia tak mau jadi hanya hormon bertumpuk saja ….

Suatu pagi, anak bungsu, tokoh kita, perlu sisir. Ia masuk bilik ibunya yang ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang suka sering datang main bridge dan halma itu. Mereka bertiga serempak berteriak, Tokoh kita: terperanjat sangat, tak percaya, sangat putus asa.

Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam gaya film India meninggalkan pesan padanya, “Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ….”

Tetapi di balik seluruh kekacauan ini, kerangka masalah tokoh kita ini setidaknya telah punya beberapa tonggak pasti. (1) Dia kini piatu: ini tak dapat disangsikan lagi. (2) Kedua abangnya tak bakal pernah dilihatnya seumur hidup lagi. (3) Tinggal hanya ia sebatang kara saja dari seluruh keluarganya di dunia ini. (4) PS: Ayahnya masih saja sewaktu-waktu bisa datang, pulang … mengetuk pintu, masuk, lalu membaca surat kabarnya, berbuat seolah tak ada kejadian apa-apa sama sekali selama ini.

Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya, kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab ya, oleh si gadis.

Pesta disiapkan segera. Tetapi, sehari sebelum hari perkawinan, orang tua gadis berkeras ingin kenal orang tua mempelai laki-laki.

Kematian ibunya cepat ia ceritakan. Tetapi, kerongkongan-nya tersumbat ketika ia akan mulai tentang ayahnya. Apa yang harus dan dapat ia katakan? Ia berpendirian, perkawinan tak baik dimulai dengan bohong besar. Oleh sebab itu, ia ceritakan saja kejadian sebenarnya.

Mempelai laki-laki tak tahu, apakah ia pernah punya ayah atau tidak! Begitulah kesimpulan orang tua gadis mengenai gagasan “Ayahku hilang” itu. Mungkin ia anak gamnpang. Cinta adalah satu, tapi nama, terutama asal-usul yang baik, jelas, adalah lain, demikian kata mereka, membatalkan perkawinan, memasang advertensi di koran esoknya, minta maaf sebesarnya kepada para undangan yang sempat datang.

Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, “Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ….”

Sampai dengan di sini, masih dapat ia mengikuti dan memahami jalan peristiwa. Ia banyak membaca, mendengar, bahkan melihat sendiri keluarga yang terus-menerus dihantam nasib jelek, akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi, tak tinggalkan bekas apa-apa, kecuali kenangan keluarga-keluarga lainnya tentang mereka sebagai “keluarga malang”. Apa boleh buat! Dewa-dewa di kayangan rupanya telah memperhitungkan ia masuk ke dalam keluarga seperti itu. Takdir tak dapat dibendung. Ia telah siapkan dirinya bagi perannya dalam babak terakhir tragedi keluarganya itu.Tetapi, apa yang membuat konsentrasinya tentang drama dan tragedi keluarganya tadi tunggang-langgang, adalah kedatangan seorang laki-laki tua pagi tadi ke rumahnya. Ia ini ketuk pintu, masuk, duduk di kursi besar, baca surat kabar dan berkata dengan suara datar, “… Aku ayahmu.”

 

Tokoh kita melongo. Tak dapat, tak ingin ia berkata apa. Apa, mana bukti ia ini benar ayahnya? Bila benar ia ayahnya, mengapa baru sekarang ia kembali? Ke mana, di mana ia selama ini? Peristiwa apa sembunyi di belakang hilangnya ia 17 tahun yang lalu? Adakah ia ikut perang, ditawan musuh dan baru dilepas sekarang? Seandainya ia tak ikut perang, pikiran fantastis mana yang telah menyergapnya untuk pergi menghilang begitu saja dari rumahnya 17 tahun lamanya? Adakah ia jadi pedagang pasar gelap? Penyelundup senjata gelap? Atau garong? Atau, pergi bertapa ke puncak salah satu gunung berapi?

Seribu satu tanya dapat ia ajukan. Seribu satu jawab dapat ia beri. Oleh sebab itulah ia putuskan diam saja. Lagipula, siapa tahu laki-laki tua ini bukan ayahnya sama sekali. Mungkin ia ini seorang penipu. Atau seorang sinting biasa saja yang ingin bikin gara-gara, lelucon cempulang.

Akan tetapi curiganya mulai timbul ketika laki-laki tua itu berdiri, pergi ke kamar yang selama ini dianggapnya sebagai kamar ayahnya, membuka lemari yang selama ini dianggapnya sebagai lemari pakaian ayahnya, mengambil satu stel pakaian dari dalamnya. Kemudian ia pergi mandi, di kamar mandi menyanyikan lagu-lagu kesukaan ibunya almarhumah. Selesai bersalin pakaian, ia duduk lagi di kursi besar tadi.

Tokoh kita diam saja. Orang tua itu tersenyum saja— senyum lembut orang tua—sedang matanya tajam memperhatikan tokoh kita terus.

Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya. Terlebih, ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu. Curiganya makin besar. Ulu hatinya nyeri. Darahnya berkali-kali tersirap. Bulu kuduknya tegak. Mata! Mata itu!

Ia sebenarnya telah siap dengan pembulatan satu kesimpulan dalam dirinya bahwa laki-laki tua yang duduk di hadapannya itu, adalah seorang penipu biasa saja—ketika pandangan mata mereka tiba-tiba saling bertemu. Laksana pola listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling bertolakan. Tokoh kita tertunduk! Ia kalah! Kedua bola matanya lari terbirit-birit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata itu!

