Tafsir Mimpi Don Quixote

Tak ada yang menarik
dari malam, kata Don Quixote
sebelum tidur, lalu berkata:
“Saya tak bisa berperang.”

Dalam tafsir mimpi;
seorang perempuan membacakan
sebuah sajak picisan. Menyusup dalam relung pikiran, di kolong langit.

Alangkah tak mengertinya
Don Quixote. Tentang sajak itu.
Tapi ia tahu, seseorang telah menyindirnya.
Ada sesuatu yang tak biasa, pikir Don Quixote.

“Jangan gundah, pahlawan,” kata sang perempuan.

Sungguh, seketika itu ada rasa cinta yang menggelembung. Memang, ia membutuhkan cinta tapi tak ada guna dan untuk apa. Ia hanya ingin berperang dengan sang raksasa: kincir angin.

Sementara sang perempuan
termangu dan berkata “Kau gila, Don Quixote!”

Ia memang gila, seperti sepasang kekasih yang bercinta di pagi buta. Tapi ini bukan mimpi yang tak lazim. “everything is artifice or illusion.”

Lantas, perempuan itu tersedu-sedan. Lenyap dari sang majenun. Bagi Don Quixote, cinta adalah ilusi, yang menenggelamkan angan-angan, seperti mimpi dari sebuah sajak picisan, meskipun ia tahu bahwa sesuatu tak biasa yang ia maksud adalah dirinya, sebab ia termasuk picisan itu.

Ilhmbdhmn
2016

Tegak Lurus Dengan Langit

 

Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan.

Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati masih ia genggam. Dia lari ke bukit itu, diburu tanya: Apa selanjutnya? Setelah berkali-kali belati itu ia dorong ke jantung sang korban.

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang di langit. Sesudah itu, seperti 2×2 = 4, matahari bakal terbit. Belati ia lempar. Tangannya ia remas-remas. Dengan berbuat begitu, ia ingin pesiang tangannya dari gumpal-gumpal darah. Juga, ia ingin panaskan tangannya dan dengan itu tubuhnya. Dingin sebelum fajar menulang sumsum.

Dari desa di kaki bukit itu, mulai dia dengar suara-suara umat manusia yang bakal bangun. Suara dengkur di tepi lena. Suara mimpi-mimpi di babak akhirnya. Suara cumbu dan kasmaran keburu sempat. Suara di ambang hidup nyata sehari-hari.

Terpesona ia mendengarkan suara-suara tanpa definisi itu. Suara dari manusia, tanpa manusia terlihat dan berkata-kata. Suara tentang manusia. Suara yang ikut mencakup ikhwal tentang ia sendiri.

Ia telah membunuh seseorang. Siapa, apa alasannya, kurang jelas. Ia hanya tahu, dengan itu ia mungkin ingin balaskan peristiwa menghilangnya ayahnya dahulu semasa perang …. Satu hari, semasa perang, ayahnya tak pulang. Lewat seminggu, sebulan, setahun. Keluarganya memutuskan: ia hilang. Titik.

Mereka tak sadar, hilang adalah keadaan lebih parah lagi dari mati. Dari tewas. Duka oleh hilang tak boleh, tak pernah, tak pernah, penuh dan resmi. Esok lusa, si hilang bisa saja muncul kembali, segar bugar, tak kurang suatu apa. Bahkan, mungkin ia pulang bawa harta atau nama.

Tetapi, mereka sekeluarga kini sudah menunggu lebih 17 tahun. Ibunya dalam pada itu sudah meninggal pula. Pesannya, “Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Sampaikan juga, saya masih cin.”

Hampir muntah ia mendengar sentimen film India begitu dari mulut ibunya sendiri. Bah! Pikirnya, ibu kandungku sendiri sampai napas terakhirnya pecandu film India.

Ibunya dikubur. Sejak itulah mulai sejarah bencinya terhadap ayahnya, yang tak sempat ia kenal. Ia tiga tahun ketika ayahnya hilang. Ayahnya, yang dengan hilangnya itu telah menciptakan kekacauan metafisis di kalangan keluarganya.

Ia dan kedua abangnya—mereka bertiga sesaudara—selama ini tak dapat menyebut diri yatim. Ibunya tak dapat menyebut dirinya janda. Oleh sebab itu, plat nama ayahnya masih saja tak mereka turunkan dari depan rumah. Surat, koran, kuitansi, formulir penetapan pajak, semuanya masih saja mendukung nama ayahnya.

Lebih pahit lagi adalah perkumpulan dan partai ayahnya, masih saja terus melakukan tagihan-tagihan iuran tiap bulan. Apa yang dapat mereka lakukan, selain membayarnya saja? Menolak membayar berarti menyuruh mereka menjawab sejumlah tanya yang demi kesentosaan batin mereka sebaiknya jangan mereka jawab dahulu. Jangan sekarang ini! Nanti, bila semua sudah jadi sejarah— termasuk jasad mereka sendiri—pertanyaan itu boleh saja diajukan. Yang menjawabnya nanti toh sejarah juga.

Jadilah keluarga ini keluarga aneh. Mereka tiap hari bertarung melawan sejarah. Sebab, salah satu dari sekian kenyataan pahit dalam pergaulan antarmanusia adalah manusia yang satu pada dasarnya tak dapat membiarkan sendirian manusia lainnya. Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata krama, dan entah apa lagi, tiap manusia menganggap sebagai hak, bahkan kewajiban mereka untuk ikut-ikutan mencampuri urusan manusia lain. Celakalah makhluk yang mencoba-coba menentang kecenderungan zaman ini.

Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. “Telah sekian tahun kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?”

Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP.

Singkatnya: petugas sensus itu telah melenyapkan keseimbangan yang selama ini berhasil dipertahankan keluarga itu. Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh.

Seorang kenalan baik, duda setengah baya, amat kaya, sering datang main bridge dan halma, menyangka dapat berbuat baik terhadap keluarga itu dengan melamar si ibu. Kebaikannya begitu besarnya, hingga hal-hal seperti peri kemanusiaan, kesadaran sosial dan kebutuhan kelamin cukup disimpulkannya dalam hanya satu gagasan saja. Yakni: menghendaki istri dari kawan baiknya yang telah menghilang.

Si ibu melongo. Rohani dan jasmaninya kacau. Rohani: bagaimana perkawinan kembali seperti ini dapat ia benarkan secara hukum, adat, moral dan agama? Dia bukan janda. Di lemarinya tak ada ia simpan surat cerai maupun surat kematian suaminya. Jasmani: bagaimana kesempatan legal seperti kawin kembali ini dapat ia lewatkan begitu saja, sedangkan ia sendiri—betul tak muda benar lagi—masih sehat, cantik? Ia tak mau jadi hanya hormon bertumpuk saja ….

Suatu pagi, anak bungsu, tokoh kita, perlu sisir. Ia masuk bilik ibunya yang ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang suka sering datang main bridge dan halma itu. Mereka bertiga serempak berteriak, Tokoh kita: terperanjat sangat, tak percaya, sangat putus asa.

Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam gaya film India meninggalkan pesan padanya, “Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ….”

Tetapi di balik seluruh kekacauan ini, kerangka masalah tokoh kita ini setidaknya telah punya beberapa tonggak pasti. (1) Dia kini piatu: ini tak dapat disangsikan lagi. (2) Kedua abangnya tak bakal pernah dilihatnya seumur hidup lagi. (3) Tinggal hanya ia sebatang kara saja dari seluruh keluarganya di dunia ini. (4) PS: Ayahnya masih saja sewaktu-waktu bisa datang, pulang … mengetuk pintu, masuk, lalu membaca surat kabarnya, berbuat seolah tak ada kejadian apa-apa sama sekali selama ini.

Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya, kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab ya, oleh si gadis.

Pesta disiapkan segera. Tetapi, sehari sebelum hari perkawinan, orang tua gadis berkeras ingin kenal orang tua mempelai laki-laki.

Kematian ibunya cepat ia ceritakan. Tetapi, kerongkongan-nya tersumbat ketika ia akan mulai tentang ayahnya. Apa yang harus dan dapat ia katakan? Ia berpendirian, perkawinan tak baik dimulai dengan bohong besar. Oleh sebab itu, ia ceritakan saja kejadian sebenarnya.

Mempelai laki-laki tak tahu, apakah ia pernah punya ayah atau tidak! Begitulah kesimpulan orang tua gadis mengenai gagasan “Ayahku hilang” itu. Mungkin ia anak gamnpang. Cinta adalah satu, tapi nama, terutama asal-usul yang baik, jelas, adalah lain, demikian kata mereka, membatalkan perkawinan, memasang advertensi di koran esoknya, minta maaf sebesarnya kepada para undangan yang sempat datang.

Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, “Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ….”

