Monroe dan Sepak Bola

Di antara ribuan penonton kala itu, Marilyn Monroe melambaikan tangan sambil berdiri di jok belakang mobil convertible menuju sebuah lapangan. Ia tampak bersemangat. 12 Mei 1957, di stadion Ebbets Field, Brooklyn, New York, mula-mula Monroe hanya melambaikan tangan, tersenyum, hingga pada akhirnya ia menendang bola dengan sebuah kepercayaan.

Monroe mengenakan dress ketat, sepatu hak tinggi, dan—ini yang membuat pria terpana—di dress antara belahan dadanya, tertempel sekuntum bunga. Wanita yang menjadi simbol bomb-sex itu barangkali mafhum betul bahwa ia menjadi titik pusat dari ribuan pasang mata.

Di lapangan, dengan diapit dua orang lelaki, Monroe mengambil ancang-ancang sebelum bola itu tergelincir deras terkena runcing hak sepatunya. Setelah itu, ia tertawa sambil menyibakan rambut pirangnya: ini seperti mendefinisikan bahwa sepak bola ialah permainan yang menghibur bagi Monroe atau pun penonton. Pertandingan itu, terjadi antara Amerika Serikat melawan klub Israel, Hapoel Tel-Aviv.

Monroe mungkin tak akan tahu bahwa sepak bola, setelah ia sendiri mengalaminya meski tak lari-lari mengejar bola, suatu saat kelak akan menjadi olahraga nomor satu dunia, bagi wanita, pria, dewasa, bahkan anak-anak.

Namun, pernahkah ia tahu bagaimana ketika keadaan yang tak memungkinkan terjadi. Wanita dilarang bermain bola karena tak etis, laki-laki tak bisa menikmati pertandingan sepak bola di layar kaca, dan anak-anak yang tak leluasa bebas menampilkan skillnya?

Di negara Timur, sepak bola sempat dilarang dengan sebab musabab atas nama agama. Anak-anak tak leluasa bermain bola di negara yang terlibat perang, namun mereka masih nekat bermain walau ancaman datang.

Ini menjadi persoalan yang pelik yang harus ada jalan keluar—bukankah dari sepak bola, kita belajar tentang keadilan?

Tentang keadilan dan keadaan pelik terkait sepak bola, ada sebuah cerita dari sebuah film: Phörpa (1999). Film Phörpa atau The Cup, berasal dari negara yang kuat tradisinya: Bhutan. Dalam Phörpa, bagaimana kita dapat belajar menerima sesuatu yang menjadi pantangan. Diawali dengan pertanyaan: “apakah seorang yang sedang belajar menjadi seorang biksu yang taat dan dengan tradisi yang kuat dapat menonton final Piala Dunia?”

Mula-mula, Orgyen Tobgyal, seorang tokoh dari film Phörpa membujuk seorang penjaga asrama agar dimintakan izin kepada Kepala Biksu supaya para calon biksu dapat menonton sepak bola dalam biara. Padahal, sebelumnya, ia diam-diam dengan para calon biksu lain sempat menonton Piala Dunia di permukiman penduduk, kemudian kepergok lalu dijatuhi hukuman.

Singkat kata, izin pun didapatkan. Setelah itu, demi kecintaannya terhadap sepak bola, mereka melakukan segala cara demi menyewa saluran televisi parabola Piala Dunia termasuk dari uang saku masing-masing.

Film ini termasuk film komedi, juga mengandung kebijaksanaan. Mereka yang hidup dalam tradisi yang kuat, jauh sebelum Youdan Cup atau FA Cup digelar, tak menampik euforia sepak bola dunia yang berasal dari negeri nun jauh di sana.

Meski hanya sebuah film, namun kita tak bisa mengelak, bahwa sang sutradara Khyentse Norbu ialah seorang keturunan rahib yang tersohor dalam Buddisme Tibet. Saya paling suka tagline dari film ini: Buddhism is their philosophy. Soccer is their religion. Tentunya dengan sedikit gurauan.

