Ibarat Menunggu Godot

Siapa saja yang pernah membaca Menunggu Godot, tentu mafhum betul bahwa karya sastra ini sedikit menggambarkan tentang sebuah harapan yang tak kunjung berakhir.

Menunggu Godot adalah sebuah lakon yang ditulis oleh sastrawan Irlandia Samuel Beckett pada 1952. Lakon ini bercerita tentang empat karakter, termasuk Vladimir dan Estragon, menunggu kedatangan seseorang bernama Godot yang sebenarnya belum tentu datang, bahkan tidak pernah datang sama sekali.

Sambil menunggu, mereka terlibat dalam pelbagai diskusi panjang. Dengan harapan, Godot segera datang. Namun, penantian panjang Vladmir, Estragon, dan dua tokoh lain Pozzo dan Lucky terhadap Godot hanyalah sia-sia.

Lalu, apa pembelajaran yang didapat dari cerita yang sudah dipentaskan berkali-kali di hampir seluruh dunia ini? Kisah ini hanyalah refleksi dari simbol penantian, seperti penantian Pemerintah Indonesia terhadap perubahan sektor transportasi dan logistik Tanah Air.

Beberapa waktu lalu, para pelaku usaha transportasi dan logistik di Indonesia mengunjungi Thailand guna mengikuti serangkaian acara salah satunya Thailand International Logistics (TILOG) 2018.

Para pelaku usaha menyadari, bahwa Indonesia sedikit tertinggal dari Negeri Gajah baik terkait dengan transportasi dan logistik. Oleh karena itu, Indonesia perlu belajar.

Apalagi, pemerintah berharap menjadi hub logistik Asia Tenggara pada 2019. Perlu diingat, Thailand pun tengah berjuang untuk pencapaian yang sama dengan Indonesia.

Bisnis mencatat Thailand menargetkan menjadi hub di Asia Tenggara. Negara itu juga menargetkan penurunan biaya logistik yang saat ini masih 14% dari produk domestik bruto menjadi 12%.

Selain itu, menargetkan pertumbuhan ekspor meningkat 5% per tahun, dengan minimal 30 produk yang diekspor adalah lima produk terbaik di dunia.

Harapan itu pun didukung dengan kenaikan posisi Logistics Performance Index (LPI) 2018 se-Asean menjadi peringkat dua Asean atau naik satu peringkat dari 2016. Negara itu pun sudah menjadi hub logistik seperti produk halal dan suku cadang.

Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan salah satu faktor yang membuat Thailand memperbaiki posisinya dan menggeser Malaysia adalah banyaknya investasi yang masuk dan pembangunan infrastruktur yang telah diselesaikan.

Selain itu, komitmen Pemerintah Thailand dalam hal melaksanakan cetak biru yang telah lama mereka sepakati begitu konsisten, kendati telah berganti pemerintahan dalam 10 tahun terakhir.

Menurutnya, menjadikan Indonesia sebagai hub Asia Tenggara setara Singapura, Malaysia dan Thailand bukan perkara mudah. Namun, bisa saja terlaksana apabila pemerintah Indonesia dapat terus bekerja keras.

“Perlu kerja keras dan kita bisa menjadi hub logistik dalam beberapa komoditas dalam 3 tahun ke depan saja sudah bagus,” katanya, belum lama ini.

Kementerian Perhubungan memang merencanakan menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai hub internasional.

Yukki menilai kebijakan pemerintah seperti adanya Pusat Logistik Berikat (PLB) guna mewujudkan hub logistik Asia Tenggara juga dinilai belum cukup.

Menurutnya, pemerintah harus menjadikan Indonesia lebih berdaya saing terutama mendukung ekspor. Bukan saja hanya industri besar, tapi juga UMKM mengingat mempunyai potensi besar.

Pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Yukki menilai kinerja sektor logistik terlihat membaik seiring naiknya posisi Indonesia pada LPI 2018 yang dirilis Bank Dunia ke peringkat 46 dari urutan sebelumnya pada 2016 yaitu 63.

Namun, catatan negatifnya adalah peringkat Indonesia di antara negara Asean malah turun satu peringkat ke posisi lima. Yukki mengindisikan bahwa negara lain memperbaiki kinerja sektor logistiknya, satu di antaranya adalah Vietnam.

TRUK ODOL

Pada sektor transportasi, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) meminta pemerintah Indonesia meniru konsep manajemen angkutan barang dari negeri Thailand.

Apalagi, Indonesia kini tengah gencar-gencarnya untuk membasmi angkutan overdimensi dan overload (ODOL) yang merugikan negara Rp43 triliun setiap tahunnya.

Wakil Ketua Umum DPP Aptrindo Kyatmaja Lookman menyatakan mendapatkan penjelasan terkait dengan sistem penimbangan kendaraan di jalan tol yang diatur oleh Departement of Highways Thailand.

Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok terkait penyelenggaran uji kendaraan berkala atau KIR di Indonesia dan Thailand.

Kyatmaja mengatakan penindakan pelanggaran uji KIR di Thailand terbilang sangat kejam lantaran diatur begitu sangat ketat. Apabila kedapatan tidak sesuai aturan, imbuhnya, negara Thailand mengenakan sanksi yang diberikan terhitung sangat berat.

“Karena bila kelebihan satu kilo saja bisa disidang. Denda maksimalnya saja Rp4 juta, kalau di Indonesia kan hanya Rp500.000. Atau bisa dikenakan kurungan 6 bulan, sementara di Indonesia tidak ada kurungan,” katanya.

Kyatmaja mengatakan ada persamaan antara Indonesia dan Thailand yaitu sama-sama memiliki kelas jalan atau pengelompokan jalan.

Sayangnya, di Thailand tidak menganut Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) seperti halnya Indonesia.

Jadi, paparnya, Thailand menyeragamkan daya angkut kendaraan yang sama. Namun, kendaraan akan ditilang jika melanggar kelas jalan. “Kalau di kita kan rambu kelas jalannya enggak ada, tapi daya angkutnya acak-acakan tergantung kelas jalan daerah. Itu bedanya,” ujar dia.

Maka tak heran, dengan aturan yang ada Thailand terbebas dari kendaraan overload.

Thailand sudah menerapkan sistem Surat Izin Mengemudi (SIM) dan GPS terintegrasi terhadap angkutan muatan barang. Sistem itu akan terintegrasi langsung kepada pemerintah, sehingga dapat terkontrol langsung.