Itulah tanda pengenal yang paling ia takuti. Sebab hanya kedua abangnya sajalah selama ini yang sanggup menentang pandangan matanya. Dan ini adalah, oleh karena mata kedua abangnya itu sama saja dengan matanya sendiri. Bulat, hitam pekat, putihnya bening, kedipnya penuh wibawa, sinar yang dipijarkannya penuh melankoli, sekaligus kekerasan, yang berbatasan dengan kekejaman.

Tak pernah ada orang lain yang sanggup menantang pandangan mata mereka. Bahkan, ibu mereka sendiri tak dapat. Adalah pandangan mata demikian, kata ibunya, yang justru membuat ia jatuh cinta pada ayahnya. Ya, mereka bertiga mewarisi mata ayahnya.

Dan kini, salah seorang ahli waris itu duduk berhadapan dengan sang pewaris….

“Ayah!”

Hanya itu. Untuk selanjutnya, ia merangkul orang tua itu. Ia benamkan kepalanya dalam pangkuannya. Ia menangis. Orang tua itu kaku saja. Tampak ia keras sekali berusaha memerangi perasaannya. Sudut-sudut mulutnya yang sudah mulai keriput itu, ia rentangkan. Bibirnya ia peras kuat-kuat menjadi satu garis tipis yang kelewat lurus. Tangannya ia genggamkan erat-erat pada tangan kursi. Ia takut, kalau tangannya itu pergi menjalar, mengelus rambut ikal bergelombang yang diempaskan ke pangkuannya itu ….

Masih saja mereka tak berkata-kata. Dalam pada itu, mereka sudah makan siang, tidur siang, mandi sore, bersaling pakaian, menghirup teh sore. Kini mereka kembali duduk di ruang tengah, berhadap-hadapan, tak berkata satu apa. Tokoh kita tunduk, sedang orang tua itu terus saja memandanginya.

Tiba-tiba saja tokoh kita memutuskan bagi dirinya sendiri, tak dapat ia lanjutkan hidupnya begini. Yakni: tunduk tepekur saja memperhatikan motif-motif permadani di ubin. Teror yang datang menyorot dari kedua bola mata orang tua itu, tak ingin ia tanggungkan lebih lama lagi.

Ia telah menanggungkan nasib dari ranting terakhir satu keluarga yang ditakdirkan bakal lenyap sama sekali dari muka bumi ini. Ia bahkan telah sedia menerima tingkahan terhadap kutuk itu dengan misalnya menerima orang tua itu misalnya mungkin ayahnya sendiri, mungkin pula tidak.

Ya, kesedihannya besar sekali. Sebab telah ia putuskan untuk tak mau membangun kerangka-kerangka persoalan yang pelik lagi bagi dirinya sendiri, yang toh tak akan banyak berhasil memberi penyelesaian apa-apa baginya. Ia letih main catur melawan dirinya sendiri. Untuk selan-jutnya ia telah pilih sebagai filsafat hidupnya: me-remis-kan dirinya dengan hidup, termasuk dengan dirinya sendiri.

Tetapi terkutuk untuk seumur hidupnya; tak bakal berani lagi ia menatap jauh-jauh ke kaki langit, tak berani melihat ke puncak-puncak gunung dan bintang-bintang di langit, hanya oleh karena ada seorang tua mempunyai sepasang mata yang sama dengan matanya sendiri, dan oleh sebab itu tak sanggup ia tantang—tidak! Ia tidak mau, tak sedia!

Secepat kilat ia temui pada motif-motif permadani di bawah telapak kakinya itu jawaban bagi seluruh persoalannya. Kalau benarlah orang tua itu ayahnya, maka adalah orang tua ini juga telah menciptakan seluruh tragedi keluarganya itu. Dengan menghilangnya abangnya membunuh petugas sensus itu. Ia pulalah sebenarnya yang telah membuat ibunya terdampar ke dalam pelukan laki-laki kenalan baik mereka yang suka datang main bridge dan halma itu, dan lempang mengantarnya ke kubur.

Terlebih lagi: kalau ia ini ayahnya, maka adalah ayahnya ini juga yang telah bikin lebih parah kekacauan dalam dirinya kini dengan justru pulangnya ia sekarang ini.

Dan seandainya orang tua ini bukan ayahnya, tetapi cuma seorang penipu atau sinting biasa saja, maka efek kedatangannya ini masih tetap sama saja: ia telah mengingatkan tokoh kita, anak bungsu dan ranting terakhir keluarga yang terkutuk bakal lenyap dari permukaan bumi ini, kepada nasib yang sedang menanti dirinya.

Bahwa dirinya sudah dapat ia anggap mulai sekarang sebagai satu pengertian yang sebenarnya tak apa-apa lagi, dan oleh sebab itu sewaktu-waktu dapat ditiadakan, baik oleh kekuatan dari luar, maupun oleh dirinya sendiri, sudah jelas baginya kini. Mengenai ini, ia tak ragu-ragu lagi dalam dirinya sebenarnya juga sudah lama tersedia satu gagasan itu—walaupun diakuinya, aktualitas itu membuatnya agak menggigil juga.