Lalu, lambat laun, cerita asyik itu mulai tergerus. Dalam realitas, kita hanya dapat menyaksikan atau mendengar seseorang yang terkekang atau bahkan tertembak mati saat bermain sepak bola. Tak ada kenikmatan lagi dalam olahraga nomor satu dunia tersebut.

Akhir-akhir ini, kita diingatkan dengan tragedi penembakan seorang anak saat bermain sepak bola; dilarangnya jersey kebanggaan di kelompok tertentu; dieksekusinya pemain sepak bola Suriah oleh kelompok ekstremis; dan hal miris lainnya.

Maka, jika kita bayangkan seorang lelaki, kelompok tertentu, atau pun siapa saja yang melarang sepak bola demi ideologinya, pantaskah ia kita sebut seorang yang lembek?

Oscar Wilde, sastrawan yang termasyur itu pernah berkata: “Football is all very well as a game for rough girls, but is hardly suitable for delicate boys.” (Sepak bola adalah permainan yang bagus untuk anak-anak perempuan yang tangguh, tapi bukan untuk anak-anak laki yang lembut). Mungkin itulah barangkali sepak bola bukanlah “kejahatan perang”, meski dalam permainan memperebutkan sebutir bola; berusaha saling adu; sikut-menyikut; dan tentunya menunjukkan kelihaian dalam mengolah bola. Setelah berakhir, mereka bersalaman.

Tapi, tak semua orang di dunia ini sependirian. Yang mengasyikkan belum tentu baik, yang baik belum tentu benar. Lalu, masih perlukah kita untuk terus melawan “tameng” berlabel tradisi itu? Kita mungkin bisa menjawab “ya”, bisa juga menjawab “tidak”, sebab dengan masih adanya pemikiran yang diapit oleh cita-cita yang “katanya” mulia itu, kemerdekaan dalam bermain sepak bola agaknya masih terasa ganjil.

***

Seorang anak asal Israel dalam cerita Sepatu karya Etgar Keret mendapatkan sepatu bola dari ibunya. Tentu hal ini sangat menyenangkan bagi anak-anak, namun celakanya sepatu itu merek Adidas.

Ada kebencian yang mendalam pada dirinya untuk sepatu itu dan semacam ambivalensi: Yahudi dibunuh Jerman, Adidas buatan Jerman. Dan sang kakek mati karena Holokaus. Lalu, ia menyukai sepak bola dan memakai sepatu made in Jerman.

Tapi, apalah arti semua itu, jika bagi sang tokoh anak-anak sepak bola sudah melekat dalam hatinya. Kebencian yang mendalam itu pun sirna dan terlupakan. Seperti katanya: “pada awal permainan aku tidak akan menendang dengan ujung sepatuku agar tak menyakiti kakek.”

Tapi, ia lupa kata-kata seorang lelaki di museum Volhynian bahwa orang cenderung melupakan. Dan itulah yang terjadi meski ia memenangkan pertandingan serta mencetak beberapa gol dengan sepatu itu.

Sepatu adalah cerita yang sederhana, ada satire yang muncul dan terasa menggelitik.

Kini saya rasa, kita harus belajar dari anak-anak. Tentang mencintai sesuatu tanpa berlebihan. Cukup melakukan apa yang mereka suka, dengan tenang, dengan nyaman tanpa ada perdebatan “siapalah yang paling benar”.

Lantas, bisakah kita mengambil secuil kisah Monroe atau pun film Phörpa? Di mana ketika sepak bola telah menjadi harapan yang mutlak menyatukan kecintaan satu sama lain terhadap sepak bola, atau pun menonton bersama dengan orang yang berbeda dalam hal kesukuan, agama, ras dan antar-golongan, tanpa adanya kutukan yang menyerang, juga dibebani dosa yang mengancam.