“Sudah ada 200.000 sekian truk yang terdaftar. Pembuatan SIM juga dibuat oleh Kementerian yaitu Department of Land Transport, bukan kepolisian,” ujarnya.

Canggihnya, ketika truk itu dinyalakan maka dapat diketahui siapa pengendara yang menjalankannya sebab dengan sistem yang canggih itu akan terkoneksi langsung kepada pemerintah.

“”Jadi ketika truk itu jalan lalu terjadi pelanggaran seperti over speeding dan pelanggaran lalu lintas, akan terdeteksi dan diberlakukan e-tilang,” kata dia.

Oleh karena itu, dia juga meminta pemerintah memberikan kepastian hukum. Apabila angkutan barang yang tidak sesuai dengan peruntukannya di jalan yang lain maka bisa diberi sanksi tilang serupa di Thailand.

“Itu yang kita mau, sama seperti di Thailand,” katanya.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Cucu Mulyana yang ikut serta dalam kunjungan ke Thailand mengatakan baru memfinalkan laporan studi atas kunjungan tersebut.

Dia berjanji akan memberikan informasi lebih lanjut apabila laporan itu sudah disampaikan kepada Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi.

Pada akhirnya, penantian dan keinginan Indonesia terhadap perbaikan sektor logistik dan transportasi termasuk menjadikannya sebagai hub logistik diharapkan tidak seperti yang dialami Vladimir dan Estragon dalam kisah Menunggu Godot.

Kendati di sisi lain, sebenarnya dalam lakon itu terkandung harapan yang luar biasa untuk menantikan sesuatu yang saat ini belum dapat terwujud.

Ilham Budhiman
September 2018
Harian Bisnis Indonesia

Tiada Kata Akhir

Ada dua macam pejuang yang paling kuat: kesabaran dan waktu. Begitulah kata sastrawan Rusia Leo Tolstoy. Dan, kalimat itu pantas disematkan pada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Jilid IV.

Hari ini, Jumat (20/12/2019), Agus Rahardjo bersama Alexander Marwata, Basaria Pandjaitan, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang akan melepaskan jabatannya sebagai pimpinan KPK Jilid IV.

Mereka ibarat pejuang yang paling kuat. Selama 4 tahun terakhir memimpin KPK, mereka tak luput dari berbagai serangan kritik, teror, cibiran, maupun tekanan. Namun, kesabaran dan perjuangan terus mereka gaungkan.

Pun, ketika revisi undang-undang KPK disahkan dan diberlakukan 17 Oktober lalu, tiga pimpinan KPK yang saya sebut Three Musketeers: Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang habis-habisan memperjuangkan apa yang mereka yakini.

Namun, perjuangan mereka tak semanis seperti tokoh dalam novel Three Musketeers karya sastrawan Prancis Alexandre Dumas.

Biarlah cerita perjuangan itu terpatri dalam hati nurani. Sebab, cinta mereka kepada KPK adalah alat perjuangan yang tak akan habis, tak ada akhir.

Lembaga antirasuah era Agus Rahardjo dkk. selama empat tahun terakhir mencatatkan kinerja yang cukup baik. Sebanyak 87 operasi tangkap tangan dilakukan dengan total tersangka 327 orang. Operasi senyap itu berhasil menangkap kepala daerah, anggota DPR, hakim, jaksa, swasta, direksi BUMN hingga menteri. Sebanyak 608 koruptor dari berbagai unsur dan enam korporasi juga telah dijerat.

Selama 4 tahun terakhir, komisi antikorupsi telah melakukan 498 penyelidikan; 539 penyidikan; 433 penuntutan; 286 berkekuatan hukum tetap; dan 383 eksekusi. KPK juga menyelamatkan potensi kerugian negara dengan total Rp63,8 triliun serta menyetor ke kas negara sebesar Rp65,72 triliun.

Di pengujung masa tugas, Ketua KPK Agus Rahardjo mengaku telah membereskan isi ruangan kerjanya. Sebanyak tiga dus berisi buku diangkut dengan kendaraan pribadi.

Pekerjaan kecil selanjutnya mengosongkan semua data di ponsel dan komputer terkait dengan pekerjaannya di KPK. Sementara itu, cerita haru datang dari Laode ketika menerima pelukan hangat yang erat dari koleganya Saut Situmorang sebagai salam perpisahan.

Laode menyumbangkan hadiah kecil untuk komisioner baru KPK berupa kerang besar yang berisi pesan. Kerang itu ditempatkan di ruang kerjanya.

Kado terakhir berupa lukisan kolase lima pimpinan KPK Jilid IV juga diberikan pegawai KPK di pertemuan terakhirnya.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko berterima kasih pada Agus Rahardjo dkk. atas dedikasi waktu, pikiran, dan keberaniannya untuk pemberantasan korupsi.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menaruh harapan besar agar Agus Rahardjo Cs. terus berkomitmen pada pemberantasan korupsi di mana pun mereka berada.

Kini, tongkat kepemimpinan itu akan berlanjut ke pimpinan baru. Perjuangan itu akan berlanjut, dan terus berlanjut…

Ilham Budhiman
2019
Dimuat di Harian Bisnis Indonesia

TATA KELOLA SDA: Antara Penegakan Hukum, Korupsi, & Investasi

Butuh komitmen kuat dari semua pihak untuk melakukan mitigasi korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) di Tanah Air.

Khususnya, sinergi antara pemerintah dan kementerian/lembaga sangat dibutuhkan secara konkret agar kerugian negara akibat korupsi di sektor ini tidak terus terjadi.

Baru-baru ini kasus megakorupsi SDA kembali terjadi, yang dilakukan oleh Supian Hadi, Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat potensi kerugian negara akibat perkara suap perizinan tambang di Kalimantan Tengah itu mencapai Rp5,8 triliun dan US$711.000. Sungguh nilai yang luar biasa besar. Apalagi, nilai itu jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kerugian negara akibat kasus korupsi KTP-el sebesar Rp2,3 triliun dan BLBI yang mencapai Rp4,58 triliun.