Sampai dengan di sini, masih dapat ia mengikuti dan memahami jalan peristiwa. Ia banyak membaca, mendengar, bahkan melihat sendiri keluarga yang terus-menerus dihantam nasib jelek, akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi, tak tinggalkan bekas apa-apa, kecuali kenangan keluarga-keluarga lainnya tentang mereka sebagai “keluarga malang”. Apa boleh buat! Dewa-dewa di kayangan rupanya telah memperhitungkan ia masuk ke dalam keluarga seperti itu. Takdir tak dapat dibendung. Ia telah siapkan dirinya bagi perannya dalam babak terakhir tragedi keluarganya itu.Tetapi, apa yang membuat konsentrasinya tentang drama dan tragedi keluarganya tadi tunggang-langgang, adalah kedatangan seorang laki-laki tua pagi tadi ke rumahnya. Ia ini ketuk pintu, masuk, duduk di kursi besar, baca surat kabar dan berkata dengan suara datar, “… Aku ayahmu.”

 

Tokoh kita melongo. Tak dapat, tak ingin ia berkata apa. Apa, mana bukti ia ini benar ayahnya? Bila benar ia ayahnya, mengapa baru sekarang ia kembali? Ke mana, di mana ia selama ini? Peristiwa apa sembunyi di belakang hilangnya ia 17 tahun yang lalu? Adakah ia ikut perang, ditawan musuh dan baru dilepas sekarang? Seandainya ia tak ikut perang, pikiran fantastis mana yang telah menyergapnya untuk pergi menghilang begitu saja dari rumahnya 17 tahun lamanya? Adakah ia jadi pedagang pasar gelap? Penyelundup senjata gelap? Atau garong? Atau, pergi bertapa ke puncak salah satu gunung berapi?

Seribu satu tanya dapat ia ajukan. Seribu satu jawab dapat ia beri. Oleh sebab itulah ia putuskan diam saja. Lagipula, siapa tahu laki-laki tua ini bukan ayahnya sama sekali. Mungkin ia ini seorang penipu. Atau seorang sinting biasa saja yang ingin bikin gara-gara, lelucon cempulang.

Akan tetapi curiganya mulai timbul ketika laki-laki tua itu berdiri, pergi ke kamar yang selama ini dianggapnya sebagai kamar ayahnya, membuka lemari yang selama ini dianggapnya sebagai lemari pakaian ayahnya, mengambil satu stel pakaian dari dalamnya. Kemudian ia pergi mandi, di kamar mandi menyanyikan lagu-lagu kesukaan ibunya almarhumah. Selesai bersalin pakaian, ia duduk lagi di kursi besar tadi.

Tokoh kita diam saja. Orang tua itu tersenyum saja— senyum lembut orang tua—sedang matanya tajam memperhatikan tokoh kita terus.

Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya. Terlebih, ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu. Curiganya makin besar. Ulu hatinya nyeri. Darahnya berkali-kali tersirap. Bulu kuduknya tegak. Mata! Mata itu!

Ia sebenarnya telah siap dengan pembulatan satu kesimpulan dalam dirinya bahwa laki-laki tua yang duduk di hadapannya itu, adalah seorang penipu biasa saja—ketika pandangan mata mereka tiba-tiba saling bertemu. Laksana pola listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling bertolakan. Tokoh kita tertunduk! Ia kalah! Kedua bola matanya lari terbirit-birit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata itu!

Itulah tanda pengenal yang paling ia takuti. Sebab hanya kedua abangnya sajalah selama ini yang sanggup menentang pandangan matanya. Dan ini adalah, oleh karena mata kedua abangnya itu sama saja dengan matanya sendiri. Bulat, hitam pekat, putihnya bening, kedipnya penuh wibawa, sinar yang dipijarkannya penuh melankoli, sekaligus kekerasan, yang berbatasan dengan kekejaman.

Tak pernah ada orang lain yang sanggup menantang pandangan mata mereka. Bahkan, ibu mereka sendiri tak dapat. Adalah pandangan mata demikian, kata ibunya, yang justru membuat ia jatuh cinta pada ayahnya. Ya, mereka bertiga mewarisi mata ayahnya.

Dan kini, salah seorang ahli waris itu duduk berhadapan dengan sang pewaris….

“Ayah!”

Hanya itu. Untuk selanjutnya, ia merangkul orang tua itu. Ia benamkan kepalanya dalam pangkuannya. Ia menangis. Orang tua itu kaku saja. Tampak ia keras sekali berusaha memerangi perasaannya. Sudut-sudut mulutnya yang sudah mulai keriput itu, ia rentangkan. Bibirnya ia peras kuat-kuat menjadi satu garis tipis yang kelewat lurus. Tangannya ia genggamkan erat-erat pada tangan kursi. Ia takut, kalau tangannya itu pergi menjalar, mengelus rambut ikal bergelombang yang diempaskan ke pangkuannya itu ….

Masih saja mereka tak berkata-kata. Dalam pada itu, mereka sudah makan siang, tidur siang, mandi sore, bersaling pakaian, menghirup teh sore. Kini mereka kembali duduk di ruang tengah, berhadap-hadapan, tak berkata satu apa. Tokoh kita tunduk, sedang orang tua itu terus saja memandanginya.

Tiba-tiba saja tokoh kita memutuskan bagi dirinya sendiri, tak dapat ia lanjutkan hidupnya begini. Yakni: tunduk tepekur saja memperhatikan motif-motif permadani di ubin. Teror yang datang menyorot dari kedua bola mata orang tua itu, tak ingin ia tanggungkan lebih lama lagi.

Ia telah menanggungkan nasib dari ranting terakhir satu keluarga yang ditakdirkan bakal lenyap sama sekali dari muka bumi ini. Ia bahkan telah sedia menerima tingkahan terhadap kutuk itu dengan misalnya menerima orang tua itu misalnya mungkin ayahnya sendiri, mungkin pula tidak.

Ya, kesedihannya besar sekali. Sebab telah ia putuskan untuk tak mau membangun kerangka-kerangka persoalan yang pelik lagi bagi dirinya sendiri, yang toh tak akan banyak berhasil memberi penyelesaian apa-apa baginya. Ia letih main catur melawan dirinya sendiri. Untuk selan-jutnya ia telah pilih sebagai filsafat hidupnya: me-remis-kan dirinya dengan hidup, termasuk dengan dirinya sendiri.

Tetapi terkutuk untuk seumur hidupnya; tak bakal berani lagi ia menatap jauh-jauh ke kaki langit, tak berani melihat ke puncak-puncak gunung dan bintang-bintang di langit, hanya oleh karena ada seorang tua mempunyai sepasang mata yang sama dengan matanya sendiri, dan oleh sebab itu tak sanggup ia tantang—tidak! Ia tidak mau, tak sedia!

Secepat kilat ia temui pada motif-motif permadani di bawah telapak kakinya itu jawaban bagi seluruh persoalannya. Kalau benarlah orang tua itu ayahnya, maka adalah orang tua ini juga telah menciptakan seluruh tragedi keluarganya itu. Dengan menghilangnya abangnya membunuh petugas sensus itu. Ia pulalah sebenarnya yang telah membuat ibunya terdampar ke dalam pelukan laki-laki kenalan baik mereka yang suka datang main bridge dan halma itu, dan lempang mengantarnya ke kubur.

Terlebih lagi: kalau ia ini ayahnya, maka adalah ayahnya ini juga yang telah bikin lebih parah kekacauan dalam dirinya kini dengan justru pulangnya ia sekarang ini.

Dan seandainya orang tua ini bukan ayahnya, tetapi cuma seorang penipu atau sinting biasa saja, maka efek kedatangannya ini masih tetap sama saja: ia telah mengingatkan tokoh kita, anak bungsu dan ranting terakhir keluarga yang terkutuk bakal lenyap dari permukaan bumi ini, kepada nasib yang sedang menanti dirinya.

Bahwa dirinya sudah dapat ia anggap mulai sekarang sebagai satu pengertian yang sebenarnya tak apa-apa lagi, dan oleh sebab itu sewaktu-waktu dapat ditiadakan, baik oleh kekuatan dari luar, maupun oleh dirinya sendiri, sudah jelas baginya kini. Mengenai ini, ia tak ragu-ragu lagi dalam dirinya sebenarnya juga sudah lama tersedia satu gagasan itu—walaupun diakuinya, aktualitas itu membuatnya agak menggigil juga.

Yang harus segera diselesaikannya dalam benaknya kini adalah, tafsiran apa selanjutnya dapat ia beri kepada kedatangan orang tua itu sendiri dalam kerangka gagasannya itu. Kalau ia tak salah dalam penilaiannya, orang tua inilah sebenarnya penyebab dari seluruh duka ceritanya, lepas dari persoalan benar atau tak benar ia ayahnya yang sesungguhnya. Selanjutnya, kalau ia juga tak salah dalam penilaian berikutnya, kedatangan orang tua ini kini sebenarnya hanyalah mungkin mempunyai satu arti saja. Yaitu, sebagai motif yang dapat mempercepat pelaksanaan gagasannya tadi!

