Udar Rasa

Saya memandangi pohon-pohon itu. Tiba-tiba saya terkesiap, bagaimana pohon itu masih bisa berdiri kokoh dengan akar yang kuat namun berkulit rapuh? Kemudian saya menghampiri dan berdiri di bawah pohon yang tak hanya rindang itu, namun elok dipandang.

Waktu menunjukkan kira-kira pukul 07.30 WIB. Seperti biasa, sebelum pekerjaan dimulai, saya memanjakan pori-pori kulit agar diresap ultraviolet sang matahari.

Mula-mula saya sendirian. Hanya diam di seberang kantor. Tapi burung-burung gereja tak tinggal diam. Apa gerangan burung-burung itu berani datang dan hinggap di jalanan, didekat pohon rindang?

Pada mulanya saya hanya mengamati. Sampai saya tahu, burung-burung tak mau kehilangan momen, mereka mau menyibukkan diri di pagi hari yang saya kira lebih enak tidur dan menafikan tetek-bengek berita harian.

Pikiran membawa saya pada kesimpulan bahwa rasa indah itu memang relatif. Sebuah lukisan bunga matahari dari Van Gogh saja bisa dikatakan indah— mungkin bagi burung-burung itu, menikmati pagi sambil berjemur adalah momen yang luar biasa— dan selebihnya, saya tak dapat berbicara banyak.

Apa yang dapat diartikan dari pohon yang lapuk, burung-burung, sinar matahari yang hangat dan lukisan Van Gogh adalah semacam perenungan, bila yang indah dapat saja dirusak dan dihancurkan.

Pukul 07.45 WIB, saya kembali masuk. Memulai lagi merangkai pikiran-pikiran yang tercecer. Memikirkan lagi tentang Harimau, orangutan, yang terlibat dalam pekerjaan keseharian saya. Memikirkan lagi betapa hebatnya manusia membuat perselisihan.

2016

Fenomena Akhir Zaman

lukisan Edvard Munch
Lukisan Edvard Munch: “The Scream” pada tahun 1893

Fragmen I: Dongeng

Ada anak bertanya kepada ibunya tentang sebuah kehidupan di masa lalu. Sang anak mencecar pertanyaan kepada ibunya dengan antusias: bagaimana cara Bumi berputar, siapa yang memberinya makan, apa makanan favoritnya, siapa saja temannya, dengan siapa dia menikah, berapa jumlah anaknya, hingga pada usia berapa dia mati.

Sang ibu tentu saja menggebu-gebu ingin menjawabnya. Kepada anaknya, dia meminta agar memasang kupingnya baik-baik.

Segera, sang ibu mendongengkan sebuah cerita di masa lalu. Begini kisahnya.

Fragmen II: Alkisah

Aku pikir, mereka sudah lelah. Lihatlah udara, sejuknya tak lagi terasa. Para kabut hitam sedang gembira, barangkali mereka sedang merayakan pesta: di kota maupun desa. Sebab, mereka menjelma, dan merasuki tubuh sang mamalia.

Sementara, Sihijau susah sekali menguning, Sikerbau disulap menjadi Simesin dan atap-atap pencakar langit itu semakin tinggi. Induk kebun tak lagi menjadi hiasan, mungkin hanya sebuah kiasan. Lihatlah cakrawala di atas sana, ia mulai keriput. Gumpalan awan tak lagi terasa empuk. Pori-porinya mekar, menghitam, bahkan terlihat kusam.

Tanah mengering kehausan. Jika segerombolan air menerjang dari langit, ia tak mau meresap pada tanah-tanah itu karena pohon-pohon sedang risau, sebab daunnya yang rimbun telah mengering dan juga akarnya tak melekat kuat.

Meski berjalan menurut keperluannya masing-masing, waktu tetaplah ancaman. Jika begitu terus, mereka tak akan lagi menari, seperti wanita setengah telanjang pada pesta tempo hari. Walau sekarang tak lagi sedang kemarau, ia sempat bercerita.

“Sebagian kecil dari koloni kami sudah mati, bahkan burung-burung sudah enggan singgah dan menitipkan sarangnya pada kami, mungkin mereka khawatir anak dan cucunya tak terlahir sehat, bahkan cacat.”