Korupsi SDA oleh Supian Hadi itu hanya kalah oleh kasus PT Bank Century Tbk. yang mencapai Rp7,44 triliun berdasarkan rilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan bahwa penegakan hukum yang akuntabel terhadap praktik pelanggaran hukum oleh para pebisnis di sektor SDA masih sangat diperlukan.

Menurut Dadang, hal itu masih kerap terjadi sehingga permasalahan-permasalahan tersebut belum juga terurai.

Dadang memberikan contoh satu kasus yang bisa lolos dalam pemberian izin terhadap perusahaan perkebunan milik pengusaha Hartati Murdaya.

Dalam kasus tersebut, Hartati saat itu menyuap Bupati Buol, Amran Batalipu guna mendapatkan perizinan tanah untuk usaha sawit.

“Ini fenomena tidak sinkronnya proses hukum tipikor [tindak pidana korupsi] dengan proses pemberian izin oleh pemerintah,” kata Dadang saat dihubungi Bisnis, belum lama ini.

Belum lagi, Dadang menyoroti ketidaktegasan pemerintah yang masih sering menimbulkan konflik di lapangan, terutama bila terkait dengan konflik lahan dengan masyarakat setempat. Dadang menyebutnya sebagai penegakan hukum yang diskriminatif.

Menurut dia, apabila itu dibiarkan dalam jangka waktu yang panjang, justru akan mengganggu keberlanjutan investasi di sektor SDA. Dan, yang lebih dikhawatirkan adalah merugikan masyarakat itu sendiri.

tambang antara
Alih fungsi hutan/Antara

Manager Tata Kelola Industri Berbasis Lahan TII Utami Nurul Hayati menambahkan bahwa tahap pemberian izin usaha berbasis lahan seperti tambang, misalnya, merupakan tahap yang sangat penting lantaran pada tahap itu sesungguhnya ditentukan kepada siapa hak pengelolaan lahan diberikan oleh pemerintah.

“Pemerintah merupakan penjaga gerbang kekayaan sumber daya alam, yang pengelolaannya diperuntukkan bagi kesejahteraan umum,” ujarnya.

Dia merujuk pada kasus-kasus pertambangan yang pernah terjadi, dan yang telah menyebabkan kerugian negara, konflik tata batas, kerusakan lingkungan (erosi, kekeringan), dan korban nyawa.

TII mencatat, ada kerugian negara sebesar Rp4,3 triliun pada 2018 terkait dengan kasus Gubernur Sultra. Selanjutnya, kerugian sebesar Rp5,8 triliun dan US$711.000 pada tahun ini dalam kasus Bupati Kotawaringin Timur yang menjerat Supian Hadi.

Menurut dia, kerugian pada SDA tak hanya terjadi pada kerusakan lingkungan berupa pencemaran, tetapi juga pada kerusakan bentang alam, munculnya lubang tambang, bahkan korban nyawa yang pada data terakhir per November 2018 telah menelan 31 korban.

“Ini semakin menegaskan bahwa pemberian izin tambang selama ini dilakukan tidak secara transparan dan akuntabel, karena pemberian izin tidak melalui lelang dan pemberian izin tidak melalui tahapan uji tuntas atau kelayakan yang benar, di mana pada uji kelayakan tersebut, diberlakukannya syarat administrasi, teknis, finansial, dan lingkungan,” paparnya.

CATATAN

Transparency International Indonesia sebenarnya tak tinggal diam dalam menyikapi maraknya kasus korupsi SDA. Lembaga itu telah memberikan beberapa catatan dan mendorong agar pemerintah segera menyelesaikan masalah tersebut.

Pertama, TII mendorong agar pemerintah memberlakukan uji kelayakan (due diligence) kepada para pemohon izin secara lebih ketat. Kedua, selalu memperbarui dan membuka data serta informasi terkait kadaster dan pemegang izin yang ada pada situs ESDM (ESDM Onemap dan Minerba One Data Indonesia, MODI).

Ketiga, menindaklanjuti rekomendasi Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) KPK dalam penataan izin, yaitu segera mencabut izin-izin yang bermasalah dan mengumumkan nama-nama perusahaan, baik yang lolos uji kelayakan CnC (clean n clear) maupun yang tidak lolos (dicabut).

Keempat, mengumumkan penerbitan izin-izin di pusat dan di daerah pada situs yang terbuka (mudah diakses publik). Kelima, segera menegakkan aturan tentang penerima manfaat (beneficial ownership).

Lagi-lagi, dia mencontohkan pada kasus korupsi tambang di Kalimantan Tengah yang melibatkan Bupati Supian Hadi yang telah menjadi tersangka KPK. Dia diduga dengan mudah memproses pemberian izin usaha pertambangan (IUP) terhadap tiga perusahaan di lingkungan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dalam rentang waktu 2010—2012.

Pemberian izin tersebut, lanjut Utami, tidak dilakukan secara lelang dan tidak adanya AMDAL sebagai salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi. Pada izin tersebut menunjukkan bahwa pemberian izin diberikan melalui proses yang tidak jelas, tidak ada uji kelayakan (due diligence) yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Sementara itu, KPK sebetulnya sudah memitigasi kasus korupsi SDA sejak 2008. Namun, nyatanya masih belum terlihat secara konkret ketika lagi-lagi terjadi kasus korupsi di sektor itu.

Bahkan, lembaga antirasuah telah mendeklarasikan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam pada 2014. Setahun kemudian, bersama 27 K/L menandatangani komitmen dari gerakan tersebut.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyatakan bahwa potensi korupsi SDA kerap menjadi sasaran di sektor minerba, kehutanan, maupun perkebunan.

“KPK concern di sektor SDA karena kami tahu sektor ini lumayan korup. Sektor ini adalah sumber APBN yang banyak menghasilkan uang,” katanya, Jumat (15/2).

Masalah pada sektor mineral dan batu bara, kata Laode, adalah terkait dengan renegosiasi kontrak KK PKP2B, pelanggaran good mining practice, penyelundupan bahan tambang ke luar negeri, penataan izin usaha pertambangan, ketidakpatuhan pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran hak-hak sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan masyarakat.