Setelah selesai motif-motif pada permadani di bawah telapak kakinya di ubin itu—lingkaran-lingkaran spiral merah, kuning, biru—diedari matanya semua, selesailah ia mengatasi gamang yang berkecamuk selama bertahun-tahun ini dalam dirinya, dan yang barusan saja beroleh klimaknya dalam menit-menit terakhir ini.

Kini ia dapat bertindak. Harus bertindak! Satu ketenangan kosmis menyelubungi dirinya. Tiap keping dari napasnya, tiap fragmen dari perasaannya, pikirannya, pengideraannya, mulai kini adalah bagian dari satu perhitungan yang sangat teliti.

Ia pergi ke dapur. Diambilnya sebilah belati. Dia kembali. Tenang ia tantang pandangan mata orang tua itu. Orang tua itu tersenyum. Kemudian, tenang sekali, ia tikamkan belati itu ke dalam dada orang tua itu. Berkali-kali.

Orang tua itu rebah. Darahnya menutupi lingkaran-lingkaran spiral, merah, kuning, biru di permadani. Lama tokoh kita tegak memandangi mata mayat terbelalak itu. Seluruh peralihan sinarnya, dari bening hingga redup seperti susu keruh itu, disaksikannya. Akhirnya pelupuk mata redup itu dikatup-kannya. Tertutup! Tertutup sudah danau keruh itu!

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti srigala hutan yang bingung, sebab danau tempat ia biasa minum, baru saja tertimbun tanah longsor. Ia menjalar sedahsyatnya. Seluruh isi hutan diam menggigil ketakutan. Kemudian ia lari.

Kenapa? Tak peduli. Pokoknya: lari. Kencang!

Pelan-pelan pada selimut langit terkuak warna putih abu-abu. Ke bumi memantul bayang mainan warna di langit ini. Bulan sabit miring ke tenggara. Angin daratan bertolak ke pantai. Kelelawar-kelelawar berpulangan ke pohonnya.

Sekali lagi ia remas-remas tangannya. Gumpal darah penghabisan ia jentikkan dari kuku kelingking kirinya. Ia tarik napas panjang.

Gagasannya kini telah selesai ia laksanakan. Ia puas. Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi.

Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. Senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit.

Iwan Simatupang

Penerbit Sinar Harapan, 1982

Bayang-Bayang Kompleksitas

Adalah Monginsidi, atau Robert Wolter Mongonsidi, yang ditembak mati oleh serdadu Belanda di Picinang, Makassar, 5 September 1949. Ketika itu, ia berumur 24 tahun. Sepucuk surat pun ia tulis, bernapaskan puitis, ia catat empat hari sebelum dihukum mati.

Apa yang ia tulis, adalah apa yang ia rasakan, “Sebagai bunga yang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras,” katanya. Tulisannya tentu bicara tentang dirinya, atau saya kira, untuk generasinya.

Ia memang bagian dari sejarah yang kelam. Ketika kolonialisme hidup di antara kehidupannya. Oleh Benedict Anderson, pemuda menjadi mitos tersendiri dan menjadi babakan sejarah Indonesia ketika mengambil peran dalam Revolusi.

Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang mengejutkan. Dan “Pemuda Revolusi” menjadi bagian yang hidup. Pahlawan lebih cepat mati terlupakan, ia dikenang ketika hanya momen-momen tertentu. Kemasygulan yang saya rasa adalah, mengapa pahlawan lebih dikenal namanya ketimbang tindakannya?

Namun, bagi Monginsidi ada pengecualian. Dia adalah tokoh yang mungkin tak bernama, ia tak dikenal banyak orang. Tetapi, kesediaan ia untuk berkorban bagi Republik yang belum cukup umur kala itu, dan untuk sebuah harapan besar, adalah kisah heroik patriotisme.

Bung Karno, pemimpin besar revolusi pernah berkata: “Beri aku 10 pemuda, kan ku guncangkan dunia”. Bung karno tak seutuhnya keliru, disitu ia meyakini, pemuda menjadi suatu simbol atau penanda yang mengagumkan.

Kisah hidup Mongonsidi bisa saja menjadi berarti, seperti dalam nukilan sajak Chairil Anwar: “Sekali berarti, sudah itu mati”. Di balik kalimat dramatik itu, menunjukkan betapa berartinya hidup dengan perbuatan, meski ia mati setelahnya dan tak ada yang disesalinya. Mungkin dengan dasar itulah Monginsidi tak meminta grasi kepada pemerintah kolonial. Kemudian memilih hukuman mati.

Tindakan-tindakan hebat, atau bisa disebut perbuatan baik demi revolusi. Tak melulu dengan cara subversif. Ia bergerilya dengan sendirinya. Mungkin saya terkenang dengan Chairil Anwar, ia tak mati ditembak atau bahkan dibuang seperti yang lainnya. Ia mati karena TBC. Ia hanya binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang.

Chairil Anwar, meninggal pada 1949 di usia 27 tahun. Masih terlalu muda untuk mati. Hidupnya semrawut. Tapi mengapa ia selalu dikenang hingga kini? Utamanya dalam hal kesusastraan? Saya kira jawabnya ia melakukan sesuatu yang berarti.

Dengan cara penulisan sajaknya yang di luar konvensional pada masa itu, ia di cemooh sastrawan dari pujangga baru Sutan Takdir Alisjahbana dengan sebutan rujak belaka: segar namun tanpa gizi. Kenapa di usianya yang muda ketika itu, ia melakukan hal sedemikian rupanya? Bagi saya, Chairil adalah suatu metafor. Ia melakukan sesuatu yang berarti: merubah paradigma puisi Indonesia. Ia adalah pionir puisi modern Indonesia, kata H.B Jassin. Di sini, letak perubahan telah terjadi.

Menjadi Mongonsidi atau Chairil Anwar, dengan kata lain, mengikuti tindakannya demi generasi sekarang, adalah hal yang gamang. Maka apa gerangan yang kita hadapi dan bisa dilakukan?

Pertanyaan ini penting, atau tak sama sekali. Kita tahu di sini yang menjadi pokoknya atau yang menjadi subjek dan objeknya ialah: pemuda dan perbuatan. Kita boleh mengambil sebersit semangat Mongonsidi untuk melawan kolonial, atau pemikiran-pemikiran Chairil Anwar dalam pola sajaknya yang berani melawan arus itu. Pemuda adalah alat, atau seperti kata Rendra dalam sajak anak muda: “Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?

Alat, merupakan sesuatu yang hidup. Bukanlah sesuatu yang mati. Bagaimana bisa sumpah pemuda, manifesto yang heroik itu ada, jika alat ialah sesuatu yang mati?

Masalahnya, era sekarang dan masa depan zaman ini serba kompleks. Itulah yang kita hadapi: kompleksitas. Ia yang mengkritik, namun tak menerima jika dikritik. Ia yang mengeluhkan teknologi, menjadi yang terdepan dalam penggunaannya. Ia yang mengeluhkan kondisi lingkungan, ia juga yang menyebabkannya. Di sini, kita sedang berada dalam bayang-bayang kompleksitas.

Setelah zaman Mongonsidi dan Chairil Anwar itu lenyap. Zaman ini, di abad-21, kemerdekaan kreatif telah lahir—tentunya setelah berakhirnya zaman Orba atau Orde Baru. Ia lahir dengan gagasan yang hebat dan asyik, serta leluasa dengan media-media yang ada. Pemuda-pemuda dengan kebebasan kreatifnya muncul, ide-ide cemerlang dan menggairahkan. Serta dengan caranya sendiri-sendiri.

Seorang penyair termasyur, Muhammad Iqbal, dalam puisinya termaktub: “Aku harapkan pemuda inilah yang akan sanggup membangunkan zaman yang baru…”

Syahdan, dengan alat dan kebebasan kreatifnya itu, bagaimana kita memperlakukan zaman baru dengan semestinya sedang kita berada dalam bayang-bayang kompleksitas?

Aktivis Munir, memperlakukan zaman dengan semestinya, dalam dokumenter bunga yang di bakar, ia memperlihatkan dengan teguh dan arif bahwa hidup adalah soal keberanian, ia mengangkat isu Hak Asasi Manusia bagi kalangan rakyat jelata. Saya tak habis pikir, orang muda semacam itu menghabiskan waktunya dengan perbuatan demikian.

Munir dan Mongonsidi berada dalam jalan yang sama, ia memimpikan negeri yang mulia. Namun, Munir tak sepenuhnya mafhum bahwa jalan tak sepenuhnya lurus, ia mati di udara dengan racun di tangan negerinya sendiri, dalam usia 38 tahun.