Musim yang usang, menelantarkan nurani dan pikiran yang gersang. Senja pun terlihat beda, ia sering memalingkan muka. Garis-garis horizontal yang melintang padanya, sedikit berkarat. Mungkin pengaruh iklim, atau memang gejala alam. Tapi, tetap saja, Sibrengsek yang duduk di kursi putar itu masih saja tertawa terkekeh-kekeh. Padahal, gumpalan es yang berada jauh di sana, sudah mulai mencair. Dan pundi-pundi sibrengsek itu menggunung. Mereka terus menggerus, hingga Sibumi terasa mual. Walau begitu, penghuni asli sana yaitu Siputih yang antik dan berbulu lebat halus itu tak pernah mengeluh. Pun dengan dinginnya, yang sudah mulai menghangat gegara monster globewrning. Sungguh, monster yang sangat mengerikan!!!

 ***

Aku kira, Sibumi berputar sangat lambat. Atau mungkin tak berputar sama sekali. Ia sudah renta, napasnya saja bau seperti muntahan kolera, rambutnya mulai beruban, kulitnya pun kendor. Seharusnya ia sudah tak lagi pantas mewadahi para penghuni mamalia itu. Ya, mamalia yang serabutan dan penuh karut-marut. Sibumi sedang sekarat; tolonggg, tolonggg… namun tak syak lagi, ia tetap diacuhkan bahkan pura-pura tak di dengar. Mereka masih saja mendengus, dan selalu saja berseru; Mari kita selamatkan blablabla, agar tidak blablabla, jagalah blablabla demi kelangsungan blablabla.

Wajar saja jika Sibumi mulai sekarat, walau ia tetap kuat. Tapi ya tetap saja, Sibumi sedang sekarat, laksana raksasa yang sudah melakukan maksiat sesat. Setelah berangsur memburuk, bisa saja bumi menjelma ibu tiri. Jika sedang kumat, laut pun merangkak pada daratan, semesta tak henti-hentinya menitikkan air mata, gunung dirundung batuk berdahak dan asap yang super pekat.

Lupakan sejenak risalah mereka, mari kita tengok replika surga. Sambil mengusap-ngusap dada. Lalu, Apa kabarnya ia, sudah lama sekali tak bersua. Semoga ia tak sedang dirundung duka.

Sejak beberapa tahun yang lalu saat baru mengenalnya, ia sangat bongsor dengan berjuta-juta hektare-nya. Namanya Sihijau. Rambutnya gondrong (memang ia terlihat subur saat itu) dan jika ia gondrong seperti itu, banyak yang jatuh cinta padanya. Sebab, saat bersamanya akan terasa hangat, nyaman, dan menenangkan. Walau ia terlihat menyeramkan. Tapi jujur sajadengan penampilan seperti itu (gondrong dan bongsor) jika ia diam, maka ia akan menjelma seperti alunan Chopin: hanyut dalam irama dan tenggelam dalam nada-nada.

Pernahkah kau merasa sendiri dalam sebuah keramaian? Atau kau memang seorang penyendiri? Mungkin di replika surga ini, kau dapat menghempaskan lelah-mu. Menyingkirkan sepi yang kau alami, dengan syair-syair Jalaluddin Rumi.  Sihijau yang gondrong ini menyimpan  keanekaragaman hayati, seperti Sicoklat yang kemerahmerahan, berbagai jenis Sisayap, dan bermacam-macam Siflora dan Sifauna yang unik dan antik lainnya.

Katanya replika surga ini adalah paru-paru dunia, sebab ia dapat menyelamatkan Sibumi. Sihijau dapat menyimpan air hujan yang kemudian diserahkan menuju temannya yaitu Sisungai lalu menjadi sumber kehidupan. Sihijau juga jago sekali menanggulangi musuh yang bernama Eroshit. Dengan wibawanya yang kalem Sihijau dapat mengatur iklim Sibumi. Sungguh peranan yang baik dan bijaksana.

Rasanya, yang terdengar kini, Sihijau mempunyai musuh bebuyutan. Ya, memang berita ini sudah lama berhembus, bahkan para aktivis telah menyerukan hal ini. Tapi, mungkin juga belum ada yang tahu siapa nama musuhnya. Setelah media elektronik bernama televishit mengumbar sana-sini, sejumput asa menyeruak jika Sihijau mulai lelah.

Musuh itu bernama“deforestashit”, ya, dialah  musuhnya. Makhluk apa lagi itu? Aku pikir bukan makhluk, namun sejenis kepingan neraka yang mungkin sudah banyak yang mengenal dirinya. Ia liar, ganas, brengsek, arogan, pengecut, bahkan tak tahu malu. Jika sudah begitu, Sihijau bagai kepingan surga yang terbelah menjadi replika neraka.