Segala upaya juga telah dilakukan antara lain melakukan sejumlah hal yang dimulai dari rapat koordinasi dan supervisi batu bara pada 2014—2017 dengan tindak lanjutnya yaitu Ditjen Minerba ESDM telah melakukan pemblokiran IUP yang dilakukan oleh Ditjen AHU KemenkumHAM.

ilustrasi mobil proyek angkutan tambang/Antara
Ilustrasi mobil proyek angkutan tambang/Antara

Menurut dia, sebanyak 2.509 IUP non-CnC yang telah diblokir Ditjen AHU. Kemudian 3.078 IUP yang SK-nya berakhir dan 2.509 IUP non-CnC yang tidak diberi layanan kepabeanan oleh Ditjen Bea Cukai dan layanan kesyahbandaran oleh Ditjen Hubla Kemenhub.

Masalah pada sektor kehutanan, lanjut Laode, adanya ketidakpastian status kawasan hutan. “Baru ada 68,29% penetapan hutan dari 125,9 juta hektare,” ujarnya.

Menurut Laode, perizinan SDA rentan suap atau pemerasan. Mirisnya, untuk satu izin hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri, potensi transaksi koruptifnya berkisar antara Rp688 juta hingga Rp22,6 miliar setiap tahun. Di sisi lain, hanya 3,18% hutan yang dialokasikan untuk masyarakat.

KPK juga sebenarnya sudah melakukan sejumlah kajian dan rekomendasi agar menutup celah-celah di sektor itu seperti kajian sistem perencanaan hutan, kajian kerentanan sistem perizinan sektor kehutanan, dan kajian mencegah kerugian di sektor kehutanan.

Rekomendasi yang disusun, lanjut dia, yakni perencanaan kehutanan antara lain inventarisasi, penetapan status dan fungsi kawasan hutan, dan tata guna kawasan hutan.

Kemudian, manajemen dan perizinan hutan meliputi sistem perizinan dan administrasi produksi kayu. Selanjutnya, pengawasan dan penegakan hukum yang di antaranya pemberian sanksi. Terakhir, kebijakan fiskal kehutanan yang meliputi kebijakan tarif PNBP serta mekanisme akuntabilitas.

Sementara pada potensi korupsi sektor perkebunan. KPK telah ikut menyusun sistem informasi perizinan perkebunan bersama Ditjen Perkebunan Kementan demi mencegah potensi korupsi di bidang perkebunan.

“Sistem ini mengintegrasikan semua data perizinan perkebunan baik legal, numerik, dan spasial,” katanya.

 

Ilham Budhiman
Harian Bisnis Indonesia, Rabu 20 Februari 2019

Budi Darma: Pengaruh Bob Dylan di Dunia Barat Sangat Besar

Masih kental di benak saya ketika awal mula berjumpa dan kenal secara langsung dengan sastrawan gaek Budi Darma beberapa tahun yang lalu. Lelaki yang umurnya sudah lebih dari setengah abad itu benar-benar hangat.

Di samping cakap menulis soal rasa getir manusia, syak swasangka, atau degradasi moral, dia juga memiliki selera humor yang kelewat asing serta memiliki rasa kagum terhadap musisi dan seniman Bob Dylan.

Saya masih simpan perbincangan pendek saya dan Budi Darma soal Bob Dylan: musisi gaek yang sama-sama kami kagumi, kendati tidak harus terlalu fanatik. Obrolan singkat ini ketika Bob Dylan dianugerahi Nobel Sastra pada 2016 lalu dan sempat menuai polemik. Berikut petikannya:

Apa pandangan Anda soal Bob Dylan?

Pengaruh Bob Dylan di dunia barat sangat besar.

Seberapa besar?

Di Indonesia kita menghormati Iwan Fals. Dan di Amerika, penghormatan orang Amerika terhadap Bob Dylan lebih besar daripada penghormatan orang Indonesia terhadap Iwan Fals.

Pantaskan Bob Dylan dianugerahi Nobel Sastra?

Ada dua tokoh non-sastrawan sebelum ini (Bob Dylan) yang pernah menerima nobel yaitu [Winston] Churchill karena pidato-pidatonya yang membangkitkan semangat tentara sekutu di seluruh dunia dalam pertempuran melawan Jerman dan Jepang waktu perang dunia II. [Ini] mirip pidato Bung Tomo dulu.

Yang lain, [ada] Bertrand Russell. Ahli matematika dan filsuf karena esai-esainya bagus. Mengenai Bob Dylan, itu sepenuhnya wewenang Swedish Academy.

Terkait polemik Bob Dylan?

Dua tahun setelah Elfriede Jelinek menerima nobel [sastra dengan] novel utamanya The Piano Teacher, dua orang jurinya menarik diri karena menurut mereka, penilaian Swedish Academy keliru dan tidak sepantasnya Jelinek mendapat nobel.

Artinya?

Sebagian juri Swedish Academy bukan juri tetap, tapi standing committee. Bisa ganti sesuai dengan penunjukan Swedish Academy.

Anda suka dengarkan Bob Dylan?

Ya, suka, juga suka Iwan Fals dan Ebiet G. Ade.

*Tulisan saya muat lantaran tahun ini penerimaan Nobel Sastra ditunda akibat laporan skandal seks dan akan dianugerahkan kembali pada tahun 2019 mendatang.

Stasiun Kota J

Jika mata seorang lelaki menatap tajam kepada seorang wanita, ketahuilah bahwa ada dua kemungkinan. Pertama, ia memang benar-benar tengah jatuh cinta. Kedua, ia sedang membangun nafsu birahinya. Dua kemungkinan besar itu memang bisa saja terjadi.

Di sebuah stasiun kota J, ada seorang lelaki yang tidak bisa disebutkan namanya tengah menatap seorang wanita dengan nikmat. Tatapan itu lurus tanpa putus dengan mata hitam bulat.

Wanita yang diseberang peron itu lamat-lamat membalas tatapan tajam seorang lelaki dengan matanya yang sayu, kekuningan dan kering. Mereka paham betul bahwa adu tatap ini bukanlah sebuah kompetisi, bukan juga ajang pencarian bakat.

Beberapa orang di sekitar peron mulai menikmati dan menyaksikan saling tatap kedua insan manusia itu. Menurut pengakuan seseorang, mata lelaki itu menyala-nyala bagai api. Sedangkan kata seorang penjaga stasiun, justru mata wanita itu yang menyala-nyala tanpa henti.