Ilhmbdhmn

2016

Terasing

Siapa yang benar-benar tahu bahwa keterasingan ialah seseorang yang tak pernah benar-benar sendiri? Seorang yang terasing barangkali bukanlah seorang yang sungguh mendapati sepi. Sunyi. Melainkan seperti sendiri dalam sebuah keramaian.

Penjaga gawang dalam permainan sepakbola bagaikan hidup dalam sebuah kotak yang tak leluasa: 18,32 m x 5,5 m. Ia hidup dalam “keterasingan” yang terkekang garis gawang. Meski begitu, mustahil untuk tak bergerak jauh, leluasa, bahkan bebas. Garis gawang hanyalah tapal batas yang, di setiap kesempatan dapat terlewat.

Tapi, sang penjaga gawang tetaplah penjaga gawang yang terasing, yang pada momen tertentu bahkan krusial, ia menjadi titik ukuran timnya akan menang atau dikalahkan. Walaupun, ada sejumlah pemain belakang yang siap mengadang baik sejajar ataupun berdampingan. Justru, pada peran inilah menjadi penjaga gawang merupakan tanggungan yang besar.

Seorang penjaga gawang ialah seorang yang “asing”. Identitas mereka berbeda: pada umumnya berseragam cerah atau gelap, kadang bercelana panjang dan bersarung tangan.

Satu hal yang paling disorot penonton ketika terjadi tendangan pinalti, tak lain dan tak bukan adalah eksekutor dan sang penjaga gawang. Penjaga gawang menjadi ajang perjudian. Kemenangan atau kekalahan ada di tangan.

Ketika gol terjadi, penonton bersorak dan penjaga gawang harus kembali menjadi seorang yang asing. Menjadi seperti tikus dalam cengkraman kucing: tak berdaya, dicemooh, mungkin pasrah atau gundah. Tak banyak juga yang tahu bahwa ia bisa diterima, tak dicemooh, tak pasrah dan gundah.

Seorang penjaga gawang rela berjibaku dengan pemain lawan, kesakitan menangkis dan menangkap bola dari ketinggian meski kadang terlepas dengan sia-sia, susah payah melindungi gawangnya meski ia mungkin tahu timnya akan kalah.

Bagaimanapun, dengan kerelaan yang mengandung risiko sedemikian, Dewi Fortuna bisa saja melindunginya dengan segala macam cara, dan meyakinkan bahwa menjadi penjaga gawang bukanlah pekerjaan yang sia-sia dan bukanlah hal yang mustahil dapat mencetak gol.

Rogério Ceni, mantan penjaga gawang São Paulo FC, berusia uzur, lihai mencetak gol dengan tendangan bebas. Mungkin seorang ayah berkata kepada anaknya di tribun penonton: “Lihat, seorang penjaga gawang bisa mencetak gol!”

Tahun 1999, seorang José Luis Chilavert, bahkan mencetak trigol pertama dalam sejarah bagi seorang penjaga gawang. Di sini lah letak ketidakmungkinan itu bisa terjadi bagi siapa pun.

Ketidakmungkinan menjadi sebuah kemungkinan, apa itu terjadi karena kehebatan atau kemalangan, layaknya penjaga gawang atau juga seorang imigran.

Perang berkecamuk di Timur Tengah. Itulah sebabnya, seorang penjaga gawang tak beda jauh dengan seorang imigran. Di negeri nun jauh di sana, para imigran menjadi asing.

Di lapangan hijau—ini sering terjadi, penjaga gawang nekat maju ke depan gawang lawan saat tendangan sudut untuk membantu mencetak gol di momen krusial. Sementara di Timur Tengah, para imigran berjalan kaki ribuan kilometer ke Eropa untuk mencari suaka.

Penjaga gawang dan imigran: mereka berani bertaruh untuk ‘keselamatan’. Dan saya tak tahu, apakah mereka bahagia?

“Kaki saya sakit, tapi saya baik-baik saja,” ujar Uzbeki yang berbalut selendang hijau dan selimut cokelat di Opatovac, kamp utama imigran di Kroasia seperti dilansir CNN.

