Di antara ribuan penonton kala itu, Marilyn Monroe melambaikan tangan sambil berdiri di jok belakang mobil convertible menuju sebuah lapangan. Ia tampak bersemangat. 12 Mei 1957, di stadion Ebbets Field, Brooklyn, New York, mula-mula Monroe hanya melambaikan tangan, tersenyum, hingga pada akhirnya ia menendang bola dengan sebuah kepercayaan.
Monroe mengenakan dress ketat, sepatu hak tinggi, dan—ini yang membuat pria terpana—di dress antara belahan dadanya, tertempel sekuntum bunga. Wanita yang menjadi simbol bomb-sex itu barangkali mafhum betul bahwa ia menjadi titik pusat dari ribuan pasang mata.
Di lapangan, dengan diapit dua orang lelaki, Monroe mengambil ancang-ancang sebelum bola itu tergelincir deras terkena runcing hak sepatunya. Setelah itu, ia tertawa sambil menyibakan rambut pirangnya: ini seperti mendefinisikan bahwa sepak bola ialah permainan yang menghibur bagi Monroe atau pun penonton. Pertandingan itu, terjadi antara Amerika Serikat melawan klub Israel, Hapoel Tel-Aviv.
Monroe mungkin tak akan tahu bahwa sepak bola, setelah ia sendiri mengalaminya meski tak lari-lari mengejar bola, suatu saat kelak akan menjadi olahraga nomor satu dunia, bagi wanita, pria, dewasa, bahkan anak-anak.
Namun, pernahkah ia tahu bagaimana ketika keadaan yang tak memungkinkan terjadi. Wanita dilarang bermain bola karena tak etis, laki-laki tak bisa menikmati pertandingan sepak bola di layar kaca, dan anak-anak yang tak leluasa bebas menampilkan skillnya?
Di negara Timur, sepak bola sempat dilarang dengan sebab musabab atas nama agama. Anak-anak tak leluasa bermain bola di negara yang terlibat perang, namun mereka masih nekat bermain walau ancaman datang.
Ini menjadi persoalan yang pelik yang harus ada jalan keluar—bukankah dari sepak bola, kita belajar tentang keadilan?
Tentang keadilan dan keadaan pelik terkait sepak bola, ada sebuah cerita dari sebuah film: Phörpa (1999). Film Phörpa atau The Cup, berasal dari negara yang kuat tradisinya: Bhutan. Dalam Phörpa, bagaimana kita dapat belajar menerima sesuatu yang menjadi pantangan. Diawali dengan pertanyaan: “apakah seorang yang sedang belajar menjadi seorang biksu yang taat dan dengan tradisi yang kuat dapat menonton final Piala Dunia?”
Mula-mula, Orgyen Tobgyal, seorang tokoh dari film Phörpa membujuk seorang penjaga asrama agar dimintakan izin kepada Kepala Biksu supaya para calon biksu dapat menonton sepak bola dalam biara. Padahal, sebelumnya, ia diam-diam dengan para calon biksu lain sempat menonton Piala Dunia di permukiman penduduk, kemudian kepergok lalu dijatuhi hukuman.
Singkat kata, izin pun didapatkan. Setelah itu, demi kecintaannya terhadap sepak bola, mereka melakukan segala cara demi menyewa saluran televisi parabola Piala Dunia termasuk dari uang saku masing-masing.
Film ini termasuk film komedi, juga mengandung kebijaksanaan. Mereka yang hidup dalam tradisi yang kuat, jauh sebelum Youdan Cup atau FA Cup digelar, tak menampik euforia sepak bola dunia yang berasal dari negeri nun jauh di sana.
Meski hanya sebuah film, namun kita tak bisa mengelak, bahwa sang sutradara Khyentse Norbu ialah seorang keturunan rahib yang tersohor dalam Buddisme Tibet. Saya paling suka tagline dari film ini: Buddhism is their philosophy. Soccer is their religion. Tentunya dengan sedikit gurauan.