Demikianlah, hal tersebut meyakinkan saya, tentang kompleksitas hidup dengan perbuatan. Memang banyak hal yang selalu kita renungi, tentang negeri ini. Tentang problem-problem yang tak ada habisnya. Barangkali kita hanya dapat menyesali atau mensyukuri, dari warisan yang telah diberikan, dan diteruskan hingga sekarang. Adanya disintegrasi adalah soal polemik lainnya, ia berkembang secara lamat, di kalangan anak-anak muda.

Jika saya boleh berandai-andai, saya membayangkan tentang pemuda dalam roman tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, bernama Minke. Minke, sebagaimana dilukiskan Pram, ia adalah potret pemuda idealis, berjuang dengan caranya sendiri, tak menutup diri secara asing, sebab ia peduli terhadap Bumi Pertiwi.

Pada akhirnya, kita hanya tinggal memilih, apa dengan cara Mongonsidi; Chairil Anwar; Munir; Minke atau diri sendiri, untuk melakukan sesuatu yang berarti, sebab perubahan atau revolusi, kata Sukarno, menolak hari kemarin dan membangun hari esok. Intinya, sesuatu yang berarti tak akan pernah mengkhianati.

Dengan demikan, saya menukil kembali sajak yang dilukiskan Chairil Anwar sebagai kata akhir, yang tertulis dalam sajak Krawang-Bekasi (1948):

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa…

Ilhmbdhmn
2015

Lahirnya Tragedi

Pada suatu malam, di musim kering yang tandus, saya menulis dengan penuh rasa cemas: sebuah gejala terhadap problema yang tak ada habisnya di negeri ini.

Lahirnya tragedi, meski judul tersebut sama dengan apa yang ditulis Nietzsche (The Birth of Tragedy), tentu bukanlah problema yang sama, saya hanya menukilnya dengan lirih.

Jika Nietzsche mempersembahkan tulisannya tersebut kepada kawannya, Richard Wagner—komponis besar Jerman, saya mempersembahkannya kepada siapapun: kepada penguasa, penderita, penindas, atau yang tertindas.

Tragedi yang tak pernah luput dari persoalan ialah tragedi pembantaian 1965-1966. Orang-orang yang dituduh terlibat G-30S atau pro-komunis, mereka dibabat habis.

Tragedi kemanusiaan ini, menjauhkan manusia dari sisi filantropis—seperti sebuah perayaan, ia yang vigilante membantai dengan cara mereka sendiri. Soal bagaimana konflik ini terjadi, saya tak akan menjelaskan secara detail. Dan saya tak memastikan, apa yang sebenarnya terjadi. Satu hal yang ada dalam pikiran saya ialah: penguasa/kekuasaan berperan di sini.

Tentang kuasa, saya jadi teringat drama Caligula yang ditulis Albert Camus, sastrawan Prancis yang tersohor itu.

Caligula, kaisar Romawi yang kejam itu. Mempunyai kuasa yang besar. Ia semacam orang yang tak terbantahkan. Kalau saya tak salah ingat—ahli sejarah sepakat mendiagnosis bahwa ia “sakit jiwa”.

Sifatnya intoleran dan membenci manusia-manusia yang tak disukainya, bahkan ia, menurut perhatian saya, mempunyai sifat tersembunyi: otoriter; utilitarian bahkan humanis. Di sini saya agak masygul, apakah sifat penguasa beberapa di antaranya seperti itu?

Seorang bangsawan dalam sebuah cerita menceritakan bagaimana Caligula memerintahkan algojonya agar membunuh korbannya secara perlahan-lahan: “agar ia tahu bagaimana rasanya mati”. Sepertinya ia hendak menggambarkan kekejaman dewa-dewa kepada siapapun, dengan memerankan sendiri peran dewa yang sewenang-sewenang, sebab ia memiliki legitimasi kekuasaan yang tak terbatas.

Tragedi, bisa menimpa siapa saja, di mana saja, atau kapan saja. Barangkali ia datang dengan sendirinya, atau tindakan dari apa saja. Tragedi alam atau bisa disebut bencana, berasal dari alam, juga dengan tragedi kemanusiaan, ia datang entah dari manusia itu sendiri atau yang tak dikehendakinya.

Betapa pilunya ketika gelombang ganas tinggi seperti menyemburkan tulah mengguncang tanah Aceh pada 26 Desember 2004. Akibat tsunami itu, beribu nyawa hilang dan mayat berserakan. Kita tak perlu menyalahkan siapapun. Tampaknya eksistensi Tuhanlah yang kuasa. Kekuasaan Tuhan yang absolut, meluluhlantakan keangkuhan manusia sebagai noktah.

Namun kita tak tahu, mengapa tsunami itu datang di kota serambi Aceh? Mengapa Tuhan lebih memilih menghancurkan kota itu ketimbang mencegah dosa-dosa yang lebih besar hingga hukuman tak dijatuhkan? Dengan segala rahasia illahi, Tuhanlah yang punya kuasa. Dari pertanyaan yang tersirat di sini, apakah kekuasaan Tuhan memberi keadilan?

Kekuasaan, dengan segala bentuknya, apakah yang berasal dari Tuhan atau manusia mempunyai pengertiannya sendiri. Tapi bagaimana kita memberi toleransi kepada kekuasaan yang berasal dari manusia? Bagaimana kita mencegah tragedi kemanusiaan akibat perang, perbudakan, atau pembantaian besar Nazi terhadap Semit di abad ke-20 yang sebenarnya semua itu bisa dicegah? Barangkali saya berlebihan, tapi tragedi itu bisa dicegah atau tak terjadi meskipun ini takdir.

Machiavelli, filsuf Italia, penulis Sang Penguasa (II Principe), berasumsi bahwa agar kekuasaan dapat dipertahankan atau didapatkan, satu-satunya jalan ialah dengan menghalalkan segala cara. Maka tak heran jika Hitler atau Mussolini berpegang teguh pada prinsip itu.

Machiavelli tak pernah tahu, apa dampak hebat dari rumusannya tersebut, di masa sekarang atau nanti. Tapi saya menjadi agak ragu, ada atau tidaknya rumusan itu, manusia tetap saja mempunyai naluri untuk memenuhi hasratnya berkuasa, seperti kata Hobbes: “Secara alamiah, manusia adalah makhluk yang secara terus menerus selalu ingin berusaha memenuhi segala hasrat dan keinginannya”.

Menurut Hobbes, kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi dan tak kunjung padam untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan, yang berhenti hanya dalam kematian.

Jadi, pantaskah manusia disalahkan atas tragedi-tragedi yang terjadi?

Syahdan, saya menganggap bahwa kekuasaan adalah jalan hampa bersifat fana yang dipilih manusia. Demi semua itu, ia rela menaruh malu, menciptakan kepalsuan, mengingkari tanggung jawabnya sebagai manusia seperti Faust.

Faust, sebagaimana dikisahkan Goethe, rela menyerahkan jiwanya kepada sang iblis Mephistopheles. Dia adalah seorang doktor yang haus akan ilmu tak terbatas sehingga rela bersekutu dengan Mephistopheles agar merengkuh semua ilmu itu dengan cara yang picik.

Lantas, apakah personifikasi Faust adalah pantas disematkan bagi sang penguasa yang mengukuhkan kekuasaannya? Di sini saya tak menghakimi Faust, bahkan tak ada hubungannya. Tapi, jika boleh saya ganti kata ilmu tak terbatas yang diinginkan Faust yang sombong itu kemudian digantikan dengan kekuasaan yang tak terbatas, apa bedanya?

Seperti yang dikatakan Hobbes, bahwa perbuatan itu ialah hasrat manusia. Naluri alamiah yang muncul dalam diri sang subjek, atau Freud mengatakannya sebagai megalomania–perasaaan mencintai diri sendiri secara berlebihan dalam diri manusia.

Kita tak seharusnya membiarkan penguasa melakukan semacam perbuatan: ia yang mempunyai kepentingan tersendiri, membiarkan laju deforestasi tak terbendung; menelantarkan hak hidup anak-anak akibat perang; mengesampingkan prioritas-prioritas yang lebih arif. Sebaliknya, kita perlu juga perbuatan—lebih tepatnya tindakan yang masif dan preventif; yang diam-diam namun nyata dan terasa laiknya garam di lautan, atau pun tampil dipermukaan laksana panen jamur di musim hujan.

Namun, semua itu perlu mengesampingkan hasrat, sebab hasrat ialah waham. Hal demikian setidaknya bisa menjadi sebuah afirmasi yang bijaksana atau katakanlah represif sekalipun–agar tidak ada lagi tirani kekuasaan, oligarki dan semacamnya di zaman kini.

Sepatutnya juga kita tidak menampik hal-hal yang sifatnya utopis. Meski hanya menjadi sebatas angan-angan. Atau seperti pada pertanyaan berikut: Tuhan, apatah adil?