Tiga jam berjalan keempat tatapan mata itu tak juga berhenti. Bahkan, cara pandang mereka kini berubah: tanpa berkedip. Satu hal yang diyakini orang-orang disekitar peron adalah kedua insan itu sedang dimabuk cinta. Namun, pertanyaannya, siapa yang sedang jatuh cinta, dan siapa yang tengah membangun nafsu?

Orang-orang yang mulai terasa terganggu berencana melemparkan mereka ke rel kereta api yang sedang melaju, sedangkan bagi yang tidak setuju lebih baik dibiarkan saja hingga waktu ajal datang sebab kedua orang itu juga tidak menganggu.

Kemudian kesepakatan muncul apabila kedua orang itu masih seperti itu hingga waktu menujukkan pukul tiga dini hari, maka melemparkannya ke sebuah rel adalah jalan yang tepat.

Salah satu penjaga stasiun dengan tangannya yang kekar diberi kepercayaan untuk menjaga mereka, sekaligus bertugas sebagai algojo apabila mereka benar-benar akan dilempar.

Di pengujung waktu, sebelum pukul tiga dini hari, salah satu di antara mereka akhirnya mengalah diri. Alasannnya, cinta dan nafsu nyatanya sama. Kalau dibiarkan, tentu menjadi dosa, apabila berdosa maka sengsara, apabila sengsara, maka tersiksa, apabila tersiksa bisa terjerumus ke neraka.

Ilhmbdhmn
0.57 WIB

Konser

Di sini, ada ruangan luas tak terbatas namun tak dipakai seni berkreativitas. Di sana, ada ruangan pas dan terbatas, namun dipakai segala macam aktivitas, terutama konser musik.

Memang, tak semua di sini begitu. Dan tak semua konser musik diadakan di tempat luas. Lagi pula, untuk apa merancang konser tanpa meraup sebuah untung?

Terkait ini, seorang teman memberi pernyataan. “Pertunjukkan musik, baik mainstream atau indie pada intinya sama: meraup duit sebanyaknya. Sponsor di sana sini. Kalau mau untung, ya, begitu, tapi kalau mau buntung, ya, bikin acara kolektivan di studio dengan sound pas-pasan,”

Saya tak tahu apakah benar pernyataan teman saya itu. Saya tak tahu pasti.

Saya pernah pentas dalam skala besar atau kecil—bukan maksud menyombongkan diri—dan memang, sedikitnya ada dua perbedaan yang mendasar.

Pertama, dalam skala kecil, sebuah konser biasanya diadakan di studio musik berkapasitas kurang lebih seratus orang, bahkan bisa lebih. Tapi, siapapun itu tak menjamin ia bisa tahan lama-lama. Konser ini biasa disebut studio show.

Apa pun kualitas sound yang tersedia, di sini lah band kelas ‘menengah ke bawah’ diharapkan bisa unjuk gigi musikalitasnya. Band dengan kelas ini jangan harap bisa main pamungkas. Sebab, band pamungkas biasanya diisi oleh bandband ‘kelas menengah ke atas’.

Main di pertengahan pun sebenarnya sudah syukur, yang sangat dihindari biasanya main saat awal acara. Maka, nepotisme melobi panitia adalah salah satu jurus yang memungkinkan untuk dilakukan agar bisa main di waktu yang diinginkan. Apalagi, bermodal kekerabatan.

Sementara itu, dalam skala besar, memang agak istimewa: di sini tak ada saling sesak dengan penonton saat konser, sound yang lumayan, dan tiap band kadang-kadang “banyak maunya” serta mulai terjadinya “star syndrome”.

Kedua, dalam skala kecil, kadang kala suatu acara diprakarsai oleh komunitas kecil. Atas nama kolektivitas tiap band diharuskan membayar, sponsor pas-pasan—itu pun hanya dukungan brand teman sendiri dengan uang yang tak memadai.

Dalam skala besar, tentunya kita tak usah membayar, bahkan kita sendiri yang dibayar. Sponsor berderet-deret, dari produk susu sampai rokok, dari provider hingga perbankan.

Maka, ini juga yang menjadi pertanyaan: Adakah keuntungan di konser skala kecil itu?

Agaknya, di situlah perbedaan mendasar antara konser skala kecil dan skala besar. Tapi, tampaknya semua band indie hebat pasti merasakan dua skala itu. Burgerkill, Jasad, Forgotten sampai band yang akan mematangkan diri: Billfold atau Revenge The Fate.

Di ruang terbatas, dalam skala kecil itu, tiap band punya kiat tersendiri untuk menarik massa dan dikenal. Membagikan stiker ketika konser ialah cara terbaik dan terampuh selama yang saya ketahui. Apalagi, jika band tersebut musikalitasnya jempolan dan didukung komunitas. Praktis, mereka lambat-laun akan melesat dan tak ragu konser dalam skala besar.

Barangkali dalam skala kecil ini lah proses selektif secara tak langsung terjadi.

Tapi, ada sikap yang memang menjadi prinsip dan ideologi band itu, terbenturnya antara idealisme dan eksistensi acap kali menjadi jurang yang amat dalam. Seorang teman berkata bahwa ia tak ingin dikenal, cukuplah dalam lingkaran komunitasnya. Ada semacam protes kecil, katanya. “Protes apa?” Saya tanya. “Protes mendominasi.” katanya.

“Protes mendominasi?” Saya diam.

Saya tak tahu, “dominasi” apa yang ia maksud. Saya tak menanyakannya lebih lanjut. Secara subjektivitas, saya mempunyai kesimpulan sendiri.

***

Ada macam-macam ruang kolektif dan alternatif bagi siapa saja yang benar-benar ingin bermain musik. Keterbatasan ruang itu diakali berbagai cara, misalnya, di kampus saya dulu, konser skala kecil ini dipentaskan di sebuah ruang terbatas dengan luas beberapa meter persegi.

Di sebuah ruang dengan lantai berbahan keramik itu lah siapa saja dapat menampilkan diri. Tentunya dengan lugas, ruang terbatas dan gejolak jiwa yang bebas. Daya tariknya justru gairah kolektivitas itu sendiri: ada jiwa ‘spirit’ di dalamnya, “sumbangan” berbagai peralatan dengan segala keterbatasan dan segala kemungkinannya.

Konser-konser seperti itu pernah suatu kali dipentaskan pada stasiun televisi nasional. Hanya beberapa waktu. Di saat itulah menjadi sebuah momen bagi band indie untuk menembus pasar. Tapi, muncul di televisi bukanlah suatu jaminan mutlak.