Bibihal Uzbeki, 105 tahun, seorang Afghanistan, menempuh jarak bertelanjang kaki selama 20 hari ke Kroasia. “Kaki saya sakit”, mengisyaratkan tanda “keluh kesah”, “tapi saya baik-baik saja” adalah sebuah “kesanggupan”. Barangkali bagi mereka seorang penjaga gawang dan imigran, kesakitan adalah tanda kesanggupan yang lain.

Para imigran perang adalah sebuah keprihatinan yang mendalam. Anak-anak, orang tua renta, ibu hamil, mereka menjadi sebuah ‘metafora’ bahwa perang ialah tindakan paling bodoh umat manusia. Keterbelakangan moralitas.

Saya berpikir, bahwa penjaga gawang dan imigran ialah orang yang paling tersisihkan di dunia, mereka bisa dianggap asing oleh kawanan yang lain, acap kali terlihat aneh sebab identitas yang berbeda. Namun, mereka tetaplah manusia: mempunyai hak hidup yang semestinya dan berhak menyerapahi, mengumpat, atas pergolakan nafsu perang yang tak ada habisnya.

Demikianlah bahwa kita telah melihat kisah manusia yang hidup di antara “keterasingan” dan “keterbuangan”. Di sepakbola, waktu normal berakhir dalam 2×45 menit. Penjaga gawang akan pulang, melepas perannya sementara. Pada situasi perang, waktu akan berakhir jika mereka mau, jika mereka sanggup, jika mereka sadar, sebab hidup bukanlah soal kekuasaan. Perang bukanlah pertunjukkan teater.

Itulah sebabnya para imigran bukan sedang menjalankan peran dalam pentas teater. Mereka berjalan, berjalan, terus berjalan. Dan penjaga gawang? Mereka akan melepaskan jerseynya yang berkeringat, saling bertukar dengan yang lain, dan bersalaman. Akankah ini bisa terjadi bagi negara yang terlibat perang? Menghentikan serangan, mematikan rudal dan mortir, dan saling bersalaman di pentas nyata?

Maka bisa kita bayangkan semua bersorak-sorai. “War is over, if you want it, war is over, now!” seperti kata John Lennon. Meski itu bukanlah hal yang utopis untuk sekarang ini, sebab serupa pertandingan bola: ada bunyi pluit, pertikaian, saling serang, dua negara yang sedang bertanding, lantas setelah semua berakhir, pertandingan pun usai. Bubar.

Tak salah memang jika Albert Camus berkata: “Apa pun yang saya ketahui soal moralitas, saya berutang pada sepak bola.” Lalu, andai saja umur bisa terus dilawan, kita bisa menyaksikan kembali Rogério Ceni yang telah pensiun. Kemudian Uzbeki, seorang nenek yang bila perang telah berakhir ia bisa kembali menuju “garis gawangnya sendiri” bersama puaknya.

Ilhmbdhmn
2016

Adakah yang Lebih Mulia daripada “Pembenaran”?

Kepala yang terpenggal itu tersenyum setelah shalat magrib tiba. Konon, akibat dari iman dan pendirian tasawufnya, ia dianggap bid’ah. Di hadapan para Syekh, kalimat “Cinta-Nya adalah pengasingan-Nya”, adalah kalimat yang terakhir diucapkan. Dari kerumunan orang-orang yang menyaksikan, tangisan pun membahana. Kisah dari Baghdad pada abad ke-10 ini, darah yang tumpah dikatakan membentuk 84 tetes yang berlafadz “Allah”. Setelah itu jasadnya dibakar, dan seolah menjadi suatu pembenaran, dari abunya terdengar seruan “Akulah Kebenaran”.