Ilhmbdhmn

2015

Tentang Sunda, Harapan, Optimisme dan Modernitas

Jika benar atau terjadi, ketika pada 2013 muatan lokal akan dihapus dari kurikulum oleh dinas pendidikan, tak bisa dibayangkan betapa prihatinnya masa itu terhadap masa kini. Masa di mana ketika kebudayaan Sunda tak lagi menjadi perhatian, atau diperhatikan.

Galibnya, manusia terlahir dengan tradisi nenek moyang hingga turun temurun hingga sekarang. Kebudayaan Sunda—khususnya kesusastraan adalah warisan yang tak dapat dielakkan.

Tapi bagaimana kita menaruh “harap” dan “optimisme” kepadanya?

Harapan dan optimisme dengan tanda kutip acap kali menjadi jurang rahasia. Kita tak pernah tahu, antara harapan dan optimisme terbentang sebuah jurang. Harapan atau berharap, saya yakini—atau tepatnya saya duga, adalah yang dikehendaki, dalam artian kita akan menghadapi masa depan dengan segala persoalannya.

Thomas Aquinas pernah merumuskannya dalam De Spe atau “Tentang Harapan”, bahwa harapan, kata Aquinas, mengacu pada masa depan, dari keinginan, dari putus asa, yang sasarannya baik.

Tentang optimisme, saya kira tak jadi persoalan. Kita menaruh “harap” pada optimisme. Kata optimis dan harapan menjadi dikotomi, barangkali–“berharap” menjadi sebuah praduga, sedang optimis menjadi sebuah keyakinan yang kurang lebih konsisten tentang masa depan. Namun, harapan, kata Vaclav Havel, “bukanlah keyakinan bahwa hal ihwal akan berjalan dengan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan omong kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi pada akhirnya.”

Di sini, kesusastraan atau lebih luasnya kebudayaan Sunda menjadi problematik, akan berharap atau optimiskah kita terhadapnya?

Tentang wacana penghapusan itu, sejumlah orang yang memberi perhatian berbondong-bondong datang ke depan Gedung Sate, Bandung. Massa aksi tersebut bukan hanya bentuk kepedulian, tetapi menjadi sebuah bentuk optimistik terhadap Kesundaan—bahwa muatan lokal bersifat dinamis.

Syahdan, yang menjadi soal adalah bagaimana kita mempertahankan tradisi serta menjauhkannya dari kepunahan? Saya sedikit masygul terhadap hal ini. Persoalannya adalah bagaimana kita menekan arus modernitas? Modernitas seperti sebuah penjelmaan “ibu tiri”, ia seperti bukan terlahir dari tradisi. Gejala modernitas memaksa atau menuntut kita bertedensi hidup dengan cara-cara kaum urban. Di sisi lain, kita sering mengalami ambivalen—tentang penerimaan serta penolakan modernitas.

Kita dapat menduga hal ini dapat terjadi di mana saja dan itu sebuah proses.

Memang ada yang merasakan dan membuat kita risau dengan proses itu. Ada yang menyebut zaman modern telah memberikan jalan yang bersinar, namun cahayanya menyemburkan mala. Saya tak ambil pusing soal itu, sebab yang kita rasakan tanpa sadar adalah gejala mimikri yang tak tersaring dari “Dunia Pertama” ke “Dunia Ketiga”. Ia sesungguhnya dapat mengancam sebuah tradisi lokal dan sedikit demi sedikit tanpa terasa melunturkan tatanan identitas atau etnik tertentu.

Saya memahami bahwa kebudayaan, utamanya kesusastraan Sunda perlu dihidupi dengan kepedulian yang besar, entah dengan cara individu atau kolektivitasyang terpenting tak luput dari perhatian agar tak seperti “mayat yang berjalan”. Kepedulian riil contohnya, telah dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, yang merupakan apresiasi besar terhadap Ajip Rosidi dan kolega.  Di sini, sedikitnya kita dapat menahan laju krisis identitas.

Pada akhirnya, lamat-lamat kita akan merasakan hasilnya, sebab dengan tidak mengaburkan maknanya, kita harus menaruh kebudayaan, umumnya juga kesusastraan Sunda sebagai sebuah identitas.

Jika saya dapat meminjam isi dari Manifes Kebudayaan, bahwa “kami tidak pernah berpikir tentang suatu zaman di mana tak ada masalah lagi”. Saya yakin bahwa kesusastraan adalah juga semacam pendidikan, maka jelas bahwa hal ini bukanlah hal yang sepele.

Ilhmbdhmn

2015

Lelaki 1/2 Serigala

Selama beberapa malam terakhir, dan seperti malam-malam biasanya, malam itu juga ia hampir mati. Bahkan hampir berkali-kali–setelah tragedi tempo hari. Sesaat lelaki setengah serigala akan menerkam dirinya, ia dapat bertindak.

Demikianlah, namanya: lelaki setengah serigala. Mengapa namanya demikan, ia tidak tahu pasti. Sebab, dahulu saat awal mengenalnya, lelaki tersebut sering menyalak sangat keras saat bulan purnama tiba. Dan kembali seperti manusia biasa saat purnama telah tertelan langit. Begitulah awal mula ia menamakannya.

Sering kali lelaki setengah serigala itu datang lagi padanya ketika hari menggantung pada gelap, kemudian menyalurkan kembali hasrat yang dipendamnya. Seolah jatuh dari langit, betapa terkejutnya ia jika lelaki setengah serigala datang secara tiba-tiba. Meski ia tahu bahwa hal itu sudah terbiasa bila malam telah ada, maka lelaki setengah serigala pun akan datang juga. Seperti seolah terbiasa pula, ia akan melayaninya.

Ia selalu terbelenggu jika lelaki setengah serigala itu datang menghampiri. Ia hanya bisa membisu, bahkan membisu sama sekali padahal ia masih mempunyai mulut yang normal. Mula-mula ia turuti kemauan lelaki setengah serigala itu. Jika tidak, matanya yang berbinar akan siap menerjangnya seperti serigala yang kehausan darah.

Meski purnama tak hadir, kadang nyalakannya melolong dengan amat sangat keras. Apalagi jika ia tidak menuruti kemauannya–suara itu semakin keras. Mula-mula lelaki setengah serigala itu hanya menatap wajahnya, namun sesekali hanya mengamatinya saja. Setelah itu ia seakan-akan meloncat dan menerkamnya dengan semampunya.

***

Pada suatu malam yang kering, tanpa diduga lelaki setengah serigala memberi tahu bahwa ia akan pergi jauh. Dan lelaki setengah serigala itu bertanya apakah ia bersedia untuk ikut dengannya. Ia hanya mengangguk tanda setuju.

Tanpa persiapan khusus. Pergilah mereka menuju suatu tempat.

“Entah sejak kapan aku tidak bepergian jauh seperti ini” kata lelaki setengah serigala. “Tapi kau telah terbiasa melanglang buana untuk mencari mangsa, bukan?” timpal seseorang di sampingnya.

Mendengar ucapan itu, lelaki setengah serigala geram bukan main. Dan berkata akan mengancamnya jika ia berkata seperti itu lagi. Lelaki setengah serigala menjelaskan, bahwa dirinya akan berbuat baik jika dia berbuat baik. Juga akan berkelakuan buruk jika dia berkelakuan serupa.

Di perjalanan, mungkin belum setengah jalan menuju tempat tujuan. Mereka berhenti sebentar. Kereta kuda yang membawanya sedikit kehausan.

“Sebagai perempuan, kau harus tunduk pada perintah.” Seru lelaki setengah serigala.

Perempuan itu hanya termenung. Sekali lagi, ia hanya termenung. Pikirnya, seorang perempuan hanyalah harus menuruti segala macam perintah laki-laki. Sejurus kemudian, ia teringat pada pesan orang tuanya di kampung jika seorang perempuan memanglah harus begitu.

Perjalanan dilanjutkan dan semakin jauh. Perempuan itu tak tahu kemana ia akan pergi. Ia sendiri tak ada niat untuk bertanya—ia sendiri tidak tahu pasti.

Angin mulai menyusup pada sanubari dan mulai merasuki pori-pori perempuan itu. Dia tak tahan oleh dingin. Kemudian ia rapatkan tubuhnya pada lelaki setengah serigala itu. Tanpa canggung, seolah sudah atau memang terbiasa, tubuh itu seakan menjadi hangat. Tak ada reaksi dari lelaki setengah serigala. Ia hanya fokus pada jalanan yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan dan burung-burung liar yang menggantung pada tangkainya.

Dengan agak lambat. Perjalanan terus semakin jauh. Namun angin bergerak dengan sangat cepat. Kereta kuda itu berjalan terus, terus, dan terus. Di sebuah perepatan sang kusir memberhentikan kereta kudanya, dan menoleh kebelakang kemudian berkata: Apakah tak keberatan jika ia memilih jalan pintas.