Lalu, lambat laun, cerita asyik itu mulai tergerus. Dalam realitas, kita hanya dapat menyaksikan atau mendengar seseorang yang terkekang atau bahkan tertembak mati saat bermain sepak bola. Tak ada kenikmatan lagi dalam olahraga nomor satu dunia tersebut.
Akhir-akhir ini, kita diingatkan dengan tragedi penembakan seorang anak saat bermain sepak bola; dilarangnya jersey kebanggaan di kelompok tertentu; dieksekusinya pemain sepak bola Suriah oleh kelompok ekstremis; dan hal miris lainnya.
Maka, jika kita bayangkan seorang lelaki, kelompok tertentu, atau pun siapa saja yang melarang sepak bola demi ideologinya, pantaskah ia kita sebut seorang yang lembek?
Oscar Wilde, sastrawan yang termasyur itu pernah berkata: “Football is all very well as a game for rough girls, but is hardly suitable for delicate boys.” (Sepak bola adalah permainan yang bagus untuk anak-anak perempuan yang tangguh, tapi bukan untuk anak-anak laki yang lembut). Mungkin itulah barangkali sepak bola bukanlah “kejahatan perang”, meski dalam permainan memperebutkan sebutir bola; berusaha saling adu; sikut-menyikut; dan tentunya menunjukkan kelihaian dalam mengolah bola. Setelah berakhir, mereka bersalaman.
Tapi, tak semua orang di dunia ini sependirian. Yang mengasyikkan belum tentu baik, yang baik belum tentu benar. Lalu, masih perlukah kita untuk terus melawan “tameng” berlabel tradisi itu? Kita mungkin bisa menjawab “ya”, bisa juga menjawab “tidak”, sebab dengan masih adanya pemikiran yang diapit oleh cita-cita yang “katanya” mulia itu, kemerdekaan dalam bermain sepak bola agaknya masih terasa ganjil.
***
Seorang anak asal Israel dalam cerita Sepatu karya Etgar Keret mendapatkan sepatu bola dari ibunya. Tentu hal ini sangat menyenangkan bagi anak-anak, namun celakanya sepatu itu merek Adidas.
Ada kebencian yang mendalam pada dirinya untuk sepatu itu dan semacam ambivalensi: Yahudi dibunuh Jerman, Adidas buatan Jerman. Dan sang kakek mati karena Holokaus. Lalu, ia menyukai sepak bola dan memakai sepatu made in Jerman.
Tapi, apalah arti semua itu, jika bagi sang tokoh anak-anak sepak bola sudah melekat dalam hatinya. Kebencian yang mendalam itu pun sirna dan terlupakan. Seperti katanya: “pada awal permainan aku tidak akan menendang dengan ujung sepatuku agar tak menyakiti kakek.”
Tapi, ia lupa kata-kata seorang lelaki di museum Volhynian bahwa orang cenderung melupakan. Dan itulah yang terjadi meski ia memenangkan pertandingan serta mencetak beberapa gol dengan sepatu itu.
Sepatu adalah cerita yang sederhana, ada satire yang muncul dan terasa menggelitik.
Kini saya rasa, kita harus belajar dari anak-anak. Tentang mencintai sesuatu tanpa berlebihan. Cukup melakukan apa yang mereka suka, dengan tenang, dengan nyaman tanpa ada perdebatan “siapalah yang paling benar”.
Lantas, bisakah kita mengambil secuil kisah Monroe atau pun film Phörpa? Di mana ketika sepak bola telah menjadi harapan yang mutlak menyatukan kecintaan satu sama lain terhadap sepak bola, atau pun menonton bersama dengan orang yang berbeda dalam hal kesukuan, agama, ras dan antar-golongan, tanpa adanya kutukan yang menyerang, juga dibebani dosa yang mengancam.
Ilhmbdhmn
2016