***

Suatu waktu, sekitar empat atau lima tahun lalu, saya pernah diseret oleh dunia maya ke sebuah channel YouTube NPR Music. Itu akibatnya, jika kadang-kadang, kita dibuat penasaran pada suatu hal tertentu.

Di channel itu, ada sebuah konser kecil bernama: NPR Music Tiny Desk Concert. Dengan sajian unik dari yang jarang tampil dan pernah tampil di TV, dari yang sering terdengar hingga jarang terdengar, dari yang biasa saja sampai luar biasa.

Di ruang terbatas itulah mereka konser rata-rata secara akustik dengan berbagai macam genre (namun saya tak menemukan metal di sini). Bandband atau solois Eropa Utara biasanya menarik perhatian saya: Olafur Arnald, Keaton Henson, Aurora atau selebihnya bisa lihat langsung channelnya.

Di sana juga, bagai ruang alternatif baru bagi pencarian musik yang berkualitas. Saya melihat Aurora di sini dan saya tertarik menelusurinya lebih jauh.

Di ruang yang di konsep layaknya perpustakaan musik itu para penonton dapat menikmati dengan khidmat. Tentu saja, pada intinya ialah mendapat referensi musik baru.

Pada mulanya, saya khawatir andaikata tidak bisa menemukan sesuatu yang baru terhadap hal semacam itu di negeri ini. Namun, dugaan saya salah. Ekspresivitas muncul lebih jauh sebelum ruang terbatas itu ada.

Ilhmbdhmn
November 2016

Orang-orang yang Malang

“Hidup hanya menunda kekalahan”. Itulah kata-kata yang Chairil Anwar tulis dalam sajak dera-derai cemara pada 1949. Namun, hidup juga bisa menuntaskan kemenangan, bagai wakil rakyat di parlemen yang mendapat jatah kursi perwakilan. Kemenangan itu, sekonyong-konyong telah menjamin hidup tak akan kalah, tak akan tertunda; kemenangan itu sampai mati-matian akan dipertahankan.

Kemenangan dan kekalahan bagai dua sisi mata uang. Para anggota DPR bisa saja nyerocos ke sana kemari beretorika, mengantuk dan tertidur saat rapat. Sedangkan nun jauh di sana, para tukang becak mengayuh ke sana kemari mengantar penumpang, bermandikan peluh setiap saat.

Waktu itu, Sabtu 23 Januari 2016, saat matahari belum sepenuhnya naik, seorang tukang becak tertegun di dalam becaknya yang usang di Jalan Cisangkuy Bandung. Ia seorang tua, rambutnya kusut tak terurus dengan dua mata sayunya: saya lihat itu.

Waktu berselang, seorang tua itu keluar dari tempat pencarian nafkahnya. Berjalan lurus dari hadapan becaknya, ia terus berjalan, terus, terus dan terus. Saat terhenti, ada sesuatu yang menakjubkan siang itu, seorang tukang becak yang kurus kering membantu gelandangan tua yang sedang kesusahan memotong sebatang kayu dengan sebilah pisaunya.

Tak lama, ia pun kembali pada becaknya, mengambil alat perkakas kecil dan mencoba memotongnya: tak berhasil. Lantas ia berjalan ke tempat seseorang yang sedang mengamatinya, ke sebuah warung kecil yang dikelilingi beberapa ekor kuda. Ia meminjam sebilah golok pada pemilik warung itu: ia berhasil.

Lalu apalagi yang dapat ia kerjakan selain membantu?

Siang menuju sore, namun panas tak pernah enggan untuk pulang. Hanya beberapa saat setelah berselangnya waktu. Ia tak khawatir untuk kehilangan rezeki hari itu. Ia memang tua, namun kemampuan dan tenaganya seperti anak muda. Ia buktikan ketika memotong sebatang kayu untuk gelandangan tua itu–yang tidak lain dan tidak bukan sepotong kayu itu guna keperluannya berjalan.

Akhirnya, panas pun reda dan memang sudah sepatutnya begitu: hari menunjukkan pukul tiga sore. Di sore yang penuh lalu-lalang kuda pemakan rumput dan kuda besi peminum bensin, ia menunggu pelanggan tanpa takut tersaingi teknologi. Ia tidak takut riwayatnya seperti Sukardal, seorang tukang becak asal Bandung yang sumber pencarian nafkahnya disita petugas pada 2 Juli1986. Sukardal mungkin telah kalah oleh kehidupannya sendiri, ia tak dapat menunda kekalahan itu: ia memilih gantung diri.

Menunda kekalahan? Bisakah?

Barangkali, Sukardal ingin melawan kekalahan itu, sebelum pada akhirnya ia menyerah. Ia mungkin sadar tak akan menang, sebab orang kecil seperti ia adalah orang-orang yang malang.

Menjadi tukang becak rasa-rasanya memiliki kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Ia bisa hidup, membeli beras, membekali uang untuk anak istri atau mencicil perabotan rumah dari hasil keringatnya sendiri—semata-mata untuk mencari nafkah.

Seorang pengayuh becak tua, seperti yang telah diceritakan di atas, akhirnya memiliki penumpang yang diam-diam telah mengamatinya. Segera ia menarik becaknya yang usang dan mengayuhnya dengan semangat.

Seorang pengayuh becak tua itu barangkali telah mampu melawan zaman. Ia pertahankan becak itu yang telah menemaninya mencari sesuap nasi dari tahun 1975: tanpa rasa hina juga beban penderitaan. Membantu orang lain bukanlah pekerjaan sampingan, “ah eta mah kawajiban we..” katanya dengan napas naik turun.

Mencari mata pencaharian adalah soal bagaimana seseorang mampu menghadapi hidup tanpa merasa kalah. Tak ada yang disesalinya sebagai tukang becak walau zaman telah berubah. Hanya beberapa orang yang mau memakai jasanya. Di antara bisingnya suara-suara kendaraan mewah di jalanan kota Bandung, becaknya yang usang terus meluncur di atas aspal. Dan di usianya yang telah 75 tahun, ia belum tahu sampai kapan akan mengayuh becak: becak yang menjadi sumber kehidupannya walau telah usang; walau zaman lambat laun akan menyingkirkannya, seiring di makan usia.