Yang harus segera diselesaikannya dalam benaknya kini adalah, tafsiran apa selanjutnya dapat ia beri kepada kedatangan orang tua itu sendiri dalam kerangka gagasannya itu. Kalau ia tak salah dalam penilaiannya, orang tua inilah sebenarnya penyebab dari seluruh duka ceritanya, lepas dari persoalan benar atau tak benar ia ayahnya yang sesungguhnya. Selanjutnya, kalau ia juga tak salah dalam penilaian berikutnya, kedatangan orang tua ini kini sebenarnya hanyalah mungkin mempunyai satu arti saja. Yaitu, sebagai motif yang dapat mempercepat pelaksanaan gagasannya tadi!

Setelah selesai motif-motif pada permadani di bawah telapak kakinya di ubin itu—lingkaran-lingkaran spiral merah, kuning, biru—diedari matanya semua, selesailah ia mengatasi gamang yang berkecamuk selama bertahun-tahun ini dalam dirinya, dan yang barusan saja beroleh klimaknya dalam menit-menit terakhir ini.

Kini ia dapat bertindak. Harus bertindak! Satu ketenangan kosmis menyelubungi dirinya. Tiap keping dari napasnya, tiap fragmen dari perasaannya, pikirannya, pengideraannya, mulai kini adalah bagian dari satu perhitungan yang sangat teliti.

Ia pergi ke dapur. Diambilnya sebilah belati. Dia kembali. Tenang ia tantang pandangan mata orang tua itu. Orang tua itu tersenyum. Kemudian, tenang sekali, ia tikamkan belati itu ke dalam dada orang tua itu. Berkali-kali.

Orang tua itu rebah. Darahnya menutupi lingkaran-lingkaran spiral, merah, kuning, biru di permadani. Lama tokoh kita tegak memandangi mata mayat terbelalak itu. Seluruh peralihan sinarnya, dari bening hingga redup seperti susu keruh itu, disaksikannya. Akhirnya pelupuk mata redup itu dikatup-kannya. Tertutup! Tertutup sudah danau keruh itu!

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti srigala hutan yang bingung, sebab danau tempat ia biasa minum, baru saja tertimbun tanah longsor. Ia menjalar sedahsyatnya. Seluruh isi hutan diam menggigil ketakutan. Kemudian ia lari.

Kenapa? Tak peduli. Pokoknya: lari. Kencang!

Pelan-pelan pada selimut langit terkuak warna putih abu-abu. Ke bumi memantul bayang mainan warna di langit ini. Bulan sabit miring ke tenggara. Angin daratan bertolak ke pantai. Kelelawar-kelelawar berpulangan ke pohonnya.

Sekali lagi ia remas-remas tangannya. Gumpal darah penghabisan ia jentikkan dari kuku kelingking kirinya. Ia tarik napas panjang.

Gagasannya kini telah selesai ia laksanakan. Ia puas. Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi.

Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. Senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit.

Iwan Simatupang

Penerbit Sinar Harapan, 1982

Tarian Sufi

Secepat kilat di balik jubah itu berputar
Pada tubuh-tubuh suci yang bergetar
Hati religinya berdebar
Pada jiwa yang tak pernah ingkar.

Dalam makrifat cinta;
Ia bersenandung rindu dalam kalbu
Mengucap mantra doa pada sang Illahi,
Mendekap asa pada risalah-risalah Rumi.

Dalam jurang kerinduannya,
Ia terperosok dalam lembah ektase.
Seteguk haru dalam cawan
menyatukan perasaannya dengan Tuhan.
 

2013
Pikiran Rakyat, 01 November 2015

Nalar

Mémoire

Awal yang indah di musim semi. Bunga-bunga mekar berkilau cahaya. Pohon-pohon menjulang tinggi ke angkasa, menatap langit menyambut sang surya.

Semilir angin berhembus menyentuh kalbu. Gunung yang maha agung, terlihat megah gagah perkasa. Matahari laksana dewa, menyinari hati dirundung luka.

Meski begitu, jalanan tetap ramai. Dipenuhi kendaraan bagai semak belukar. orang-orang berlalu lalang sibuk mencari kedamaian. Kini aku berjalan sendiri di musim semi yang indah ini, menyongsong hari demi hari menyendiri.

Dalam setiap napas kehidupan, manusia menjelma bagai serigala malam. Dan aku lebih baik menikmati renunganku di sebuah puncak gunung. Berusaha menyembunyikan risalah hati pada nyanyian-nyanyian malam. Berkeluh kesah pada kidung penyair murung.

Bukankah diam lebih menyakitkan daripada maut?

Bagiku, alam memberikan banyak arti dalam kedamaian, bagai rajawali yang mengelilingi bumi di cakrawala. Hidup tenang, sunyi, abadi seperti roh-roh yang melayang di angkasa. Ketika kesepian menyapa, hanya angin yang selalu tampak menemani. Memasuki raga yang telah gundah, menyingkirkan sepi yang telah kualami.

Di suatu tempat yang gelap, aku berusaha menyimpan suatu prahara yang tak terduga. Tapi taukah kamu, apapun yang dilakukan seorang secara sembunyi-sembunyi walau dalam gelapnya malam akan dengan jelas terlihat di siang hari? prahara yang tersembunyi akan berubah menjadi suatu perkara, lalu terdengar oleh orang-orang yang saling berbisik dari telinga para manusia hingga menepi di persimpangan jalan. Tetapi, aku tetap pada pendirian. Berusaha menyembunyikan sesuatu dari gelapnya malam. Aku yang mengendalikan baik dan buruknya sesuatu pada diriku, dan mencoba mengasingkan apa yang orang-orang bilang padaku.