Lelaki setengah serigala dengan enteng tak merasa keberatan. Kemanapun arah jalannya, yang terpenting adalah sampai ke tempat tujuan. Sang kusir lalu memilih belok kiri, ke arah barat, dan melewati sebuah perkampungan kumuh.

Perkampungan kumuh itu didiami oleh suku setempat yang adat istiadatnya masih terasa kental. Di sana, lelaki setengah serigala melihat seseorang yang kepalanya besar, hampir-hampir sebesar buah semangka. Seseorang yang kepalanya besar itu berdiam diri dan memperhatikan dengan seksama kereta kuda yang melintas dengan mata kelerengnya.

Setelah melewati dirinya. Orang itu membelalak, kemudian berteriak tidak jelas.

Perempuan yang sedang berada di dalam kereta itu kaget dan hampir ketakutan, lalu bertanya apa yang terjadi di luar sana.

Orang asing itu semakin berteriak dengan suara aneh. Kusir ataupun lelaki setengah serigala hanya mengacuhkannya. Karena orang asing tahu bahwa di dalam kereta kuda tersebut terdapat seseorang. Maka ia berlari kencang, sekencang-kencangnya dan berusaha memberhentikan kereta kuda itu. Maka berhentilah kereta kuda tersebut, dan tak seorang pun berkata pada orang asing itu.

“Kau, lelaki setengah serigala. Turunlah” kata orang asing.

Lelaki setengah serigala terdiam. Sayup-sayup angin semakin kencang. Udara semakin dingin. Dan perempuan yang berada dekat dengan lelaki setengah serigala terlihat gugup.

“Keluarlah..” katanya sekali lagi.

Lelaki setengah serigala itu lantas berkata bahwa ia sedang sibuk dan bergegas. Ia berkata demikian tanpa melihat atau menengok keluar kereta kudanya.

Orang asing itu pun melanjutkan perkataannya, bahwa ia sedang membutuhkan pertolongan. Dengan panjang lebar orang asing itu menjelaskan bahwa perkampungannya akan dihancurkan. Satu di antara kalimat panjangnya,  perkampungannya akan dihancurkan untuk dibangun tempat singgah para kaum-kaum elite.

Sekali lagi, lelaki setengah serigala berkata bahwa ia sedang bergegas. Dan tidak dapat membantunya.

Lalu orang asing itu menggoyang-goyangkan kereta kudanya sampai-sampai kuda tersebut meringkik dengan amat sangat keras.

“Semua orang mempunyai kepentingannya, termasuk saya.” Jawab lelaki setengah serigala. Santai.

Kereta kuda perlahan mulai tenang. Orang asing yang kepalanya hampir sebesar buah semangka itu pun menangis ringkih. Kemudian perempuan yang di sampingnya berkata bahwa dirinya berengsek, tolol, dan tidak berprikemanusiaan. Lelaki setengah serigala hanya senyum kecut. Dan memerintahkan sang kusir melanjutkan perjalanan.

Ketika kereta kuda perlahan mulai melaju, orang asing yang berkepala sebesar buang semangka itu berkata lagi sambil berteriak tersedu-sedan:

“Jika perkampungan ini lenyap, maka kami akan ikut lenyap. Dan jika kami lenyap, maka tradisi nenek moyang kami pun ikut lenyap. Jika semua itu lenyap, maka dipastikan semuanya akan hancur.” Teriak orang asing berkepala besar itu, hingga suaranya tertelan angin dan melenyapkannya juga.

Kereta kuda tetap berjalan terus. Salah satu dari penghuni kereta kuda tersebut menengok ke belakang dan melihat bayangan yang semakin kecil sambil tersimpuh. Semakin cepat laju kereta kuda tersebut, semakin cepat pula bayangan itu hilang.

Perempuan yang berada dekat lelaki setengah serigala itu hanya diam membisu. Kemudian lelaki setengah serigala berkata mengapa ia hanya membisu sedangkan pemandangan di sekelilingnya begitu menawan.

Perempuan itu pun berkata sejak kecil ia hidup dengan ruang lingkup yang serba tradisi. Ia tahu betul jika tradisi itu hilang, maka hilang pula kepercayaan yang sejak dulu sudah dikenalnya.

Perempuan itu berkata dengan sungguh-sungguh. Dan lelaki setengah serigala pun tahu betul bahwa ia memang sungguh-sungguh. Meskipun begitu, lelaki setengah serigala memang seorang yang amat sangat keras kepala. Ia tidak merespon perkataan perempuan itu. Ia tetap memperhatikan jalanan yang dilewati kereta kudanya.

Malam pun semakin memuncak. Nyanyian burung hantu menyertai perjalanan mereka. Dan meskipun mereka berada di dalam kereta, angin tetap saja meniup dari segala arah. Bulan semakin lama, semakin terlihat di atas sana. Bentuknya bulat seperti bola pingpong. Cahayanya agak redup. Pucat. Jika malam itu purnama, dapat dipastikan bahwa perempuan itu khawatir terhadap lelaki setengah serigala.

Sebelum melewati tempat yang dituju lelaki setengah serigala. Akhirnya kereta kuda itu pun memasuki sebuah lembah. Penerangan kala itu hanya diterangi oleh cahaya bulan yang biasa saja, sebab gumpalan awan mulai menjarah dan sedikit menutupi sang bulan.

Karena lelaki setengah serigala sedikit mengantuk dan haus, kereta kuda itu pun berhenti tepat dipinggir sungai yang jernih airnya. Kemudian lelaki setengah serigala menyeka wajahnya dan meminum air sungai dengan tergesa-gesa. Sedang perempuan yang dibawanya hanya tertidur dengan senyap.

Ketika lelaki setengah serigala sedang minum. Samar-samar terdengar suara di dalam semak-semak yang berada hadapannya. Sebenarnya lelaki setengah serigala malas untuk mencari sumber suara itu. Namun karena ia merasa terganggu, dicarilah suara di balik semak-semak belukar tersebut. Tanpa disangka ia mendapati seseorang yang sedang membersihkan belati yang berlumuran darah. Orang tersebut hanya diam dan memandang dengan mulut menganga ketika lelaki setengah serigala itu melihatnya. Lelaki setengah serigala mendekat, angin semakin menderu.

“Saya baru saja membunuh seseorang. Dan itu nikmat sekali rasanya” kata orang tersebut sebelum ia perlahan pergi dengan tergesa-gesa sambil menyenggol, kemudian menjauh dari lelaki setengah serigala.

Lelaki setengah serigala kembali. Dan melihat kerumunan orang sambil memegang obor di sekitar kereta kudanya. Setelah melihat lelaki setengah serigala datang menghampiri, perempuan itu berkata bahwa orang-orang tersebut sedang mencari seorang pembunuh.

Menurut penuturannya, seorang anak sekitar delapan tahun telah dibunuh ketika sedang menyelamatkan ibunya. Rumahnya habis di rampok, dan setelahnya membunuh anak itu. Orang-orang pembawa obor itu pun pergi, tapi sebelumnya berkata jika melihat orang atau sesuatu yang mencurigakan—harap memberi tahu. Perempuan itu mengangguk, tapi tidak dengan lelaki setengah serigala yang cepat masuk dalam kereta kudanya.

Pencahayaan rembulan masih remang-remang. Di dalam kereta, perempuan itu berdoa dengan merapatkan kedua telapak tangannya juga diiringi umpatan. “Tuhanku, jika saya melihat pelaku yang membunuh anak tersebut, saya akan menghantamnya dengan sekuat tenaga. Namun, apabila pembunuh itu kedapatan melawan maka lelaki disampingku ini akan membalasnya. Amin.”

Lelaki setengah serigala pun menimpali ucapan perempuan itu, dan berusaha untuk menahan tawa kecilnya.

“Doa semacam apa itu?” kata dia sambil mengaku telah melihat seorang pembunuh anak itu ketika berada di sungai dan membiarkannya pergi. Lelaki setengah serigala seolah tidak mengalami kejadian apapun.

“Kau, lelaki setengah serigala,” kata perempuan itu, “kau memang bajingan, kau memang tidak punya perasaan.”

Lelaki setengah serigala kemudian berkata pada kusir agar mempercepat perjalanannya. Sambil menempelkan cerutu di mulutnya, lelaki setengah serigala ingin agar perempuan itu diam.

“Saya bisa saja menghabisi pembunuh tersebut di tempat, namun saya masih mempunyai kepentingan lain.” Jawab lelaki setengah serigala. Enteng.

Perjalanan pun semakin lama semakin jauh. Kereta kuda berjalan terus menyusuri jalanan yang setengah becek. Sang kusir sesekali menguap menahan kantuk meski perempuan di dalam keretanya menyerocos ke sana kemari. Rasa-rasanya perempuan tersebut memiliki seribu dendam kepada lelaki setengah serigala itu. Betapa banyak kesalahan dan perbuatan yang dilakukannya, dan perempuan itu mengumpat dalam hatinya tentang segala sumpah serapahnya terhadap lelaki setengah serigala.