Pernah suatu saat, sekawanan kepingan neraka lainnya membuat Sihijau terlahap Sijagomerah. Ia mulai rapuh. Dan konon, katanya, di balik peristiwa ini ada sejumlah kepentingan Sitangantangan brengsek. Siapa pula ia? Ah, hiraukan dia. Dan kini replika surga itu tak lagi bertaring. Rambutnya agak gundul. Dan badannya mulai kerempeng. Para aktivis gencar menanam benih, untuk kelangsungan hidup Sihijau (walau sebenarnya untuk kepentingan Sibrengsekbrengsek itu juga) dan semoga puluhan tahun selanjutnya bayi kecil itu lahir dan siap melanjutkan generasi induknya.

Fragmen III: Risalah

Aku rasa,  inilah dunia yang fana. Tuhan pun ditanya malaikatnya.

“Yang Maha dari segala Maha, yang kuasa dari segala kuasa, saya hendak bertanya, sampai kapan kau membiarkan mereka? Yang saling mencabik sesama, laksana laparnya serigala,” katanya.

Tak ada jawaban yang pasti dari sang Tuhan.

Malaikat-pun terdiam.

Di tempat berbeda, tepatnya di laut terdalam. Sesosok bernama Siiblis tertawa. Tangannya mengepal.

“Kita menyesatkan mereka, tanpa berbuat apa-apa,” katanya.

“Lantas, apa yang hendak kita lakukan? Mereka yang menyesatkan sesama umatnya, yang sesungguhnya itu pekerjaan kita,” ujar seorang kurir Siiblis pada Tuannya.

Daaaaghhhh!!! Kepalan tangan Siiblis menggebrak meja pualam.

“Ha ha ha ha! Dasar bodoh, itu pertanda baik untuk kita. Mereka menggantikan peran dan alih fungsi pekerjaan kita. Barangkali mereka sadar, bahwa mereka diciptakan hanya untuk menikam sesama. dan bahwasanya, pekerjaan mereka adalah mulia bagiku. Dengan begitu, kau bisa ambil cuti untuk pekerjaan-mu,” kata Siiblis.

Sang kurir tersenyum, sebab ia mendapat cuti. Biasanya, sang kurir selalu lembur. Sekarang ia sedikit mengganggur.

Fragmen IV: Harapan

Aku harap, semua dapat berjalan sebagaimana mestinya. Cakrawala memberikan ronanya, senja tak lagi berkarat, Sibumi takkan cepat sekarat. Di darat, Sihijau itu akan cepat berangsur pulih dari sakitnya, pembantaian terhadap Sicoklatkemerahmerahan pun segera berakhir, juga bagi Sibelangkuninghitam, Sibelalai, Siberculasatu dan yang lainnya. Berhentilah membantai mereka untuk kepentingannya, juga yang memelihara mereka untuk mainannya.

Sanggunung tertidur perlahan walau kadang-kadang mengeluarkan batuknya (tapi itu baik bagi kelangsungan sekitarnya), biarkan Sipohon menjulang tinggi menebar keasrian. Dan tolong, bagi para Sibakalcaloncalon itu janganlah memaku Sipohon untuk memasang  wajah kampanyenya bagi kepentingan politiknya.

Di laut, kononnya Simonster unik yang masih tersisa di dunia yaitu Sipenyu, sedang risau karna telurnya sering dicuri oleh Sibrengsek. Begitu juga sampah-sampah yang sembarangan.  Juga sang Dewa laut yang bernama Sihiyu yang sedang terancam populasinya karena diincar siripnya untuk dikonsumsi Sibrengsek.

Tapi tenang, bernapaslah selagi bisa dan eluslah dada sejenak untuk menunjukkan keprihatinan.  Tapi tidak dengan Siberuang, ia tidak bisa tenang. Sebab habitatnya dibagian utara bumi, mulai terganggu oleh perlakuan Sibrengsek terhadapnya. Pun dengan es yang mulai mencair karena pemanasan monster globewrning.

Fragmen V: Apatah

Sungguh ironis. Pantas saja, jika Siiblis mencutikan semua kurirnya dari pekerjaannya. Dan Tuhan tetap saja diam. Atau ia sedang merencanakan sesuatu. Siiblis menggerutu, jika hal ini terus menerus berlangsung, lantas apa yang akan ia kerjakan? Kini Sibrengsekbrengsek itu menjelma bagai Siiblis. Dan Tuhan masih saja terdiam di balik rencananyadi fenomena akhir zaman.

Ilhmbdhmn

2013

“Sebuah keprihatinan yang mendalam.”