Jagat raya ini adalah milik bersama, walau Tuhan yang menciptakan. Musim semi belum terganti. Bunga-bunga masih mengabdi kepada matahari. Wanginya mengitari bumi sampai hilang tak kembali. Langit biru cerah tanpa gumpalan awan di angkasa, terlintas terdengar nyanyian seekor burung bul-bul pembawa rindu.

Sekarang aku berada di tengah-tengah nalar ketidakpastian, terombang-ambing di tengah lautan. Ketika nalar sedang tidak bekerja, kucoba melukis rona dengan jingga. Kugambar kehidupan masa kini, kuhapus kehidupan masa lalu. Sesekali aku terbawa pada kebaikan, walau sering kali aku membawa keburukan.

Setelah kulukis kehidupanku, aku ingin memahatnya: mengukir kehidupanku dengan caraku sendiri, membentuknya seindah mungkin seperti hamparan savana.

Setiap kali aku pergi ke pegunungan, aku membawa kedamaian yang tenang sekali. Setiap kali aku menghampiri anak sungai yang segar, jiwaku menadah pada kesegaran air yang kurasakan.

Tetapi, setiap kali aku menatap pada langit-langit hitam pada malam hari, tak tampak bintang membentuk sebuah rasi. Inilah kegetiran yang kurasakan, aku merasa kehilangan sesuatu yang ingin aku dekap. Nalarku kembali bergejolak.

Kekosongan pada langit malam di musim semi, membuat sebuah penderitaan tanpa alasan. Kesunyian kembali menerpa, bagai menyendiri dalam ruang hampa. Nalar yang sedang terjadi padaku adalah seumpama teratai putih yang hanya terapung dan tak mekar. Akan mekar jika jiwa pada diri kembali berseri-seri, dan berkembang pada bayang-bayang malam mulai datang.

Wahai Tuhan Sang pemberi bahagia dan nestapa: aku tak tau harus bagaimana menyikapi nalarku, baik dan buruk berada dalam bayang-bayang semu. Secepat kilat datang dan menghilang.

Jika saja kau tak mengiming-imingkan surga untuk sebuah pencapaian hidup. Apa yang terjadi? apakah Engkau belum dewasa, ataukah aku yang belum dewasa?

Teramat sulit menjawab kebernalaranku….

Hidup untuk sebuah penalaran…

 

Ilhmbdhmn

Gunung Manglayang, 2012

 

Lelaki 1/2 Serigala

Selama beberapa malam terakhir, dan seperti malam-malam biasanya, malam itu juga ia hampir mati. Bahkan hampir berkali-kali–setelah tragedi tempo hari. Sesaat lelaki setengah serigala akan menerkam dirinya, ia dapat bertindak.

Demikianlah, namanya: lelaki setengah serigala. Mengapa namanya demikan, ia tidak tahu pasti. Sebab, dahulu saat awal mengenalnya, lelaki tersebut sering menyalak sangat keras saat bulan purnama tiba. Dan kembali seperti manusia biasa saat purnama telah tertelan langit. Begitulah awal mula ia menamakannya.

Sering kali lelaki setengah serigala itu datang lagi padanya ketika hari menggantung pada gelap, kemudian menyalurkan kembali hasrat yang dipendamnya. Seolah jatuh dari langit, betapa terkejutnya ia jika lelaki setengah serigala datang secara tiba-tiba. Meski ia tahu bahwa hal itu sudah terbiasa bila malam telah ada, maka lelaki setengah serigala pun akan datang juga. Seperti seolah terbiasa pula, ia akan melayaninya.

Ia selalu terbelenggu jika lelaki setengah serigala itu datang menghampiri. Ia hanya bisa membisu, bahkan membisu sama sekali padahal ia masih mempunyai mulut yang normal. Mula-mula ia turuti kemauan lelaki setengah serigala itu. Jika tidak, matanya yang berbinar akan siap menerjangnya seperti serigala yang kehausan darah.

Meski purnama tak hadir, kadang nyalakannya melolong dengan amat sangat keras. Apalagi jika ia tidak menuruti kemauannya–suara itu semakin keras. Mula-mula lelaki setengah serigala itu hanya menatap wajahnya, namun sesekali hanya mengamatinya saja. Setelah itu ia seakan-akan meloncat dan menerkamnya dengan semampunya.

***

Pada suatu malam yang kering, tanpa diduga lelaki setengah serigala memberi tahu bahwa ia akan pergi jauh. Dan lelaki setengah serigala itu bertanya apakah ia bersedia untuk ikut dengannya. Ia hanya mengangguk tanda setuju.

Tanpa persiapan khusus. Pergilah mereka menuju suatu tempat.

“Entah sejak kapan aku tidak bepergian jauh seperti ini” kata lelaki setengah serigala. “Tapi kau telah terbiasa melanglang buana untuk mencari mangsa, bukan?” timpal seseorang di sampingnya.

Mendengar ucapan itu, lelaki setengah serigala geram bukan main. Dan berkata akan mengancamnya jika ia berkata seperti itu lagi. Lelaki setengah serigala menjelaskan, bahwa dirinya akan berbuat baik jika dia berbuat baik. Juga akan berkelakuan buruk jika dia berkelakuan serupa.

