Nalar

Mémoire

Awal yang indah di musim semi. Bunga-bunga mekar berkilau cahaya. Pohon-pohon menjulang tinggi ke angkasa, menatap langit menyambut sang surya.

Semilir angin berhembus menyentuh kalbu. Gunung yang maha agung, terlihat megah gagah perkasa. Matahari laksana dewa, menyinari hati dirundung luka.

Meski begitu, jalanan tetap ramai. Dipenuhi kendaraan bagai semak belukar. orang-orang berlalu lalang sibuk mencari kedamaian. Kini aku berjalan sendiri di musim semi yang indah ini, menyongsong hari demi hari menyendiri.

Dalam setiap napas kehidupan, manusia menjelma bagai serigala malam. Dan aku lebih baik menikmati renunganku di sebuah puncak gunung. Berusaha menyembunyikan risalah hati pada nyanyian-nyanyian malam. Berkeluh kesah pada kidung penyair murung.

Bukankah diam lebih menyakitkan daripada maut?

Bagiku, alam memberikan banyak arti dalam kedamaian, bagai rajawali yang mengelilingi bumi di cakrawala. Hidup tenang, sunyi, abadi seperti roh-roh yang melayang di angkasa. Ketika kesepian menyapa, hanya angin yang selalu tampak menemani. Memasuki raga yang telah gundah, menyingkirkan sepi yang telah kualami.

Di suatu tempat yang gelap, aku berusaha menyimpan suatu prahara yang tak terduga. Tapi taukah kamu, apapun yang dilakukan seorang secara sembunyi-sembunyi walau dalam gelapnya malam akan dengan jelas terlihat di siang hari? prahara yang tersembunyi akan berubah menjadi suatu perkara, lalu terdengar oleh orang-orang yang saling berbisik dari telinga para manusia hingga menepi di persimpangan jalan. Tetapi, aku tetap pada pendirian. Berusaha menyembunyikan sesuatu dari gelapnya malam. Aku yang mengendalikan baik dan buruknya sesuatu pada diriku, dan mencoba mengasingkan apa yang orang-orang bilang padaku.

Jagat raya ini adalah milik bersama, walau Tuhan yang menciptakan. Musim semi belum terganti. Bunga-bunga masih mengabdi kepada matahari. Wanginya mengitari bumi sampai hilang tak kembali. Langit biru cerah tanpa gumpalan awan di angkasa, terlintas terdengar nyanyian seekor burung bul-bul pembawa rindu.

Sekarang aku berada di tengah-tengah nalar ketidakpastian, terombang-ambing di tengah lautan. Ketika nalar sedang tidak bekerja, kucoba melukis rona dengan jingga. Kugambar kehidupan masa kini, kuhapus kehidupan masa lalu. Sesekali aku terbawa pada kebaikan, walau sering kali aku membawa keburukan.

Setelah kulukis kehidupanku, aku ingin memahatnya: mengukir kehidupanku dengan caraku sendiri, membentuknya seindah mungkin seperti hamparan savana.

Setiap kali aku pergi ke pegunungan, aku membawa kedamaian yang tenang sekali. Setiap kali aku menghampiri anak sungai yang segar, jiwaku menadah pada kesegaran air yang kurasakan.

Tetapi, setiap kali aku menatap pada langit-langit hitam pada malam hari, tak tampak bintang membentuk sebuah rasi. Inilah kegetiran yang kurasakan, aku merasa kehilangan sesuatu yang ingin aku dekap. Nalarku kembali bergejolak.

Kekosongan pada langit malam di musim semi, membuat sebuah penderitaan tanpa alasan. Kesunyian kembali menerpa, bagai menyendiri dalam ruang hampa. Nalar yang sedang terjadi padaku adalah seumpama teratai putih yang hanya terapung dan tak mekar. Akan mekar jika jiwa pada diri kembali berseri-seri, dan berkembang pada bayang-bayang malam mulai datang.

Wahai Tuhan Sang pemberi bahagia dan nestapa: aku tak tau harus bagaimana menyikapi nalarku, baik dan buruk berada dalam bayang-bayang semu. Secepat kilat datang dan menghilang.

Jika saja kau tak mengiming-imingkan surga untuk sebuah pencapaian hidup. Apa yang terjadi? apakah Engkau belum dewasa, ataukah aku yang belum dewasa?

Teramat sulit menjawab kebernalaranku….

Hidup untuk sebuah penalaran…

 

Ilhmbdhmn

Gunung Manglayang, 2012

 

Leave a comment