Al-Hallaj, atau Manshur Al-Hallaj menyerukan “Ana Al-Haqq” (Akulah Kebenaran) atas cinta kasihnya kepada Tuhan. Ia mengalami puncak ektase. Menurut Al-Hallaj, dalam buku yang ditulis Louis Massignon, Le Diwan D’Al-Hallaj (1931), Tuhan mempunyai dua sifat dasar: ‘al lahut’ (sifat ketuhanan) dan ‘an nasut’ (sifat kemanusiaan). Manusia pun memiliki dua sifat ini. Syahdan, Al-Hallaj dituduh melakukan peleburan atau pengejawantahan sifat ketuhanan dalam jiwa manusia.

Kebenaran memang menjadi teka-teki dalam sebuah labirin. Ia menjadi multitafsir yang tak ada habis dan ujungnya. Siapa yang berhak menghakimi “pembenaran” itu sungguh-sungguh atau tidak sama sekali?

Secara perspektif, benar ialah satu, kesatuan tunggal, mutlak. Dari dasar inilah, siapapun yang menganggap dirinya benar, menjadi sebuah tafsiran yang panjang. Kata kebenaran, tentu saja, ialah kata yang bagi sebagian orang sebagai premis yang nisbi, namun di mata Socrates, bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, melainkan ada “kebenaran sejati” secara umum atau objektif. Dengan pelbagai tafsir, kita hendak dijebak dengan permainan konteks dan makna. Juga, tentang relativisme kebenaran ini, apakah Jalaluddin Rumi dengan tarian Darwisnya, melakukan “pembenaran” atas kesatuan dirinya dengan Tuhan pula?

Namun, oleh sebab sifat manusia yang demikian daif itu, ia tak bisa menjadi “pembenaran” dengan seutuhnya, bahkan secara absolut.

Maka tak heran, jika manusia seolah-olah berlomba menjadi yang paling benar. Menjadi yang paling benar, adalah sifat manusia yang paling pongah. Ia mengesampingkan sikap toleransi, sikap perbedaan suku, ras atau agama. Manusia menjadi takabur atas pembenarannya itu. Akankah masih ada nilai-nilai? Ketika manusia menumbuhkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Saya kira tentang “pembenaran” akan terlibat dalam dilema yang panjang.

Namun, siapa yang pantas memberi nilai tentang “pembenaran”?

Ada yang menarik dari ungkapan Sanusi Pane, meskipun ini jauh dari subtansi mengenai “pembenaran”, ia penganut theosofi dan mengungkapkan pandangan tentang Barat dan Timur.

Barat… mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan… yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani.

Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.

Dari Sanusi Pane, apa yang dapat dihubungkan dengan pembenaran? Tak syak lagi, saya mengambil secuil perenungan dari kalimat itu. Dikotomi ini, katakanlah, saya anggap sebagai sebuah watak. Sebuah tabiat. Mungkinkah Barat adalah lambang superior, sedang Timur ialah inferior? Apakah Barat alegori sebuah “pembenaran”? Dengan gemilang, Barat menjadi garda terdepan dalam segala aspek, misalnya, kebudayaan material. Namun, saya tak menyatakan secara sungguh, tentu. Sebab Timur, yang Sanusi Pane yakini sebagai dunia rohani itu, tetap menjadi enigma dalam sebuah kamar gelap.

***

Ketika negara Israel belum menegakan diri, diaspora kaum Yahudi berada dipenjuru dunia. Ia semacam bimbang, tak punya identitas untuk berpijak. Namun, pada Mei 1948, Israel mendapati pijakannya, di sebuah tanah yang menurut kaum Yahudi sebagai tanah yang dijanjikan, namun menurut ilmuwan Prancis—yang saya lupa akan namanya, sebagai tanah yang ditaklukkan. Lantas, apakah ini sebuah “pembenaran” kaum Yahudi?

Atas nama tanah yang dijanjikan itu, pecahlah berbagai konflik, dengan pemilik sah tanah yang dijanjikan tersebut: Palestina.

Kemudian Israel mulai menghegemoni Palestina.