Di perjalanan, mungkin belum setengah jalan menuju tempat tujuan. Mereka berhenti sebentar. Kereta kuda yang membawanya sedikit kehausan.

“Sebagai perempuan, kau harus tunduk pada perintah.” Seru lelaki setengah serigala.

Perempuan itu hanya termenung. Sekali lagi, ia hanya termenung. Pikirnya, seorang perempuan hanyalah harus menuruti segala macam perintah laki-laki. Sejurus kemudian, ia teringat pada pesan orang tuanya di kampung jika seorang perempuan memanglah harus begitu.

Perjalanan dilanjutkan dan semakin jauh. Perempuan itu tak tahu kemana ia akan pergi. Ia sendiri tak ada niat untuk bertanya—ia sendiri tidak tahu pasti.

Angin mulai menyusup pada sanubari dan mulai merasuki pori-pori perempuan itu. Dia tak tahan oleh dingin. Kemudian ia rapatkan tubuhnya pada lelaki setengah serigala itu. Tanpa canggung, seolah sudah atau memang terbiasa, tubuh itu seakan menjadi hangat. Tak ada reaksi dari lelaki setengah serigala. Ia hanya fokus pada jalanan yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan dan burung-burung liar yang menggantung pada tangkainya.

Dengan agak lambat. Perjalanan terus semakin jauh. Namun angin bergerak dengan sangat cepat. Kereta kuda itu berjalan terus, terus, dan terus. Di sebuah perepatan sang kusir memberhentikan kereta kudanya, dan menoleh kebelakang kemudian berkata: Apakah tak keberatan jika ia memilih jalan pintas.

Lelaki setengah serigala dengan enteng tak merasa keberatan. Kemanapun arah jalannya, yang terpenting adalah sampai ke tempat tujuan. Sang kusir lalu memilih belok kiri, ke arah barat, dan melewati sebuah perkampungan kumuh.

Perkampungan kumuh itu didiami oleh suku setempat yang adat istiadatnya masih terasa kental. Di sana, lelaki setengah serigala melihat seseorang yang kepalanya besar, hampir-hampir sebesar buah semangka. Seseorang yang kepalanya besar itu berdiam diri dan memperhatikan dengan seksama kereta kuda yang melintas dengan mata kelerengnya.

Setelah melewati dirinya. Orang itu membelalak, kemudian berteriak tidak jelas.

Perempuan yang sedang berada di dalam kereta itu kaget dan hampir ketakutan, lalu bertanya apa yang terjadi di luar sana.

Orang asing itu semakin berteriak dengan suara aneh. Kusir ataupun lelaki setengah serigala hanya mengacuhkannya. Karena orang asing tahu bahwa di dalam kereta kuda tersebut terdapat seseorang. Maka ia berlari kencang, sekencang-kencangnya dan berusaha memberhentikan kereta kuda itu. Maka berhentilah kereta kuda tersebut, dan tak seorang pun berkata pada orang asing itu.

“Kau, lelaki setengah serigala. Turunlah” kata orang asing.

Lelaki setengah serigala terdiam. Sayup-sayup angin semakin kencang. Udara semakin dingin. Dan perempuan yang berada dekat dengan lelaki setengah serigala terlihat gugup.

“Keluarlah..” katanya sekali lagi.

Lelaki setengah serigala itu lantas berkata bahwa ia sedang sibuk dan bergegas. Ia berkata demikian tanpa melihat atau menengok keluar kereta kudanya.

Orang asing itu pun melanjutkan perkataannya, bahwa ia sedang membutuhkan pertolongan. Dengan panjang lebar orang asing itu menjelaskan bahwa perkampungannya akan dihancurkan. Satu di antara kalimat panjangnya,  perkampungannya akan dihancurkan untuk dibangun tempat singgah para kaum-kaum elite.

Sekali lagi, lelaki setengah serigala berkata bahwa ia sedang bergegas. Dan tidak dapat membantunya.

Lalu orang asing itu menggoyang-goyangkan kereta kudanya sampai-sampai kuda tersebut meringkik dengan amat sangat keras.

“Semua orang mempunyai kepentingannya, termasuk saya.” Jawab lelaki setengah serigala. Santai.

Kereta kuda perlahan mulai tenang. Orang asing yang kepalanya hampir sebesar buah semangka itu pun menangis ringkih. Kemudian perempuan yang di sampingnya berkata bahwa dirinya berengsek, tolol, dan tidak berprikemanusiaan. Lelaki setengah serigala hanya senyum kecut. Dan memerintahkan sang kusir melanjutkan perjalanan.

Ketika kereta kuda perlahan mulai melaju, orang asing yang berkepala sebesar buang semangka itu berkata lagi sambil berteriak tersedu-sedan:

“Jika perkampungan ini lenyap, maka kami akan ikut lenyap. Dan jika kami lenyap, maka tradisi nenek moyang kami pun ikut lenyap. Jika semua itu lenyap, maka dipastikan semuanya akan hancur.” Teriak orang asing berkepala besar itu, hingga suaranya tertelan angin dan melenyapkannya juga.