Perasaan perempuan itu semakin lama semakin kacau. Perjalanan panjangnya membuat ia sedikit mengalami kejenuhan. Tatapan sang kusir tetap fokus pada jalanan malam. Sedangkan lelaki setengah serigala perlahan-lahan mulai lenyap dalam lamunan.

Dalam perenungannya, perempuan itu ingat perkataan ibunya jika menyimpan dendam adalah perbuatan yang tidak baik. Namun, dengan segala pertimbangannya rasa dendam akan tetap hidup di dalam hatinya kepada lelaki setengah serigala.

Di sisi lain, perempuan itu memiliki maksud buruk yang sangat dibenci oleh tuhannya yaitu membunuh. Menurutnya, membunuh lebih baik ketimbang membiarkan orang semacam lelaki setengah serigala terus hidup.

Di dalam relung pikirannya, ia bisa saja membunuh lelaki setengah serigala itu, kemudian membawa mayatnya kepada orang-orang yang mencari pelaku pembunuhan anak yang berumur delapan tahun. Kepada mereka, ia akan berkata bahwa lelaki setengah serigala ini pembunuhnya. Sementara untuk menutup mulut sang kusir, ia akan memberikan semua harta lelaki setengah serigala. Begitu semua tuntas, ia akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Demikianlah yang ada di pikirannya.

“Pendamlah keinginan burukmu perempuan sialan.” Kata lelaki setengah serigala, sembari membetulkan letak mantelnya.

Perempuan itu terperanjat. Bagaimana bisa lelaki setengah serigala mengetahui maksud buruk yang hendak dilakukannya. Ia tak habis pikir dan mulai mengurungkan niatnya.

“Kau pikir saya tidak mempunyai hati nurani? Kata lelaki setengah serigala kepada perempuan itu.

“Ya, tentu saja bahkan kau lebih buruk ketimbang hewan” jawabnya.

Ketika perbincangan mereka berdua baru saja di mulai, sang kusir memotongnya dan berkata bahwa perjalanan sebentar lagi akan sampai.

“Tinggal seperempat jam lagi perjalanan akan tiba” kata sang kusir.

Lelaki setengah serigala hanya menimpalinya dengan singkat. Kepada sang kusir, dia mempertanyakan apakah kuda yang membawanya tetap kuat untuk melanjutkan perjalanan pulang. Sang kusir menjawab tegas bahwa kudanya sangat kuat.

Lalu kepada perempuan yang disampingnya, lelaki setengah serigala menjawab jika ia memanglah seperti hewan. Menjadi hewan, kata dia, lebih arif ketimbang menjadi manusia yang munafik.

“Dan kau manusia munafik itu,” kata lelaki setengah serigala.

Perempuan itu tertegun di sampingnya.

“Jika demikian, mengapa kau rela tidak memberi pertolongan pada lelaki asing yang ditemui tadi di perkampungan?” Tanya perempuan itu.

“Sudah saya jelaskan pada lelaki asing tersebut, bahwa saya mempunyai urusan lain.”

“Bangsat.” Kata perempuan itu. “Kau mementingkan urusanmu sendiri.”

“Lalu, mengapa kau membiarkan pembunuh seorang anak delapan tahun itu pergi?”

“Saya tidak tahu bahwa ia membunuh seorang anak berumur delapan tahun.”

“Jahanam” kata perempuan itu lagi.

“Kau amoral!”

“Mungkin” jawab lelaki setengah serigala.

“Kau si kepala batu !”

“Memang betul.”

“Kau bajingan”

“Kau….” perkataan itu tertahan. Kemudian perempuan itu menatap lelaki setengah serigala. Dan berkata dengan tenang:

“Kelak kau akan mendapat petaka.”

***

Kereta kuda seketika berhenti di depan pintu gerbang desa yang saat itu sudah sepi sebab sudah terlalu malam.

Sang kusir memberi tahu bahwa ia tidak dapat meneruskan kereta kudanya, karena suara kereta kudanya khawatir mengganggu penghuni seluruh desa.

Lelaki setengah serigala mempersilakan perempuan itu untuk turun. Perempuan itu turun dengan terheran-heran. Meskipun perubahan telah berubah pesat, ia paham betul dihadapannya adalah desa tanah kelahirannya. Desa yang ia tinggalkan selama sepuluh tahun. Sebelum lelaki asing membawanya pada lelaki setengah serigala.

Ketika angin bertiup serta menyentuh perempuan itu, untuk beberapa saat mata perempuan itu menengadah ke atas langit. Dan menghembuskan napas yang begitu kencang, yang selama ini belum pernah ia rasakan kembali. Di atas sana, bulan masih tampak bulat dan pucat.

“Urusanku telah selesai.” Begitu kata lelaki setengah serigala. Kalem.

“Kau bisa kembali pada kehidupanmu, seperti dahulu kala” sambung lelaki setengah serigala.

Lelaki setengah serigala mengucapkan salam pada perempuan yang termenung heran kepadanya. Kemudian ia memerintahkan sang kusir untuk kembali pada perjalanan selanjutnya. Kereta kuda itu berbalik ke Timur, lalu berjalan perlahan. Seketika gumpalan awan hitam semakin pekat menutup cahaya rembulan, pertanda akan hujan.

Kereta kuda itu berjalan dengan lurus dan agak melaju cepat. Ketika bertemu sebuah pengkolan, sedikit demi sedikit bayangannya mulai redup.

Meski bebas, perempuan itu masih terdiam terpaku di pinggiran jalan. Sampai hujan pun mulai turun di kegelapan malam.

Ilhmbdhmn
2015

Tak Mati-Mati

Tak mati-mati;

Terjajah

Tertindas

Terlantar

Tak mati-mati;

Kematian

Kelaparan

Kerusuhan

Kemiskinan

Tak mati-mati;

Demontrasi

Korupsi

Korupsi

Lagi dan lagi

Tak mati-mati;

Sengsara

Kaya

Atau

Mati

 

2013

Fenomena Akhir Zaman

lukisan Edvard Munch
Lukisan Edvard Munch: “The Scream” pada tahun 1893

Fragmen I: Dongeng

Ada anak bertanya kepada ibunya tentang sebuah kehidupan di masa lalu. Sang anak mencecar pertanyaan kepada ibunya dengan antusias: bagaimana cara Bumi berputar, siapa yang memberinya makan, apa makanan favoritnya, siapa saja temannya, dengan siapa dia menikah, berapa jumlah anaknya, hingga pada usia berapa dia mati.

Sang ibu tentu saja menggebu-gebu ingin menjawabnya. Kepada anaknya, dia meminta agar memasang kupingnya baik-baik.

Segera, sang ibu mendongengkan sebuah cerita di masa lalu. Begini kisahnya.

Fragmen II: Alkisah

Aku pikir, mereka sudah lelah. Lihatlah udara, sejuknya tak lagi terasa. Para kabut hitam sedang gembira, barangkali mereka sedang merayakan pesta: di kota maupun desa. Sebab, mereka menjelma, dan merasuki tubuh sang mamalia.

Sementara, Sihijau susah sekali menguning, Sikerbau disulap menjadi Simesin dan atap-atap pencakar langit itu semakin tinggi. Induk kebun tak lagi menjadi hiasan, mungkin hanya sebuah kiasan. Lihatlah cakrawala di atas sana, ia mulai keriput. Gumpalan awan tak lagi terasa empuk. Pori-porinya mekar, menghitam, bahkan terlihat kusam.

Tanah mengering kehausan. Jika segerombolan air menerjang dari langit, ia tak mau meresap pada tanah-tanah itu karena pohon-pohon sedang risau, sebab daunnya yang rimbun telah mengering dan juga akarnya tak melekat kuat.

Meski berjalan menurut keperluannya masing-masing, waktu tetaplah ancaman. Jika begitu terus, mereka tak akan lagi menari, seperti wanita setengah telanjang pada pesta tempo hari. Walau sekarang tak lagi sedang kemarau, ia sempat bercerita.

“Sebagian kecil dari koloni kami sudah mati, bahkan burung-burung sudah enggan singgah dan menitipkan sarangnya pada kami, mungkin mereka khawatir anak dan cucunya tak terlahir sehat, bahkan cacat.”