Mungkin para anggota parlemen tak perlu capek-capek mengayuh becak, panas-panasan dan mencari penumpang ke sana kemari. Pekerjaan duduk, menonton video, dan tidur ketika rapat di ruang ber-AC adalah suatu “kemenangan” yang luar biasa.

Para tukang becak seperti Sukardal atau seorang tukang becak tua di atas adalah potret manusia biasa yang memiliki rasa takut jika becaknya disita petugas. Tapi toh rasa takut itu kadang kala tak dapat diatasi, yang lantas membuat Sukardal mati gantung diri. Namun, bila ia percaya hidup bukanlah menunda kekalahan, ia tidak termasuk orang-orang yang malang. Sebab hidup, kata Soe Hoek Gie, adalah soal keberanian.

*untuk bapak tukang becak di dekat taman lansia bandung

Ilhmbdhmn
2017

May The Force Be With You… Princess Leia…

May The Force Be With You

Star Wars

Adakah manusia yang dilahirkan secara lahiriah lalu tiba-tiba bersifat “Dark Side”? Atau jika memegang prinsip atau teori tabula rasa, adakah ia suatu saat dapat berkecenderungan terhadap sisi buruk itu?

Peperangan antar galaksi tersaji dalam Star Wars. Seolah-olah peperangan itu tak mengenal batas. “Pada zaman dahulu, di galaksi yang sangat jauh..” tulis kalimat pada awal film.

Di galaksi yang sangat jauh itulah Carrie Fisher bertarung habis-habisan melawan kekaisaran Galactic. Namun, ia bukanlah seorang Carrie Fisher dengan selera humor yang tinggi pada tiap wawancaranya, ia menjelma sebagai Putri Leia yang anggun dengan gaya squash blossom pada rambutnya.

Pertarungan di galaksi itu memang menampilkan dikotomi antara Force kebajikan dan kejahatan. Atau “sisi buruk” dan “sisi baik”. Dualisme itu bukan hanya terjadi di galaksi, tetapi di alam semesta—di manapun itu.

Adalah kesadaran moralitas yang menentukan dualisme itu: antara kebajikan dan kejahatan, kedengkian dan kekaguman. Putri Leia memang berpihak pada “sisi baik”, namun kita tak pernah tahu seperti apa selanjutnya, laiknya Anakin Skywalker yang terjerembab ke “sisi buruk” lantas menjelma sebagai Darth Vader!

Sementara itu… di Bumi…

Saya tak tahu bagaimana dengan manusia kini. Toh hanya orang itu yang dapat menentukannya sendiri. Orang memiliki “Force-nya” masing-masing. Sesederhana itu.

Zaman telah berubah. Tapi sifat tetaplah sama. Kecenderungan manusia dengan sifat yang mudah berubah-ubah tak menjamin bahwa ia selamanya pada sifat kebaikan. Menebar fitnah atau kebencian lebih mudah dilakukan ketimbang membunuh.

Dalam memoar Wishful Drinking, Carrie Fisher sang Putri Leia itu pernah berucap: “Resentment is like drinking a poison and waiting for the other person to die.”

Namun, rasanya tak adil membandingkan kisah Star Wars dengan keadaan kita di Bumi. Di galaksi sana, kebaikan dan kejahatan hanyalah sebuah dongeng, tapi di Bumi itu adalah sebuah kisah nyata.

Memoar Kecil Carrie Fisher Sang Putri Leia

Seperti halnya kebaikan dan kejahatan, dikotomi lain ialah kelahiran dan kematian. Di akhir bulan Desember 2016, tepatnya tanggal 27, sang Putri Leia itu telah wafat karena penyakit jantung di usianya yang ke-60 tahun.

Hal tersebut dikabarkan oleh anaknya, Billie Lourd. Menurut media setempat, Carrie Fisher sebelumnya memang mengalami serangan jantung dan kondisinya sempat membaik. Namun, tampaknya Carrie Fisher mengalah dan tak dapat melawan takdir kematiannya sendiri.

Kenangan Carrie Fisher dalam memerankan Putri Leia tak akan mudah dilupakan meskipun manusia cenderung melupakan daripada mengingat.

Dan pada akhirnya…

Ia hidup dengan segala rimba cerita yang mengasyikkan dan menyedihkan. Ia pergi dengan segala kisah heroik yang pelik dan mengagumkan. May The Force Be With You, Princess Leia

Ilhmbdhmn
2017

Pesona Dylan dan Ketiadaan

Saya tak ingat kapan dan bagaimana saya mendengarkan Bob Dylan. Tapi, beberapa penggalan liriknya masih terngiang dipikiran seperti monster kecil yang bermain-main tanpa henti hingga kini.

Siapa pun yang mendengarkan Bob Dylan pasti tak pernah melewati daftar putar Blowin’ In The Wind atau pun “The Times They Are A-Changin” (meskipun memang tak harus sepakat daftar putar mana yang harus di dengar). Mula-mula, saya kira kedua lagu ini lagu picisan, lagu yang lahir dari seorang bersuara parau yang bernama asli Robert Allen Zimmerman.

Pada Dylan, sebuah makna ada dalam tiap kalimatnya: sebuah kata-kata yang, bukan hanya diinterpretasi sebagai lagu antiperang—tapi juga sebagai unsur sastrawi:

How many times must a man look up,
before he can sees the sky?
And how many ears must one man have,
before he can hear people cry?
And how many deaths will it take till we knows,
that too many people have died?

The answer my friend is blowin’ in the wind,
the answer is blowin’ in the wind.

(Blowin’ In the Wind)

Kita tak bisa menampik, di zaman kini, kita hidup dalam sebuah kategori, dalam sebuah label, dalam sebuah perdebatan yang panjang, misalnya, “apakah lirik ini sebuah karya sastra puitis? Apakah ini karya sastra atau bukan? Apakah itu termasuk ini itunya ‘dengan segala halnya yang cingcong’?”

Inilah sebabnya beberapa kritikus menganggap kalau Bob Dylan bukanlah seorang sastrawan. Mereka tak memahami, menjadi seorang sastrawan bukanlah harus mencipta sebuah penciptaan puisi yang maha dahsyat atau alih-alih membuat novel yang ‘edan’—ia yang menjadi seorang sastrawan ialah yang mencipta ‘perubahan’.