Kereta kuda tetap berjalan terus. Salah satu dari penghuni kereta kuda tersebut menengok ke belakang dan melihat bayangan yang semakin kecil sambil tersimpuh. Semakin cepat laju kereta kuda tersebut, semakin cepat pula bayangan itu hilang.

Perempuan yang berada dekat lelaki setengah serigala itu hanya diam membisu. Kemudian lelaki setengah serigala berkata mengapa ia hanya membisu sedangkan pemandangan di sekelilingnya begitu menawan.

Perempuan itu pun berkata sejak kecil ia hidup dengan ruang lingkup yang serba tradisi. Ia tahu betul jika tradisi itu hilang, maka hilang pula kepercayaan yang sejak dulu sudah dikenalnya.

Perempuan itu berkata dengan sungguh-sungguh. Dan lelaki setengah serigala pun tahu betul bahwa ia memang sungguh-sungguh. Meskipun begitu, lelaki setengah serigala memang seorang yang amat sangat keras kepala. Ia tidak merespon perkataan perempuan itu. Ia tetap memperhatikan jalanan yang dilewati kereta kudanya.

Malam pun semakin memuncak. Nyanyian burung hantu menyertai perjalanan mereka. Dan meskipun mereka berada di dalam kereta, angin tetap saja meniup dari segala arah. Bulan semakin lama, semakin terlihat di atas sana. Bentuknya bulat seperti bola pingpong. Cahayanya agak redup. Pucat. Jika malam itu purnama, dapat dipastikan bahwa perempuan itu khawatir terhadap lelaki setengah serigala.

Sebelum melewati tempat yang dituju lelaki setengah serigala. Akhirnya kereta kuda itu pun memasuki sebuah lembah. Penerangan kala itu hanya diterangi oleh cahaya bulan yang biasa saja, sebab gumpalan awan mulai menjarah dan sedikit menutupi sang bulan.

Karena lelaki setengah serigala sedikit mengantuk dan haus, kereta kuda itu pun berhenti tepat dipinggir sungai yang jernih airnya. Kemudian lelaki setengah serigala menyeka wajahnya dan meminum air sungai dengan tergesa-gesa. Sedang perempuan yang dibawanya hanya tertidur dengan senyap.

Ketika lelaki setengah serigala sedang minum. Samar-samar terdengar suara di dalam semak-semak yang berada hadapannya. Sebenarnya lelaki setengah serigala malas untuk mencari sumber suara itu. Namun karena ia merasa terganggu, dicarilah suara di balik semak-semak belukar tersebut. Tanpa disangka ia mendapati seseorang yang sedang membersihkan belati yang berlumuran darah. Orang tersebut hanya diam dan memandang dengan mulut menganga ketika lelaki setengah serigala itu melihatnya. Lelaki setengah serigala mendekat, angin semakin menderu.

“Saya baru saja membunuh seseorang. Dan itu nikmat sekali rasanya” kata orang tersebut sebelum ia perlahan pergi dengan tergesa-gesa sambil menyenggol, kemudian menjauh dari lelaki setengah serigala.

Lelaki setengah serigala kembali. Dan melihat kerumunan orang sambil memegang obor di sekitar kereta kudanya. Setelah melihat lelaki setengah serigala datang menghampiri, perempuan itu berkata bahwa orang-orang tersebut sedang mencari seorang pembunuh.

Menurut penuturannya, seorang anak sekitar delapan tahun telah dibunuh ketika sedang menyelamatkan ibunya. Rumahnya habis di rampok, dan setelahnya membunuh anak itu. Orang-orang pembawa obor itu pun pergi, tapi sebelumnya berkata jika melihat orang atau sesuatu yang mencurigakan—harap memberi tahu. Perempuan itu mengangguk, tapi tidak dengan lelaki setengah serigala yang cepat masuk dalam kereta kudanya.

Pencahayaan rembulan masih remang-remang. Di dalam kereta, perempuan itu berdoa dengan merapatkan kedua telapak tangannya juga diiringi umpatan. “Tuhanku, jika saya melihat pelaku yang membunuh anak tersebut, saya akan menghantamnya dengan sekuat tenaga. Namun, apabila pembunuh itu kedapatan melawan maka lelaki disampingku ini akan membalasnya. Amin.”

Lelaki setengah serigala pun menimpali ucapan perempuan itu, dan berusaha untuk menahan tawa kecilnya.

“Doa semacam apa itu?” kata dia sambil mengaku telah melihat seorang pembunuh anak itu ketika berada di sungai dan membiarkannya pergi. Lelaki setengah serigala seolah tidak mengalami kejadian apapun.

“Kau, lelaki setengah serigala,” kata perempuan itu, “kau memang bajingan, kau memang tidak punya perasaan.”

Lelaki setengah serigala kemudian berkata pada kusir agar mempercepat perjalanannya. Sambil menempelkan cerutu di mulutnya, lelaki setengah serigala ingin agar perempuan itu diam.

“Saya bisa saja menghabisi pembunuh tersebut di tempat, namun saya masih mempunyai kepentingan lain.” Jawab lelaki setengah serigala. Enteng.

Perjalanan pun semakin lama semakin jauh. Kereta kuda berjalan terus menyusuri jalanan yang setengah becek. Sang kusir sesekali menguap menahan kantuk meski perempuan di dalam keretanya menyerocos ke sana kemari. Rasa-rasanya perempuan tersebut memiliki seribu dendam kepada lelaki setengah serigala itu. Betapa banyak kesalahan dan perbuatan yang dilakukannya, dan perempuan itu mengumpat dalam hatinya tentang segala sumpah serapahnya terhadap lelaki setengah serigala.