Konflik itu, tak berujung hingga kini. Pertikaian ini ibarat perang tanpa tapal batas. Perang: apa yang terjadi dan terlintas dengan kata ini? Kita ingat tentang perang Jerman-Prancis; Uni Soviet-Jerman; Amerika-Jepang, pada abad-abad lalu, ketika perang menjadi sebuah jalan untuk menuju “pembenaran”: siapa yang sesungguhnya kuat atas lawannya.

Perang menjadi sebuah kata yang menimbulkan penderitaan. Dendam. Kebencian. Kutukan. Konfrontasi Israel-Palestina, mengakibatkan luka yang terdalam, bagi anak-anak, orang-orang tua renta, wanita-wanita hamil—atau jika kita bisa lebih prihatin, juga luka terdalam bagi tentara militer yang katanya militan itu?

“Anak-anak tak bersalah,” kata Senabel, pemeran dalam film dokumenter Promises karya Justine Shapiro, B.Z. Goldberg dan Carlos Bolado di medio 1997 dan 2000. Dokumenter itu, sebuah film yang menakjubkan, sekaligus haru, bercerita tentang anak-anak Palestina dan anak-anak Israel—yang berada dalam hubungan, jauh atau pun mendekat.

Ada dua anak, akibat konfrontasi ini, menjadi saling “menjauh”. Moshe, bocah berumur 10 tahun, ia adalah anak yang saleh. Ia menganggap bahwa tanah yang di janjikan Yahweh pada keturunan Abraham itu benar. Baginya, hak kaum Yahudi benar dan jelas. Sedang Mahmud, 11 tahun, tinggal di Kota Tua Yerusalem. Ia juga saleh, bersembahyang di Masjid Al-Aqsa dan mendukung Hamas dan Hizbullah, ia mengganggap bahwa kaum Yahudi harus lebih banyak lagi yang mati.

kedua anak itu, akibat konflik ini, memberi “pembenaran” atas dirinya masing-masing.

Sulit memang untuk menahan haru dalam film tersebut, yang diakhir mempertemukan anak-anak Israel dan Palestina. Laiknya sajak Chairil Anwar, dalam saduran W.H Auden mengungkapkan: mereka yang bergumam tentang sebuah negeri yang nyaman tapi, “bukan untuk kita, sayang, bukan untuk kita”.

Lantas apakah “pembenaran” adakah nilainya? Pembenaran yang mengatasnamakan agama atau tanah “warisan”? Dalam totalitas yang pedih itu, “pembenaran” memerlukan definisi lain. Ia yang membicarakan kebenaran atas dakwaan atau asumsinya sendiri, patut dipertanyakan keyakinan terhadap dirinya.

Maka, jelas atau tidak, Sanusi Pane keliru tentang kerohanian dunia Timur. Timur kini menjelma jasmani. Israel tetap berinvasi untuk memperluas wilayahnya dengan kekuatan militer, yang katanya disebut terkuat ke-4 di dunia. Juga dengan dukungan tetap dari Barat. Dan Palestina? Ia tetap hidup dengan kepedihan di atasnya, dengan segala upaya, dengan pelbagai cara. Meskipun kini sang bendera telah berkibar untuk kali pertama di markas besar PBB. Tentu bukanlah sebuah jaminan yang pasti bahwa polemik akan selesai.

Dengan demikian, “pembenaran” tak bisa dijawab dengan gamblang. Dengan arus yang kuat. Sebab, jika meminjam kata dari Goenawan Mohamad: mencari kebenaran itu penuh risiko, menemukan kebenaran itu berbahaya. Definisi ini seolah memberi jalan alternatif manusia untuk memberi pertanyaan terhadap Tuhannya. Maka, seperti apa yang dialami Al-Hallaj tentang hakikat pembenarannya, atau Israel atas tanah yang dijanjikannya. Ia menjadi simbol, yang kelak membuka tafsir lain yang lebih jelas, yang pasti, atau tidak sama sekali.

Ada selalu sikap yang tersirat untuk membuat orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, seperti kata tokoh William dari Baskerville dalam The Name of the Rose Umberto Eco. Lalu adakah yang lebih mulia daripada “pembenaran”?