Saya tidaklah berada dikubu Dylan, saya tak mengenalnya, tidak pula mengaguminya secara berlebihan. Dan ketika Dylan menerima Nobel Kesusastraan, hal itu menjelaskan jika ia punya pesona.

Dikutip dari New York Times, Sara Danius, peneliti sastra dan sekretaris tetap dari 18 anggota Academy menyebut Dylan sebagai ‘penyair hebat dalam tradisi lisan bahasa Inggris’. Juri menilai, “Dylan adalah ikon. Pengaruhnya terhadap musik kontemporer sangat besar, dan ia juga merupakan objek akan percepatan dari bentuk sastra kedua.”

Pesona itulah yang kiranya menjadikan ia seorang ikonik.

Jauh sebelum Jim Morrison menuliskan buku puisinya berjudul: The Lords and the New Creatures. Tarantula—buku kumpulan puisi Dylan tercipta pada 1966 (umur 25 tahun). Saya membacanya dalam bentuk digital. Inilah yang bisa saya katakan: isinya tak begitu menggema, tak begitu kuat, namun saya yakin mempunyai pesan isyarat yang besar dan tak main-main.

Pada mulanya, saya mengira Dylan bukanlah seorang penulis dan pencipta lagu. Bisa saja orang mengira jika lagu “Like a Rolling Stone” benar-benar milik Rolling Stone? “Knockin’ on Heaven’s Door” secara mutlak milik Guns N’ Roses atau “Blowin’ In The Wind” lebih populer dinyanyikan oleh trio folks: Peter, Paul dan Mary. Seperti sebuah pertanyaan dalam setiap lirik yang Dylan buat: How does it feel, ah how does it feel?

***

Pertanyaan. Pertanyaan itu sering kali membuat saya luput dari ketiadaan: ketiadaan yang membuat saya benar-benar lupa akan kejadian-kejadian yang ada, yang nyata, di depan mata. Mengapa orang-orang lebih hebat ketika di layar kaca? Namun ia tak berarti sama sekali di kehidupan nyata? Mengapa orang-orang sangat asyik berbelanja tapi ia lupa cara-cara hidup bersahaja?

Pertanyaan ini bukanlah khutbah, seperti pertanyaan yang sering terlontar dalam lirik-lirik Dylan. Sekali lagi: How does it feel, ah how does it feel?

“Blowin’ In The Wind” mewakili semua pertanyaan-pertanyaan itu. Lagu ini katakanlah sebuah lagu protes—yang memberi pertanyaan tentang ketiadaan yang tak terjawab. Dylan menyanyikannya dengan suara lurus menyentuh, gitar yang nyaring, harmonika yang ‘lirih’ dan—jika siapa pun yang melihatnya dalam bentuk video sebelum aransemen baru—ia benar-benar bergetar.

Pertanyaan itu menjadi sebuah repetisi:

How many years can some people exist,
before they’re allowed to be free?
And how many times can a man turn his head,
and pretend that he just doesn’t see?      

Lagu ini menjadi sebuah refleksi ketika pertanyaan tentang ketiadaan itu tak terjawab. Hak hidup yang mestinya digenggam kini telah direnggut akibat perang, ketidakadilan, keserakahan dan degradasi moral yang tak berakhir: benarkah? Dan apa jawabnya? …is blowin’ the wind, the answer is blowin’ in the wind..

Peperangan ini bukanlah peperangan antar suatu negara saja: namun saya kira terjadi akibat suatu politik ideologi tertentu dan hasrat untuk menaklukkan.

Pesona Dylan tak lepas dari kehidupan sosialnya. Ia hidup dari pelbagai latar belakang masalah dunia. Ia seorang yang tumbuh dalam keluarga Yahudi. Saya jadi teringat kisah dalam film Pulp Fiction ketika Samuel L Jackson mengutip Ezekiel 25:17 sesaat sebelum membunuh. Mungkin saja kutipan ayat tersebut menggelora di dalam kepalanya—tapi saya tak begitu yakin.

Pesan Dylan tak akan pernah luntur dalam nyanyiannya. “The Times They Are A-Changinmencoba mengisyaratkan hal itu: Come writers and critics…Who prophesize with your pen…And keep your eyes wide…The chance won’t come again...

Frasa kedua melukiskan sebuah isyarat moral yang tak habis dari zaman ke zaman, dari tiap saat dan dari taraf waktu tertentu.

Dylan sepertinya mafhum betul jika hanya penulis dan kritikuslah yang dapat menembus dan mengubah keadaan seperti paras rabi, pengkhotbah atau seorang bijak bestari yang mengajarkan kebaikan dengan versi dan kaidah masing-masing.

Dylan, seorang musisi yang bagi sebagian orang berkedok sastrawan, nabi, atau pun juru khotbah bukanlah personifikasi semacam itu. Ia tidak patut menjadi alegori demikian. Ia bagaikan anak lugu yang mencecari pertanyaan-pertanyaan sinis terhadap orang tuanya. Dan ketika orang tua tersebut menjawabnya dengan gamblang, si anak tak begitu yakin dan mengulangi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kukuh, bahkan sarkas.

Dan Dylan sering menampik. Ia tak pernah terus terang laiknya Roger Waters. Lagu “Blowin’ In The Winddikatakannya bukanlah lagu protes—tapi kritikus tak mempercayai itu. Dylan hanya ingin dirinya tak terlalu dipuja—cukuplah orang menjadi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam liriknya saya yakin karena ada sesuatu yang tak beres dalam kehidupan kini. Kepekaan terhadap kehidupan begitu besar.

Ketiadaan yang begitu diharapkan sering kali dicap sebagai utopis. Ketiadaan akan perang, kemeralatan, keserakahan, kesenjangan dan ketidakadilan acap kali muncul dengan tiba-tiba dan sulit untuk dilenyapkan. Dan ketika Dylan memenangkan Nobel, seperti dikatakan Stephen King: “Suatu hal yang besar dan baik dalam musim [yang penuh] dengan kebatilan dan kesedihan.”

Pesona Dylan akan tetap terang di usianya yang kini 75 tahun. Dan ketiadaan-ketiadaan di atas? Seperti dalam frasa terakhir dalam liriknya: The answer, my friend, is blowin’ in the wind…The answer is blowin’ in the wind.

Ilhmbdhmn
November 2016