Perasaan perempuan itu semakin lama semakin kacau. Perjalanan panjangnya membuat ia sedikit mengalami kejenuhan. Tatapan sang kusir tetap fokus pada jalanan malam. Sedangkan lelaki setengah serigala perlahan-lahan mulai lenyap dalam lamunan.

Dalam perenungannya, perempuan itu ingat perkataan ibunya jika menyimpan dendam adalah perbuatan yang tidak baik. Namun, dengan segala pertimbangannya rasa dendam akan tetap hidup di dalam hatinya kepada lelaki setengah serigala.

Di sisi lain, perempuan itu memiliki maksud buruk yang sangat dibenci oleh tuhannya yaitu membunuh. Menurutnya, membunuh lebih baik ketimbang membiarkan orang semacam lelaki setengah serigala terus hidup.

Di dalam relung pikirannya, ia bisa saja membunuh lelaki setengah serigala itu, kemudian membawa mayatnya kepada orang-orang yang mencari pelaku pembunuhan anak yang berumur delapan tahun. Kepada mereka, ia akan berkata bahwa lelaki setengah serigala ini pembunuhnya. Sementara untuk menutup mulut sang kusir, ia akan memberikan semua harta lelaki setengah serigala. Begitu semua tuntas, ia akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Demikianlah yang ada di pikirannya.

“Pendamlah keinginan burukmu perempuan sialan.” Kata lelaki setengah serigala, sembari membetulkan letak mantelnya.

Perempuan itu terperanjat. Bagaimana bisa lelaki setengah serigala mengetahui maksud buruk yang hendak dilakukannya. Ia tak habis pikir dan mulai mengurungkan niatnya.

“Kau pikir saya tidak mempunyai hati nurani? Kata lelaki setengah serigala kepada perempuan itu.

“Ya, tentu saja bahkan kau lebih buruk ketimbang hewan” jawabnya.

Ketika perbincangan mereka berdua baru saja di mulai, sang kusir memotongnya dan berkata bahwa perjalanan sebentar lagi akan sampai.

“Tinggal seperempat jam lagi perjalanan akan tiba” kata sang kusir.

Lelaki setengah serigala hanya menimpalinya dengan singkat. Kepada sang kusir, dia mempertanyakan apakah kuda yang membawanya tetap kuat untuk melanjutkan perjalanan pulang. Sang kusir menjawab tegas bahwa kudanya sangat kuat.

Lalu kepada perempuan yang disampingnya, lelaki setengah serigala menjawab jika ia memanglah seperti hewan. Menjadi hewan, kata dia, lebih arif ketimbang menjadi manusia yang munafik.

“Dan kau manusia munafik itu,” kata lelaki setengah serigala.

Perempuan itu tertegun di sampingnya.

“Jika demikian, mengapa kau rela tidak memberi pertolongan pada lelaki asing yang ditemui tadi di perkampungan?” Tanya perempuan itu.

“Sudah saya jelaskan pada lelaki asing tersebut, bahwa saya mempunyai urusan lain.”

“Bangsat.” Kata perempuan itu. “Kau mementingkan urusanmu sendiri.”

“Lalu, mengapa kau membiarkan pembunuh seorang anak delapan tahun itu pergi?”

“Saya tidak tahu bahwa ia membunuh seorang anak berumur delapan tahun.”

“Jahanam” kata perempuan itu lagi.

“Kau amoral!”

“Mungkin” jawab lelaki setengah serigala.

“Kau si kepala batu !”

“Memang betul.”

“Kau bajingan”

“Kau….” perkataan itu tertahan. Kemudian perempuan itu menatap lelaki setengah serigala. Dan berkata dengan tenang:

“Kelak kau akan mendapat petaka.”

***

Kereta kuda seketika berhenti di depan pintu gerbang desa yang saat itu sudah sepi sebab sudah terlalu malam.

Sang kusir memberi tahu bahwa ia tidak dapat meneruskan kereta kudanya, karena suara kereta kudanya khawatir mengganggu penghuni seluruh desa.

Lelaki setengah serigala mempersilakan perempuan itu untuk turun. Perempuan itu turun dengan terheran-heran. Meskipun perubahan telah berubah pesat, ia paham betul dihadapannya adalah desa tanah kelahirannya. Desa yang ia tinggalkan selama sepuluh tahun. Sebelum lelaki asing membawanya pada lelaki setengah serigala.

Ketika angin bertiup serta menyentuh perempuan itu, untuk beberapa saat mata perempuan itu menengadah ke atas langit. Dan menghembuskan napas yang begitu kencang, yang selama ini belum pernah ia rasakan kembali. Di atas sana, bulan masih tampak bulat dan pucat.

“Urusanku telah selesai.” Begitu kata lelaki setengah serigala. Kalem.

“Kau bisa kembali pada kehidupanmu, seperti dahulu kala” sambung lelaki setengah serigala.

Lelaki setengah serigala mengucapkan salam pada perempuan yang termenung heran kepadanya. Kemudian ia memerintahkan sang kusir untuk kembali pada perjalanan selanjutnya. Kereta kuda itu berbalik ke Timur, lalu berjalan perlahan. Seketika gumpalan awan hitam semakin pekat menutup cahaya rembulan, pertanda akan hujan.