Di akhir kata, saya melewatkan suatu yang harusnya tampil di balik tembok: “pembenaran” ISIS atas ideologinya. Tapi nampaknya saya malas untuk mencuatnya.

Ihmbdhmn
2015

Lahirnya Tragedi

Pada suatu malam, di musim kering yang tandus, saya menulis dengan penuh rasa cemas: sebuah gejala terhadap problema yang tak ada habisnya di negeri ini.

Lahirnya tragedi, meski judul tersebut sama dengan apa yang ditulis Nietzsche (The Birth of Tragedy), tentu bukanlah problema yang sama, saya hanya menukilnya dengan lirih.

Jika Nietzsche mempersembahkan tulisannya tersebut kepada kawannya, Richard Wagner—komponis besar Jerman, saya mempersembahkannya kepada siapapun: kepada penguasa, penderita, penindas, atau yang tertindas.

Tragedi yang tak pernah luput dari persoalan ialah tragedi pembantaian 1965-1966. Orang-orang yang dituduh terlibat G-30S atau pro-komunis, mereka dibabat habis.

Tragedi kemanusiaan ini, menjauhkan manusia dari sisi filantropis—seperti sebuah perayaan, ia yang vigilante membantai dengan cara mereka sendiri. Soal bagaimana konflik ini terjadi, saya tak akan menjelaskan secara detail. Dan saya tak memastikan, apa yang sebenarnya terjadi. Satu hal yang ada dalam pikiran saya ialah: penguasa/kekuasaan berperan di sini.

Tentang kuasa, saya jadi teringat drama Caligula yang ditulis Albert Camus, sastrawan Prancis yang tersohor itu.

Caligula, kaisar Romawi yang kejam itu. Mempunyai kuasa yang besar. Ia semacam orang yang tak terbantahkan. Kalau saya tak salah ingat—ahli sejarah sepakat mendiagnosis bahwa ia “sakit jiwa”.

Sifatnya intoleran dan membenci manusia-manusia yang tak disukainya, bahkan ia, menurut perhatian saya, mempunyai sifat tersembunyi: otoriter; utilitarian bahkan humanis. Di sini saya agak masygul, apakah sifat penguasa beberapa di antaranya seperti itu?

Seorang bangsawan dalam sebuah cerita menceritakan bagaimana Caligula memerintahkan algojonya agar membunuh korbannya secara perlahan-lahan: “agar ia tahu bagaimana rasanya mati”. Sepertinya ia hendak menggambarkan kekejaman dewa-dewa kepada siapapun, dengan memerankan sendiri peran dewa yang sewenang-sewenang, sebab ia memiliki legitimasi kekuasaan yang tak terbatas.

Tragedi, bisa menimpa siapa saja, di mana saja, atau kapan saja. Barangkali ia datang dengan sendirinya, atau tindakan dari apa saja. Tragedi alam atau bisa disebut bencana, berasal dari alam, juga dengan tragedi kemanusiaan, ia datang entah dari manusia itu sendiri atau yang tak dikehendakinya.

Betapa pilunya ketika gelombang ganas tinggi seperti menyemburkan tulah mengguncang tanah Aceh pada 26 Desember 2004. Akibat tsunami itu, beribu nyawa hilang dan mayat berserakan. Kita tak perlu menyalahkan siapapun. Tampaknya eksistensi Tuhanlah yang kuasa. Kekuasaan Tuhan yang absolut, meluluhlantakan keangkuhan manusia sebagai noktah.

Namun kita tak tahu, mengapa tsunami itu datang di kota serambi Aceh? Mengapa Tuhan lebih memilih menghancurkan kota itu ketimbang mencegah dosa-dosa yang lebih besar hingga hukuman tak dijatuhkan? Dengan segala rahasia illahi, Tuhanlah yang punya kuasa. Dari pertanyaan yang tersirat di sini, apakah kekuasaan Tuhan memberi keadilan?