Musim yang usang, menelantarkan nurani dan pikiran yang gersang. Senja pun terlihat beda, ia sering memalingkan muka. Garis-garis horizontal yang melintang padanya, sedikit berkarat. Mungkin pengaruh iklim, atau memang gejala alam. Tapi, tetap saja, Sibrengsek yang duduk di kursi putar itu masih saja tertawa terkekeh-kekeh. Padahal, gumpalan es yang berada jauh di sana, sudah mulai mencair. Dan pundi-pundi sibrengsek itu menggunung. Mereka terus menggerus, hingga Sibumi terasa mual. Walau begitu, penghuni asli sana yaitu Siputih yang antik dan berbulu lebat halus itu tak pernah mengeluh. Pun dengan dinginnya, yang sudah mulai menghangat gegara monster globewrning. Sungguh, monster yang sangat mengerikan!!!

 ***

Aku kira, Sibumi berputar sangat lambat. Atau mungkin tak berputar sama sekali. Ia sudah renta, napasnya saja bau seperti muntahan kolera, rambutnya mulai beruban, kulitnya pun kendor. Seharusnya ia sudah tak lagi pantas mewadahi para penghuni mamalia itu. Ya, mamalia yang serabutan dan penuh karut-marut. Sibumi sedang sekarat; tolonggg, tolonggg… namun tak syak lagi, ia tetap diacuhkan bahkan pura-pura tak di dengar. Mereka masih saja mendengus, dan selalu saja berseru; Mari kita selamatkan blablabla, agar tidak blablabla, jagalah blablabla demi kelangsungan blablabla.

Wajar saja jika Sibumi mulai sekarat, walau ia tetap kuat. Tapi ya tetap saja, Sibumi sedang sekarat, laksana raksasa yang sudah melakukan maksiat sesat. Setelah berangsur memburuk, bisa saja bumi menjelma ibu tiri. Jika sedang kumat, laut pun merangkak pada daratan, semesta tak henti-hentinya menitikkan air mata, gunung dirundung batuk berdahak dan asap yang super pekat.

Lupakan sejenak risalah mereka, mari kita tengok replika surga. Sambil mengusap-ngusap dada. Lalu, Apa kabarnya ia, sudah lama sekali tak bersua. Semoga ia tak sedang dirundung duka.

Sejak beberapa tahun yang lalu saat baru mengenalnya, ia sangat bongsor dengan berjuta-juta hektare-nya. Namanya Sihijau. Rambutnya gondrong (memang ia terlihat subur saat itu) dan jika ia gondrong seperti itu, banyak yang jatuh cinta padanya. Sebab, saat bersamanya akan terasa hangat, nyaman, dan menenangkan. Walau ia terlihat menyeramkan. Tapi jujur sajadengan penampilan seperti itu (gondrong dan bongsor) jika ia diam, maka ia akan menjelma seperti alunan Chopin: hanyut dalam irama dan tenggelam dalam nada-nada.

Pernahkah kau merasa sendiri dalam sebuah keramaian? Atau kau memang seorang penyendiri? Mungkin di replika surga ini, kau dapat menghempaskan lelah-mu. Menyingkirkan sepi yang kau alami, dengan syair-syair Jalaluddin Rumi.  Sihijau yang gondrong ini menyimpan  keanekaragaman hayati, seperti Sicoklat yang kemerahmerahan, berbagai jenis Sisayap, dan bermacam-macam Siflora dan Sifauna yang unik dan antik lainnya.

Katanya replika surga ini adalah paru-paru dunia, sebab ia dapat menyelamatkan Sibumi. Sihijau dapat menyimpan air hujan yang kemudian diserahkan menuju temannya yaitu Sisungai lalu menjadi sumber kehidupan. Sihijau juga jago sekali menanggulangi musuh yang bernama Eroshit. Dengan wibawanya yang kalem Sihijau dapat mengatur iklim Sibumi. Sungguh peranan yang baik dan bijaksana.

Rasanya, yang terdengar kini, Sihijau mempunyai musuh bebuyutan. Ya, memang berita ini sudah lama berhembus, bahkan para aktivis telah menyerukan hal ini. Tapi, mungkin juga belum ada yang tahu siapa nama musuhnya. Setelah media elektronik bernama televishit mengumbar sana-sini, sejumput asa menyeruak jika Sihijau mulai lelah.

Musuh itu bernama“deforestashit”, ya, dialah  musuhnya. Makhluk apa lagi itu? Aku pikir bukan makhluk, namun sejenis kepingan neraka yang mungkin sudah banyak yang mengenal dirinya. Ia liar, ganas, brengsek, arogan, pengecut, bahkan tak tahu malu. Jika sudah begitu, Sihijau bagai kepingan surga yang terbelah menjadi replika neraka.

Pernah suatu saat, sekawanan kepingan neraka lainnya membuat Sihijau terlahap Sijagomerah. Ia mulai rapuh. Dan konon, katanya, di balik peristiwa ini ada sejumlah kepentingan Sitangantangan brengsek. Siapa pula ia? Ah, hiraukan dia. Dan kini replika surga itu tak lagi bertaring. Rambutnya agak gundul. Dan badannya mulai kerempeng. Para aktivis gencar menanam benih, untuk kelangsungan hidup Sihijau (walau sebenarnya untuk kepentingan Sibrengsekbrengsek itu juga) dan semoga puluhan tahun selanjutnya bayi kecil itu lahir dan siap melanjutkan generasi induknya.

Fragmen III: Risalah

Aku rasa,  inilah dunia yang fana. Tuhan pun ditanya malaikatnya.

“Yang Maha dari segala Maha, yang kuasa dari segala kuasa, saya hendak bertanya, sampai kapan kau membiarkan mereka? Yang saling mencabik sesama, laksana laparnya serigala,” katanya.

Tak ada jawaban yang pasti dari sang Tuhan.

Malaikat-pun terdiam.

Di tempat berbeda, tepatnya di laut terdalam. Sesosok bernama Siiblis tertawa. Tangannya mengepal.

“Kita menyesatkan mereka, tanpa berbuat apa-apa,” katanya.

“Lantas, apa yang hendak kita lakukan? Mereka yang menyesatkan sesama umatnya, yang sesungguhnya itu pekerjaan kita,” ujar seorang kurir Siiblis pada Tuannya.

Daaaaghhhh!!! Kepalan tangan Siiblis menggebrak meja pualam.

“Ha ha ha ha! Dasar bodoh, itu pertanda baik untuk kita. Mereka menggantikan peran dan alih fungsi pekerjaan kita. Barangkali mereka sadar, bahwa mereka diciptakan hanya untuk menikam sesama. dan bahwasanya, pekerjaan mereka adalah mulia bagiku. Dengan begitu, kau bisa ambil cuti untuk pekerjaan-mu,” kata Siiblis.

Sang kurir tersenyum, sebab ia mendapat cuti. Biasanya, sang kurir selalu lembur. Sekarang ia sedikit mengganggur.

Fragmen IV: Harapan

Aku harap, semua dapat berjalan sebagaimana mestinya. Cakrawala memberikan ronanya, senja tak lagi berkarat, Sibumi takkan cepat sekarat. Di darat, Sihijau itu akan cepat berangsur pulih dari sakitnya, pembantaian terhadap Sicoklatkemerahmerahan pun segera berakhir, juga bagi Sibelangkuninghitam, Sibelalai, Siberculasatu dan yang lainnya. Berhentilah membantai mereka untuk kepentingannya, juga yang memelihara mereka untuk mainannya.

Sanggunung tertidur perlahan walau kadang-kadang mengeluarkan batuknya (tapi itu baik bagi kelangsungan sekitarnya), biarkan Sipohon menjulang tinggi menebar keasrian. Dan tolong, bagi para Sibakalcaloncalon itu janganlah memaku Sipohon untuk memasang  wajah kampanyenya bagi kepentingan politiknya.

Di laut, kononnya Simonster unik yang masih tersisa di dunia yaitu Sipenyu, sedang risau karna telurnya sering dicuri oleh Sibrengsek. Begitu juga sampah-sampah yang sembarangan.  Juga sang Dewa laut yang bernama Sihiyu yang sedang terancam populasinya karena diincar siripnya untuk dikonsumsi Sibrengsek.

Tapi tenang, bernapaslah selagi bisa dan eluslah dada sejenak untuk menunjukkan keprihatinan.  Tapi tidak dengan Siberuang, ia tidak bisa tenang. Sebab habitatnya dibagian utara bumi, mulai terganggu oleh perlakuan Sibrengsek terhadapnya. Pun dengan es yang mulai mencair karena pemanasan monster globewrning.

Fragmen V: Apatah

Sungguh ironis. Pantas saja, jika Siiblis mencutikan semua kurirnya dari pekerjaannya. Dan Tuhan tetap saja diam. Atau ia sedang merencanakan sesuatu. Siiblis menggerutu, jika hal ini terus menerus berlangsung, lantas apa yang akan ia kerjakan? Kini Sibrengsekbrengsek itu menjelma bagai Siiblis. Dan Tuhan masih saja terdiam di balik rencananyadi fenomena akhir zaman.

Ilhmbdhmn

2013

“Sebuah keprihatinan yang mendalam.”