Kereta kuda itu berjalan dengan lurus dan agak melaju cepat. Ketika bertemu sebuah pengkolan, sedikit demi sedikit bayangannya mulai redup.

Meski bebas, perempuan itu masih terdiam terpaku di pinggiran jalan. Sampai hujan pun mulai turun di kegelapan malam.

Ilhmbdhmn
2015

Memenggal Medusa

I

Tenggelam di lautan biru yang dibuang bersama sang ibu,
terkandung dalam rahim suci yang dibalut rasa benci,
terombang ambing dalam peti di tengah samudera,
dengan segulung ombak yang menghantam
dan jeritan tangis seorang bayi mungil di dalam.

Seorang nelayan bernama Diktis menemukan mereka
secerca harapan muncul bersama mentari pagi yang menemani.

Terlahir tak diharapkan, dibuang bersama kutukan.
Awan hitam, surya padam, angkasa murka.
Sepenggal kalimat kutukan dikeluarkan,
bersama dentuman suara petir yang menggelintir.

Tatapan nanar dan nafsu liar yang mengancam,
kepada sang dewa langit dan petir.

II

Manusia dan dewa…
Hubungan antara manusia dan dewa
terlahir sebagai manusia setengah dewa.

Pulau Sefiros adalah saksi.
Sang ibu binasa, di tangan sang dewa.
Manusia setengah dewa berjanji, membunuh semua yang terbunuh.

Dibalik jubah hitam, mata pedang siap dihunuskan.
Dibalut dendam yang menghujam,
dia menyelusuri jalanan panjang yang melintang.

Menghadap sang rembulan
yang jatuh tersungkur dipangkuan sang bintang.
Menyerah tak berdaya, dalam suatu peperangan.

III

Dalam peperangan…

Ia dihadapkan dengan suatu pasukan yang mengadang.
Puluhan pasukan kegelapan lalu lalang
dengan sebuah tombak panjang di tangan,
sembunyi di balik tameng-tameng pelindung
yang siap menancap sang pahlawan.

Ketika kemudian datang segerembolan pasukan
satu per satu telah ditebasnya
dan tersungkur lemah tak berdaya,

Sorot matanya pekat oleh laknat.
Dihunuskannya mata pedang
dengan teriakan yang lantang.

Tetesan darah para pasukan itu
mengucur dengan sangat deras.

Di ufuk barat semenanjung Balkan,
para pasukan telah habis dimusnahkan.
Pertanda bahwa sang pahlawan siap mengibarkan panji-panji kemenangan.

IV

Akhirnya mereka bertemu;
musuh yang dinanti oleh sebuah janji,
sang Medusa.

V

Gemerlap mencekam malam,
tak tampak ribuan gemintang.
Kobaran api pertanda pertempuran
di sebuah tempat
yang dipenuhi bebatuan membeku.

Jika menatap sorot matanya yang laknat
membuat sang pahlawan membeku seperti batu.
Perlahan Medusa mengendap, menatap sebagai senjata.

VI

Mereka saling melawan
Medusa dengan tatapan bekunya,
Sang pahlawan dengan sebuah pedang
dan perisai cerminnya.

Mereka saling tikam menikam
untuk sebuah kehormatan.

Tatkala lengah,
kepala Medusa menjadi sebuah incaran.

Wajah pesonanya memudar
oleh sebuah nafsu birahi,
rambut indahnya berubah
dipenuhi ular haus darah.

VII

Amarah sebuah dendam
memekat pada denyut nadi.

Sering kali, tajamnya mata pedang menyosor pada tubuhnya,
ratusan anak panah menggores harapannya.

Hasrat begitu menggebu-gebu
tatapannya menyeret pada kelumpuhan.
Gemuruh petir seakan membuat nada,
hembusan angin masih terasa

Sebuah perisai mengantarkan kepada akhir pertempuran,
perisai cermin mengantar pada sebuah kemenangan.

Sepenggal kepala Medusa
terjatuh bercampur aroma darah anyir memekat.
Tubuhnya tergolek di atas bongkahan batu.
Lalu terjatuh bersama kobaran api.

Kemenangan yang melahirkan dua gorgon:
Pegasus dan khrisaor.

Darah yang tercucur adalah khrisaor
yang terlahir dari sepenggal kepala ibunya,
begitupun Pegasus.

VIII

Lalu dalam perjalanan terakhir…
Cinta abadi hadir menemani.

Andromeda adalah tambatan hatinya,
untuk mempersembakan hadiah yang sempurna.

Lahirlah buah cinta mereka,
lalu terbang bersama membelah langit angkasa.

Raga telah menyatu menjadi satu,
hilang meninggalkan asa.

Berpeluk erat tanpa perpisahan,
dan hilang ditelan awan.

Jumat 13 juli 2012

Risalah Maut

Pada malam terakhir itu, ia berkata;

“Setelah ini apa yang kau tuju?”
“Surga?”
“Taman indah bernama Jannatul ‘Adn?”
“Bukan, bukan itu.” Jawabku.

“Lantas?”
“Kematian. Ya, sebab kita begitu dekat dengannya”

Kemudian, kita senyap tertelan maut.
Dan entah akan kemana.

2013
Pikiran Rakyat, 01 November 2015