Kekuasaan, dengan segala bentuknya, apakah yang berasal dari Tuhan atau manusia mempunyai pengertiannya sendiri. Tapi bagaimana kita memberi toleransi kepada kekuasaan yang berasal dari manusia? Bagaimana kita mencegah tragedi kemanusiaan akibat perang, perbudakan, atau pembantaian besar Nazi terhadap Semit di abad ke-20 yang sebenarnya semua itu bisa dicegah? Barangkali saya berlebihan, tapi tragedi itu bisa dicegah atau tak terjadi meskipun ini takdir.

Machiavelli, filsuf Italia, penulis Sang Penguasa (II Principe), berasumsi bahwa agar kekuasaan dapat dipertahankan atau didapatkan, satu-satunya jalan ialah dengan menghalalkan segala cara. Maka tak heran jika Hitler atau Mussolini berpegang teguh pada prinsip itu.

Machiavelli tak pernah tahu, apa dampak hebat dari rumusannya tersebut, di masa sekarang atau nanti. Tapi saya menjadi agak ragu, ada atau tidaknya rumusan itu, manusia tetap saja mempunyai naluri untuk memenuhi hasratnya berkuasa, seperti kata Hobbes: “Secara alamiah, manusia adalah makhluk yang secara terus menerus selalu ingin berusaha memenuhi segala hasrat dan keinginannya”.

Menurut Hobbes, kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi dan tak kunjung padam untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan, yang berhenti hanya dalam kematian.

Jadi, pantaskah manusia disalahkan atas tragedi-tragedi yang terjadi?

Syahdan, saya menganggap bahwa kekuasaan adalah jalan hampa bersifat fana yang dipilih manusia. Demi semua itu, ia rela menaruh malu, menciptakan kepalsuan, mengingkari tanggung jawabnya sebagai manusia seperti Faust.

Faust, sebagaimana dikisahkan Goethe, rela menyerahkan jiwanya kepada sang iblis Mephistopheles. Dia adalah seorang doktor yang haus akan ilmu tak terbatas sehingga rela bersekutu dengan Mephistopheles agar merengkuh semua ilmu itu dengan cara yang picik.

Lantas, apakah personifikasi Faust adalah pantas disematkan bagi sang penguasa yang mengukuhkan kekuasaannya? Di sini saya tak menghakimi Faust, bahkan tak ada hubungannya. Tapi, jika boleh saya ganti kata ilmu tak terbatas yang diinginkan Faust yang sombong itu kemudian digantikan dengan kekuasaan yang tak terbatas, apa bedanya?

Seperti yang dikatakan Hobbes, bahwa perbuatan itu ialah hasrat manusia. Naluri alamiah yang muncul dalam diri sang subjek, atau Freud mengatakannya sebagai megalomania–perasaaan mencintai diri sendiri secara berlebihan dalam diri manusia.

Kita tak seharusnya membiarkan penguasa melakukan semacam perbuatan: ia yang mempunyai kepentingan tersendiri, membiarkan laju deforestasi tak terbendung; menelantarkan hak hidup anak-anak akibat perang; mengesampingkan prioritas-prioritas yang lebih arif. Sebaliknya, kita perlu juga perbuatan—lebih tepatnya tindakan yang masif dan preventif; yang diam-diam namun nyata dan terasa laiknya garam di lautan, atau pun tampil dipermukaan laksana panen jamur di musim hujan.

Namun, semua itu perlu mengesampingkan hasrat, sebab hasrat ialah waham. Hal demikian setidaknya bisa menjadi sebuah afirmasi yang bijaksana atau katakanlah represif sekalipun–agar tidak ada lagi tirani kekuasaan, oligarki dan semacamnya di zaman kini.

Sepatutnya juga kita tidak menampik hal-hal yang sifatnya utopis. Meski hanya menjadi sebatas angan-angan. Atau seperti pada pertanyaan berikut: Tuhan, apatah adil?

Ilhmbdhmn

2015